Rabu, 15 Juli 2009

JAMINAN PRODUK HALAL

JAMINAN PRODUK HALAL
Masyarakat Indonesia dikejutkan dengan banyak beredarnya berita di media masa tentang produk yang mengandung unsure babi, seperti diantaranya berita yang akhir-akhir ini santer dibicarakan :
1. Dendeng dan abon daging sapi yang mengandung unsure babi pada tahun 2000 -2002, kejadian tsb berulang tahun 2009. Bersdasarkan laporan dari BPOM RI, ada 8 produk dendeng/ abon daging sapi yang menempelkan label Halal beredar luas dipasaran, ternyata berdasarkan hasil pengujian dari laboratorium BPOM RI positif mengandung unsur babi. Pengujian dendeng dan abon tersebut dilakukan dengan menggunakan PCR (polymerase chain reaction ) terbukti mengandung DNA babi.
Sampai akhirnya BPOM mengintruksikan Balai POM yang ada di daerah untuk menarik produk tersebut dari perdagangan untuk segera dimusnahkan oleh pemerintah.
2. Vaksin Meningitis yang diwajibkan untuk calon Jemaah Haji Indonesia yang digunakan sejak tahun 1988, ternyata berdasarkan hasil penelitian laboratorium, dalam proses pembuatannya bersentuhan dengan unsure babi.
Produk vaksin yang sama telah digunakan oleh 77 Negara Islam di Dunia.
Sementara menurut beberapa akhli, dari hasil pemeriksaan dengan menggunakan alat yang canggih, vaksin meningitis tersebut tidak lagi mengandung unsure babi karena sudah memlalui pencucian dengan proses ekstraksi. Sedangkan Fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengatakan bahwa, apabila suatu produk yang dalam proses produksinya bersentuhan dengan bahan haram, adalah Haram.
Kemudian dalam suatu kesempatan Talk Show Menteri Kesehatan RI, menyatakan setuju untuk dilakukan pembahasan secara mendalam menyangkut Vaksin Meningitis tersebut.
3. Selain hal tersebut diatas, masih ingat dibenak kita bahwa diawal tahun 2001, isu kasus bumbu penyedap rasa terkenal dari jepang, ternyata dalam salah satu rangkaian proses produksi nya menggunakan Porcine (enzyme dari babi) yang merupakan nutrient media untuk pertumbuhan mikroba. Nutrien media pertumbuhan mikroba tersebut sebenarnya diproduksi oleh perusahaan lain, bukan oleh pabrikan bumbu masak tersebut.
4. Ayam Import (1999 – 2002 ), Isu paha ayam import dari negeri paman sam masuk ke Indonesia,mengakibatkan industry peternakan ayam local terancam bangkrut, lebih dari itu, paha ayam dari AS jelas diragukan kehalalannya. Departemen Pertanian mengeluarkan peraturan yang mewajibkan setiap produk hewan import harus disertai dengan Sertifikat Halal. Jaminan tersebut harus dikeluarkan oleh lembaga Islam yang diakui MUI.
5. Daging dan jeroan import (2001 – 2002), Daging afkir dan jeroan impor, diluarnegeri nyaris menjadi limbah, di negeri ini masih tetap laku dijual karena harganya yang murah. Daging ini, karena selain diragukan kehalalannya juga dapat mematikan usaha daging sapi local. Departemen Pertanian juga sudah mengantisifasi dengan mengharuskan Importir daging sapi dari luar negeri selain harus menyertakan surat sertifikatSehat Juga sertifikat Halal. Sampai dengan saat ini kegiatan importase daging dari luar negeri masih terus berlangsung.
6. Daging sapi Gelonggongan (1999-2002), Daging sapi yang harganya murah, ketika dimasak ternyata susut hingga 30 %. Daging sapi yang susut tersebut berasal dari sapi gemuk karena digelontor air. Sebelum dipotong, mulut sapi tersebut digelontor air secara paksa hingga tubuhnya membengkak sampai rubuh karena tidak kuasa menahan beban air yang masuk kedalam tubuhnya. Kegiatan tersebut selain tidak berperikehewanan juga kurang higienis serta menipu konsumen, praktek tersebut menyebabkan sebagian sapi yang digelontor mati sebelum dipotong. Masalah ini kerap masih muncul hingga kini, terutama saat permintaan daging tinggi.
7. Ayam Tiren (Mati Kemaren ) tahun ….. – 2003, Ayam mati (bangkai) yang kemudian disembelih , sejak dulu hingga kini masih menghantui konsumen. Oleh sebab itu sebelum membeli daging ayam hendaknya meneliti dulu ciri-cirinya, ayam tiren berbau anyir, tampak warna darah yang membeku pada urat-urat darah ditubuhnya, terutama didaerah sayap, kemudian apabila di simpan dalam kantong plastic sampai beberapa saat, akan mengeluarkan cairan darah.
8. Kemudian pada tahun 1980 an ada sebuah penelitian ilmiah yang dilakukan oleh seorang akhli teknologi pangan dari Universitas Brawijaya Malang, bahwa terungkap sekitar 34 item produk makanan yang terbukti secara ilmiah memiliki kandungan lemak babi.
9. Masih banyak kasus mengenai produk makanan ,minuman,obat , kosmetk dan produk lainya yang jelas-jelas haram maupun yang masih diragukan kehalaalnya.
Indonesia dengan jumlah penduduk sekitar 235 jutaan dan kurang lebih 87 % memeluk agama islam yang terus berkembang, dengan tingkat pendapatan yang relative meningkat setiap tahunnya. Hal ini merupakan pangsa pasar yang menggiurkan bagi para produsen produk kebutuhan dasar masyarakat, dari mulai kebutuhan: sandang, papan sampai dengan pangan. Produsen mendesain produk dengan teknologi yang dimilikinya mengolah makanan, minuman, obat, kosmetik dan produk lainya baik sebagai bahan pangan, maupun bahan pangan setangah jadi sampai kepada produk makanan siap saji, sehingga meningkatkan daya tarik bagi pembeli.
Dalam era global sekarang ini penetapan kehalalan suatu produk tidaklah semudah pada waktu teknologi belum berkembang, produsen merekayasa produk dengan teknologi yang dimilikinya untuk mengolah rasa, memberi warna, mempercantik bentuk sampai melengkapi kandungan gizinya. Demikian juga kemasannya, penyimpanannya, pendistribusian sampai kepada bagaimana agar produk makanan tersebut disajikan kepada konsumen di restoran-restoran yang menyediakan makanan siap saji dan siap santap. Produk tersebut ditawarkan dengan cita rasa yang exlusive dan disukai oleh golongan masyarakat tertentu.
Lalu kita sebagai bagian dari masyarakat konsumen bertanya kentang kehalalan suatu produk makanan..?
Mengkonsumsi makanan yang halal merupakan kewajiban bagi umat islam dan produk yang halal sebenarnya sudah terjamin kebersihan dan kesehatan bagi yang menyantapnya. Hal yang harus diperhatikan dari produk makanan adalah : Amankah produk makanan tersebut dari benih penyakit yang merugikan kesehatan kita, utuhkah produk makanan tersebut dengan tidak dicampur oleh bahan-bahan yang berbahaya, sehatkah produk tersebut untuk mencukupi kebutuhan akan gizi bagi pertumbuhan dan perkembangan tubuh kita, dan terakhir yang paling penting adalah Halalkah produk makanan tersebut dari unsur –unsur yang mengharamkan . Karena aspek kehalallan dalam bisnis suatu produk bukan saja hanya dinilai dari sisi bahannya saja, tetapi juga menyangkut proses produksi, penyimpanan dan peredarannya ,juga yang tidak kalah pentingnya adalah penerapan sanksi kepada pelanggarnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Dalam sebuah hadits dinyatakan : “Sesungguhnya yang halal itu sudah jelas, dan yang haram itupun sudah jelas, sedangkan diantara keduanya terdapat sesuatu yang samar-samar (syubhat)”.
Allah SWT telah memberikan batasan-batasan tentang sesuatu yang diijinkan untuk dilakukan dan dimanfaatkan (halal) melalui ayat-ayat yang terdapat dalam Al-Qur’an maupun penjelasan Rasullah SAW yang terdapat dalam Hadits. Demikian pula Allah SWT juga telah memberikan batasan yang jelas terhadap sesuatu yang dilarang untuk dilakukan dan dikonsumsi (haram) melalui Ayat dan Hadits.
Namun demikian Allah AWT memberikan kesempatan kepada hambanya untuk menentukan sendiri status sesuatu yang tidak termasuk dalam katagori halal maupun haram dengan berpedoman kepada Al-Qur’an dan Hadits. Hal-hal yang samar menurut hadits diatas itulah yang menjadi wilayah operasional manusia untuk mencurahkan kemampuannya menentukanpilihan. Ulama sering sekali melakukan Ijtihad yaitu kegiatan bersama yang dilaksanakan oleh sekelompok ulama yang dikenal dengan Ijma untuk menentukan kehalalan suatu produk yang samar-samar.
Untuk memberikan kejelasan kepada umat terhadap hal-hal yang samar tersebut, ulama perlu mengeluarkan fatwa yang dapat dijadikan pedoman bagi umat. Fatwa tersebut dapat diberikan secara individual maupun kolektif. Untuk lebih kuatnya Fatwa dan lebih meyakinkan kepada umat, saat ini banyak organisasi islam yang membentuk lembaga Fatwa. Produk yang disahkan oleh lembaga ini akan lebih kuat karena telah melalui pembahasan oleh para ulama yang mumpuni dibidang yang dikuasainya. Namun demikian karena seperti disebutkan diatas bahwa pada jaman sekarang ini suatu produk banyak yang dihasilkan melalui suatu rekayasa teknologi yang cukup canggih, dengan demikian keberadaan laboratorium yang canggih dan lengkap merupakan keharusan untuk menunjang dalam menyimpulkan dan pengawasan terhadap kehalallan suatu produk
Pengertian Fatwa, menurut definisi dari Departemen Agama adalah :
Secara bahasa, fatwa berarti penjelasan. Apabila dikatakan dia berfatwa terhadap suatu perkara, maka dia sedang menjelaskan perkara tersebut. Dapat juga bermakna menjawab seperti seseorang sedang berfatwa terhadap orang yang bertanya, adalah dia sedang menjawab pertanyaannya.
Sedangkan menurut istilah, fatwa adalah teks jawaban mufti terhadap pertanyaan tentang hukum syara’.Apabila pernyataan itu tanpa pertanyaan maka bukanlah fatwa tetapi petunjuk. Oleh karena itu fatwa didahului oleh sebuah pertanyaan tentang hukum syara’ yang jawabannya itu menjadi fatwa. Kedudukan fatwa merupakan suatu hal yang sangat penting dan mempuyai kedudukan yang mulia dalam Agama. Rosullulah SAW semasa hidupnya sangat memperhatikan persoalan ini.
Sertifikasi dan labelisasi produk halal
Mengenai sertifikasi dan labelisasi produk halal ini erat jaitannya dengan standar mutu dan standar Halal. Standar mutu tidak sama dengan standar halal. Standar mutu ditetapkan oleh produsen atas dasar kebutuhan/permintaan konsumen dimana mutu merupakan suatu konsensus yang merujuk kepada peraturan dan standar-standar teknis. Sedangkan Standar halal seperti diuraikan diatas ditetapkan oleh Yang Maha Kuasa melalui Al-Qur’an dan Hadits yang diinterpretasikan oleh orang yang memiliki otoritas untuk itu ( Ulama ).


Payung Hukum yang Mengatur tentang Produksi suatu Produk
Setelah diterbitkannya UU nomor 23 tahun 1922 tentang kesehatan, UU nomor 7 tahun 1996 tentang produk, UU nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen, PP nomor 69 tahun 1999 dan peraturan pelaksana yang lainnya, dicantumkan bahwa ,tanggung jawab kehalalan produk makanan, minuman, obat, kosmetika dan produk lainnya tidak hanya menjadi tanggung jawab individu dan tokoh agama tetapi juga menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Dalam UU no 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah,disebutkan bahwa segala permasalahan yang berkaitan dengan agama tidak diotonomkan tetapi diurus oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Departemen Agama.
Berdasarkan Instruksi Presiden RI Nomor 2 Tahun 1991, tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan Peredaran Makanan Olahan antara lain dinyatakan bahwa, masyarakat perlu dilindungi terhadap produksi dan peredaran makanan, minuman, obat dan kosmetika yang tidak memenuhi syarat-syarat, terutama dari segi mutu dan keyakinan agama (kehalallannya).
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, teantang Perlindungan onsumen Pasal 8 ayat (1) hurf h dinyatakan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan atau memperdagangkan barang dan atau jasa yang tidak memenuhi ketentuan produksi secara halal, sebagaimana pernyataan halal yang dicantumkan dalam label.
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 dinyatakan bahwa Menteri Agama mempunyai kewenangan untuk menetapkan pedoman dan tatacara pemeriksaan terhadap pernyataan (keterangan/tulisan)halal.
Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 tersebut dalam pasal 10 ayat 1 dinyatakan pula bahwa, setiap orang yang memproduksi atau memasukan produk yang dikemas kedalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan dan menyatakan bahwa produk tersebut halal bagi umat islam, bertanggung jawab atas kebenaran pernyataan tersebut dan wajib mencantumkan keterangan atau tulisan halal pada label kemasan produknya.
Sertifikasi dan labelisasi halal bertujuan untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan terhadap konsumen serta meningkatkan daya saing produk dalam negeri untuk meningkatkan pendapatan Nasional
Permasalahan
Sampai sejauh ini , masih banyak permasalahan yang tentunya menjadi hal yang perlu ditindak lanjuti agar masyarakat sebagai konsumen merasa aman dan terjamin untuk mengkonsumsi produk bahan makanan yang mereka beli.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan diantaranya :
1. Regulasi system jaminan mutu , sudah mampukan perangkat hukum untuk memayungi sistem jaminan mutu dan kehalalan produk dengan sub sistemnya , mulai dari sub system produksi halal, sub system pemeriksaan produk halal, sub system uji laboratorium produk halal, sub system sertifikasi dan labelisasi produk halal dan sub system sumber daya manusia (SDM) sehingga cakap dan mampu untuk mengawal dan memberikan kepastian sampai kepada sanksi hukum terhapap setiap pelanggaran, sehingga kasus-kasus seperti tersebut diatas tidak terulang kembali.
2. Koordinasi antar departemen dan lintas sektoral dalam menyikapi secara serius permasalahan jaminan mutu dan kehalalan produk ini kelihatannya mutlak diperlukan, sehingga tidak terjadi saling mengandalkan antar satu dengan pihak yang lainnya.

Angin segar mudah-mudahan dapat berhembus karena Saat ini sedang digodog oleh DPR
Undang-Undang tentang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) tujuannya jelas yaitu mengemban amanah masyarakat untuk menjamin mutu dan kehalalan terhadap produk yang mereka beli, Diharapkan UU ini lahir dapat mengatasi permasalahan yang selama ini terjadi, sehingga dampaknya baik dan melegakan bagi produsen dalam negeri ( dunia usaha Nasional) dan konsumen sebagai subyek dari penerapan UU ini.

Cianjur, 13 Juli 2009.
Penyusun, Adiabebah