Selasa, 31 Desember 2013

Ulasan Film The Best Offer (La Migliore Offerta)



Seperti film besar inggris lainnya yang selalu dahsyat, rinci dengan detail yang memukau serta jalan ceritanya yang unik terlalu susah untuk dapat dilupakan,  maka  untuk kesekian kalinya menyaksikan Film produksi  Inggris, kini kembali terpukau di tempat duduk selama kurang lebih dua jam menyaksikan The Best Offer (La Migliore Offerta) dengan bintangnya yang oke punya, Geoffyey Rush, Jim Strugess, Sylvia Hoeks dan Donald Sutherland.  Film buah karya pemenang  Academi Award 2013 (Cinema Paradiso) Giuseppe Tonatore yang berkisah tentang profesi kurator dan lelang benda-benda seni terkenal diseling kisah  romansa  yang berkelidan memaniskan Film ini.

Terasa seperti Film drama misterinya Alfred Hitchcock namun dalam cetakan bercitarasa seni dari Giuseppe Tonatore. Cerita bergulir ketika seorang Virgil Oldman (Geoffrey Rush) pria gaek selain berprofesi penilai karya seni tinggi juga kurator pemilik banyak lukisan perempuan berwajah cantik yang disimpan dalam ruang rahasia di dalam rumah pribadinya, Pria lajang yang hidupnya  berkelas ini kadung jatuh cinta selama puluhan tahun terhadap seluruh lukisan perempuan cantik terutama yang mengandung nilai misteri di dalam penciptaannya. Ruang pribadinya dipenuhi dengan mahakarya lukisan bergambar perempuan bernilai tinggi tersebut, namun ternyata tidak ada apa-apanya ketika cpesona seorang perempuan muda, cantik namun  kehidupannya penuh misteri mampir di hatinya. Jalan cerita film terus mencuri perhatian baik di ruang lelang benda antik bernilai ribuan Euro, sampai penasaran untuk membuka tabir perempuan cantik pemilik benda-benda antik yang terlanjur menyeret ke dalam romansa kisah cinta yang belum pernah tersentuh oleh The old man.


Virgill Oldman  tiba-tiba  ditawari untuk menilai harta benda seni tersisa milik seorang wanita muda  Claire Ibbotson (Sylvia Hoeks), gadis  cantik tanpa sanak saudara penghuni rumah besar dengan harta benda seni di dalamnya ternyata mengidap  Agoraphobia, penderita  yang hanya merasa nyaman berada di kamarnya sendiri  di dalam rumah besar. Perasaan takut bertemu orang  lain menyebabkan sang kurator  Virgil Oldman  kesulitan untuk membuat katalog benda seni berharga yang ada di dalam rumah Claire, namun kendala ini justru berbuah daya pikat keinginan tahuan yang unik untuk mengungkap misteri sang gadis pemilik benda seni yang justru menarik perhatiannya. Misteri lambat laun terungkap seiring romansa beraroma pesona yang belum pernah menyentuh seumur hidupnya malah tumbuh subur berseri di taman hatinya.

Ungkapan yang lazim dalam dunia kurator dan penilai mahakarya seni bernilai tinggi terhadap segala daya upaya pemalsuan : Yaitu "Akan selalu ada bukti kelemahan dari setiap pemalsuan" menjadi daya pikat tersendiri menghiasi alur serita di film ini.
Setujukah dengan kalimat dahsyat tersebut? Lepas dari suka atau tidak suka ternyata ada orang dalam cerita film ini yang tidak sependapat dengan ungkapan penuh makna yang merupakan motto dari setiap penilai benda seni.

"Untuk itulah kenapa aku akan merindukanmu" ungkap suatu narasi yang terdengar dari benda seni serupa patung yang disisipi tape recorder. Misteri apakah gerangan di tengah kegalauan akibat hilangnya seluruh lukisan perempuan cantik koleksi pribadinya diikuti lenyapnya Claire. barangkali ulah lelaki yang biasa dimintakan tolong untuk memperbaiki benda seni atau justru Claire sendiri, tetapi nyatanya dibalik kanvas lukisan diri sang gadis yang dihadiahkan kepadanya terdapat pernyataan rasa rindu terhadap peristiwa yang tidak pernah akan dilupakannya.

Cerita film diakhiri dengan pensiunnya Virgill Oldman dari profesi  penilai dan kurator benda seni bernilai tinggi diiringi perasaan ikhlas atas  kehilangan seluruh koleksi dan seorang perempuan muda nan cantik yang sempat mencuri hatinya.

Film besar biasanya mempunyai penilaian yang besar serta pujian yang luar biasa dari penonton dan para kritikus film seperti yang di sampaikan oleh  Wachable Movie dan Great British Film.




















Minggu, 17 November 2013

TEDUH



Rindu itu telah lama beku menjadi batu menjadi fosil 
menjadi hidup tanpa larik, tanpa musik, tanpa syair untuk bernyanyi
bersidekap diantara deru dan badai
terkesiap  setiap lirik memindai

akrabmu adalah badai topan
candamu ombak bergulung tinggi kemudian ganas menghempas
saat sebelumnya rindang mampu melindungi terik diteduhnya
kau malah berlari, menjauh dari dekap dan lambainya

berkelebat yang tidak terduga sebelumnya
saat semilir itu mengabarkan tentang sebuah rindu yang lelah
yang menunggu tanpa batas tanpa syarat
tanpa ada sesuatu pun dapat menghalangi, tanpa perlu dibayar meski dengan janji

terlihat senja masih menyimpan teduh
membawamu ke suasana lunglai luruh
derai tawamu pun terbata menyimpan tangis berlabuh rindu
gerimis tak tertata luber menghapus dahaga yang lama kemarau

dalam rukuk sujudmu mebasahi jemari kaki yang telah renta
yang ditelapaknya tersimpan maaf sedalam, seluas samudra
Suaramu lirih menyebut satu kata pelebur dosa penghapus nista

IBU…

Yang Terampas



Di suatu pagi, pada akhir musim kemarau bersamaan dengan rintik hujan pertama menyentuh tanah desanya, seharusnya ia sudah mengambil untung dari hasil penjualan kambing jantan yang telah besar dan layak untuk menjadi hewan qurban setelah selama setahun dipelihara, namun musibah penyakit mulut dan kuku merebak di desanya. Saat ini sang petani telah menyerahkan tanahnya untuk membayar utang kepada tuan tanah sesuai janji yang pernah di ucapkannya, kini di lahan bekas miliknya Ia hanya sebatas sebagai penggarap saja tanpa mempunyai hak untuk memiliki, ketika musim panen tiba pun hasil sawahnya di bagi dua, sebagian adalah haknya dari hasil keringat yang tertumpah, sebagian lagi menjadi hak tuan tanah sebagai jatah si pemilik tanah sawah yang baru.
Anak gadis satu-satunya yang baru berumur empat belas tahun tiba-tiba saja menghilang, ia tidak sudi menjadi isteri ke tiga dari bandot tua yang sekaligus telah merampas hak milik orang tua satu-satunya. Lari dari rumah merupakan jalan terbaiknya, di kota ia dapat bekerja dan upah yang dikumpulkan barangkali bisa mengembalikan hak milik orang tuanya.

Selama empat tahun sudah berlalu, dengan dandanan sedikit menor, berambut pirang, ber celana jin ketat, berbaju warna-warni dan berkacamata hitam besar, Ia telah kembali ke desanya dengan menenteng tas berisi beberapa gepok uang ratusan ribu. Namun rumah serta tanah sawahnya kini sudah berubah menjadi gedung bertingkat.

Lahan sawah dan kedua orang tuanya telah lama mati.
Top of Form







Rabu, 23 Oktober 2013

Dilema Seorang Penulis








Dari sekian banyak  insan yang merasa diri sebagai penulis, baik itu karena  memang sudah profesinya ataupun mereka yang sering membuat tulisan dalam bentuk apapun baik fiksi ataupun non fiksi, akhir-akhir ini marak menjadi bahan  pertanyaan ataupun hanya sekedar berdialog curhat kepada diri sendiri : “apakah saya sebagai penulis atau bukan.”

Penulis kerap di sematkan bagi orang yang melakukan pekerjaan menulis, atau menciptakan karya tulis dengan menggunakan alat tulis baik di media konvensional seperti yang pernah dilakukan sejak jaman baru mengenal bentuk-bentuk, berupa gambar seperti pada zaman purba,  kemudian berkembang menjadi symbol yang mengandung arti rumit sampai kepada merangkai dan mengotak-atik huruf yang lazim pada saat ini, di kertas atau buku maupun di berbagai media yang lebih canggih lagi seperti  lazimnya dilakukan pada jaman modern saat ini  dengan menggunakan perangkat komputer  ataupun media sejenisnya.

Pada jaman modern sekarang ini, kemudahan untuk melakukan kegiatan menulis semakin berkembang dan relatif  lebih nyaman jika dibandingkan jaman dahulu kala, terbayang yang pernah dialami oleh diri sendiri ketika dulu berkesempatan menulis dengan menggunakan mesin tik, jika ingin mendapatkan tulisan rangkap maka diantara kertas di lampirkan sejenis kertas berwarna hitam orang menyebutnya sebagai kertas karbon, walaupun berabe tetapi bunyi  tak-tik nya seolah kesibukan menulis dihibur oleh alunan nada-nada dalam sunyi yang selalu  menemani, walaupun pada kenyatanya tetaplah hanya serupa nada sumbang, jika terdapat kesalahan pengetikan maka cairan putih melapis bagian yang salah tersebut kemudian diketik ulang hingga sampai dirasa sempurna. Seiring dengan perkembangan jaman yang melaju pesat terutama di bidang  ilmu dan teknologi, maka saat ini kegiatan menulis sudah semakin mudah dan menyenangkan.

Pada dasarnya yang paling awal dalam seni keterampilan menulis adalah mengenal huruf, serupa symbol bersifat universal yang mempunyai bunyi khas pembeda ketika di ucapkan antara satu dengan huruf lainnya. Rangkaian huruf  berubah menjadi kata yang mempunyai arti dan makna,  terus berkembang hingga membentuk kalimat, paragraf sampai kedalam bentuk tulisan utuh sebagai alat untuk menyampaikan buah pikir, gagasan maupun perasaan yang dapat di komunikasikan kepada pihak lain yang dapat  menerima.

Setiap Suku dan Bangsa pada awalnya sudah mengembangkan jenis huruf dan metoda cara penulisannya, seperti misalnya kita kenal huruf Latin, Hiragama, Yunani, Hanji, Arab  dll, demikian pula berbagai suku di Indonesia dikenal di beberapa daerah mempunyai jenis huruf khas, seperti suku Jawa dengan huruf Jawi atau di tatar Sunda lazim sebagai aksara Sunda dsb.  Cara menulis  rangkaian huruf pun berbeda pula seperti huruf Hanji pada mulanya ditulis dari atas kebawah, sedangkan menulis dengan bahasa Arab dari kanan ke kiri tetapi pada umumnya huruf, kata dan kalimat ditulis dari kiri ke kanan dalam selembaran media sebagaimana lazimnya  menulis yang sudah dikenal umum di seluruh dunia, bahkan saat ini berkembang  sampai kepada symbol pun mempunyai arti yang lebih luas dibanding masa sebelumnya, seperti symbol @, #, *  dan yang lainnya lagi yang luput di ketahui  oleh saya sendiri  tetapi merupakan hal yang umum di pahami oleh mereka yang berkecimpung di dunia IT dan komunikasi.

Sejak berabad lamanya perkembangan penciptaan karya tulis yang tadinya sebagai alat komunikasi penyampai buah pikir, gagasan serta perasaan, bahkan dulu di jaman Nabi kegiatan menulis dan mencatat naskah bernilai religious pun yang kegiatannya murni hanya memburu pahala amal-ibadah yang jauh dari  kepentingan ekonomis hanya semata untuk dakwah, kemudian berkembang sampai ke jaman yang kita pijak saat ini dimana kegiatan menulis sudah berorientasi kearah yang  mempunyai nilai ekonomis tinggi. Seiring dengan semakin meningkatnya masyarakat yang gemar menyerap ilmu pengetahuan,  teknologi  serta kebutuhan untuk mendapatkan inputcita rasa seni sastra dengan jalan membaca, penulis sudah merambah ke berbagai ragam media tulis-baca sehingga dapat memberi kemudahan kepada penikmatnya untuk mendapatkan pilihan yang sesuai dengan minatnya.
Namun demikian, tujuan dari seorang penulis  sangatlah komplek,  motivasi menulis antara satu orang penulis dan lainnya sangatlah berbeda, sebut saja diantaranya ada yang berpendapat bahwa menulis  sebagai media terapis, hobi atau hanya sekedar berlatih agar terbiasa berfikir runut untuk memudahkan menyampaikan ide serta gagasan  sehingga sampai ke sasaran dan bermacam-macam tujuan lain yang sifatnya personal. Saya sendiri aktif menulis, baik  hanya untuk sekedar di simpan di file PC terkadang juga di sematkan di berbagai media seperti blog pribadi, Kompasiana dll yang sifatnya sebagai arena menangguk ilmu dalam pembelajaran menyalurkan minat menulis yang barangkali kalau tidak tersalur malah hanya membendung dikepala saja, tidak berkembang, hanya sebagai harapan pasif di awang-awang semata, bisa saja tulisan tersebut nantinya dalam suatu kesempatan tertentu di sempurnakan di sana-sini, di edit lagi di rangkai antara  satu tulisan dengan yang  lainnya dalam format yang diinginkan untuk di coba dikirim ke media mainstream.

Maka seiring berkembangnya dunia kepenulisan , dari tahun ke tahun barometer  sukses atau tidak sukses nya seorang penulis walaupun sifatnya relatif atar sesama penulis, tetapi pada jaman sekarang ini anggapan bahwa tujuan utama kesuksesan seorang penulis adalah memburu nilai ekonomis, mengharapkan karyanya menjadibest seller adalah sesuatu yang  dianggap lumrah, sangat wajar dan sah-sah saja sehingga  seiring dengan semakin meningkatnya kepedulian masyarakat  yang gemar membaca untuk menyerap buah pikir, gagasan, sebagai sarana penambah ilmu pengetahuan  serta kebutuhan untuk mendapatkan input cita rasa sastra, maka berkembanglah berbagai jenis pelatihan kepenulisan, meningkatnya penerbit untuk mencetak buku-buku yang membahas tentang tata-cara menulis yang baik sampai kepada berkembangnya  group dan komunitas penulis dalam ajang berhimpun bagi mereka yang mempunyai kegemaran menulis  di media yang sama. Komunitas blogger biasanya aktif menulis di blog pribadi  bahkan di jejaring sosial lainnya, pun kini di dunia maya ramai mengadakan even-even pesta bersama dalam menulis karya fiksi, seperti yang hangat berlalu akhir-akhir ini dimana komunitas penulis karya fiksi di FB bertajuk Fiksiana mengadakan even akbar Festival Fiksi Anak bekerjasama dengan penerbit Mizan dan Kompasiana, adalah sesuatu yang boleh disebut selangkah lebih maju dalam menyemarakan kegiatan rutin yang kerap Fiksiana sering mengadakan even-even  menulis karya fiksi menarik untuk menjaga agar komunikasi tetap terjalin antar sesama anggotanya baik di alam maya maupun nyata.

Jadi menurut saya, siapapun yang terlanjur nyebur ke dalam dunia kepenulisan atau menurut Pak Gunawan Muhamad salah seorang penulis kondang dalam nada guyon penuh makna mengatakan  bahwa menjadi seorang  Penulis adalah seperti “kutukan.” Maka saran saya yang masih  sebagai penulis dalam taraf terus haus untuk belajar menimba ilmu :  perkembangan minat dalam merangkai kata hingga membentuk tulisan utuh sesuai dengan pasion harus tetap dilestarikan, jangan hiraukan dulu apakah nanti bisa sampai menghasilkan karya tulis yang baik atau menjadi seorang penulis professional terkenal sekalipun, sebab seperti pada awalnya, menulis dimulai dari adanya pengenalan huruf kemudian berkembang membentuk kata dan seterusnya sehingga menjadi tulisan yang utuh, biarlah itu mengalir mencari jalannya sendiri sesuai dengan kata hati-nurani dan kapasitas pengetahuan yang dimiliki, sambil terus mengasah ilmu dengan membaca dan menulis maka jika kemudian ditengah jalan menemukan imbalan bernilai ekonomis, anggaplah sebagai bonus  kesungguhan dan ketetapan hati dari kesukaan kita merambah belantara dunia tulis-menulis.


Wallahualam bissawab.

Kamis, 19 September 2013

Puisi Bulan September





Puisi = Meditasi



Seandainya puisi adalah suatu proses kreatif, dimulai saat persetubuhan intim dilakukan dalam sunyi, ketika mood mengapai-gapai asa, hamilah dia, diberinya asupan gizi hingga melahirkan. Maka berjatuhanlah hujan kata-kata nan sejuk lagi manis karena rasa, itulah kenapa tangan perempuan lebih piawai tentang hal ini. 

Puisi bagai meditasi, mejalin keseimbangan hidup dengan alam dan lingkungan, mengamati denting angin, mendengar desir bumi, buana bersendawa menjaring aroma kehidupan yang terpuruk hingga tertawa terbahak-bahak. 

Cianjur, 1 September 2013



Pada pasir pantai



Pada sebuah pagi, ketika tetes telah bermuara sampai keujung rambut
diantara kusut masai dan gerimis berderai
pantaimu telah kau lukis kembali menjadi purwa yang meraja
sesekali tandas oleh debur ombak untuk disimpan di palung tak bertepi
ambil saja, bawa saja, besokpun hanya kisah yang lelap tokh rindu kembali menjemputnya 

pada landai tepian ombak berderai
puisi ini berat kubawa pergi 
tidak akan lama kapanpun boleh singgah, ungkapmu
jangan salah jalan saja, pasir kita masih disini
di landai pantai yang kisahnya mudah terhapus ombak ke palungnya


Huruf Acak Berserak Menguap Satu-Satu









Dikerlingmu rinai menembangkan gita cinta
Di senyummu denting-denting mengalun merdu
Begitulah bunyinya.



Semuanya menari lembut gemulai lalu menghentak bagai irama satu kata dalam satu nada tanggo, kau tumpahkan huruf-huruf diantara lesung pipimu
Sejenak terdiam, merunduk dan kau mulai menembangkan nyanyi yang paling sunyi, nada-nada perih bergumul mencari pemahaman-pemahaman,
terbata nyanyianmu laksana duri yang baru menancap di daging, kidung gerimis sore masih saja mengalun
Kupasang telinga yang tersangkut di huruf-hurufmu, tidak bisa pergi, huruf-huruf berhembus semilir mendinginkan dua cangkir kopi  yang kurang setengahnya kita teguk
Diam adalah pendengaran yang paling setia ketika kesah  tetap berhamburan di bibir yang paling tidak pernah keluh, hanya kali ini saja, diam yang paling  gelisah tiba-tiba saja menyadarkan bahwa tidak ada gunanya merasa menjadi manusia-manusia yang paling terpuruk di dunia.

Kopi kita keburu dingin dan hanya kurang dari setengahnya diteguk, tidak perlu dicemaskan karena hanya tiba-tiba saja ada bah  di hulu dan mendengar  sudah lebih dari cukup apalagi ditambah sedikit penyerentak kesadaran, tuntaslah sebagai penutup suatu drama liris yang paling pilu didengar.
Tidak perlu sedu sedan itu, jika berharap punggungku beralih perlahan dari satu depa hingga hilang dari penglihatan tanpa saling terluka, tidak perlu kata maaf, tidak pernah ada yang merasa paling bersalah hanya waktu dan kesempatan untuk saling bertemu dan berbincang seadanya menyisakan hurufmu dan abjadku berserakan di bekas tapak beberapa langkah kebelakang yang tidak pernah merasa menguap sia-sia, ada rasa nano-nano juga disana, asem, terlalu manis, kecut dan diakhiri sedikit pedas hingga matamu perlu meneteskan satu atau dua butir yang membuat beku mendadak lalu mencair tiba-tiba hinggga menghilang pergi, menguap entah kemana.

Kini di beranda, setelah sekian lama, di mejaku hanya tersedia satu cangkir kopi saja, sambil melepas pandang keluar  bingkai kaca yang menjadi jarak antara kehangatan dan dingin yang rinainya sama ketika terakhir kopi kita berpasangan, riang diteguk bersama-sama, ada rasa hangat kembali, sementara huruf dan abjad yang dulu acak berserakan menguap satu-satu, naik keudara lalu mendadak sekeliling ruang senggang sekitar tubuhku dipenuhi melulu hanya huruf dan abjad, kuambil dan kupilih diantaranya satu huruf kemudian satu lagi hingga lengkaplah sudah tersusun lima huruf yang paling menggodaku kini:
RINDU

Dari file lama yang berserak di Kompyku

Selasa, 27 Agustus 2013

Puisi Bulan Perpisahan






Penyulam Jirah Selimut Malam


pada sebuah lamat-lamat alunan suara was-was
dihitungnya bunyi derit dan lirih meringkih ketika malam tak kuat menahan gigil
dikiranya itu selingan saja ketika desis berubah menjadi derak, menyalak, sebelum pecah bunga gelap langit menghiasi malam
denting-denting warna bertaburan mencemburui bintang gemintang, merangkai jenjang senyap, kemudian lagi, satu lagi, kemudian lagi, satu lagi, bertubi-tubi memekakkan sanggurdi takbir, tahmid dan tahlil
suara lamat-lamat semakin tenggelam
sekelumit embun tak kuasa melumat gemerlap gemeretuk tubuh malam, ia terus saja menyulam luka di jirahnya mempersiapkan pekik pagi kemenangan
ramai sudah, selepas rengkuh dibibir syawal ratusan ribu berjalan-jalan hilir mudik tampa sempat melirik, menghambur, bersolek bersama lembaran-lembaran
kemenangan entah kapan dapat diraih, tak pernah dapat dihitung sejak kapan dimulai apalagi diakhiri
anak-anak penyulam jirah selimut malam masih berderak menyusur jalanan masa




Aku ingin



Aku ingin tersungkur pada bilur-bilur subuh yang pernah singgah disebuah waktu yang rela memutar mundur jarum jam dalam birama yang teratur

Kulihat sebuah senyap yang hinggap di ujung jari kemudian tiba-tiba saja berlarian memperdengarkan suara-suara sangurdi melukai bibir berukir sampai pejah di cakrawala langit
Kini harum wangi bunga lilin berhamburan di pelataran yang tabah
Sebuah bulan pucat pasi jatuh dikeningku, keningmu, kening kita





Aku Lupa, kenapa tidak disimpan di tempat cuci


Kupanggut bibirmu 
serambinya sedari tadi kugantungkan minat 
sampai sesore ini pun, ketika gerimis semakin lupa pulang ke asal 

biarlah Langitku gelap tetapi semesta jiwaku benderang karenanya
hangat yang mengalir merutuk dingin gemeretuk
tetes-tetesnya melupakan keringat yang meruap ke entah 

lalu bersamamu rasa semakin berlian
dilengkung garis nan seksi
aku tidak ingin menjadi lupa dimana tadi nikmat diletakan

dahagaku lumat
lalu lamat-lamat menelikung seluruh ruang penat
basahnya mengaliri setiap nadi dan urat syaraf

sampai otot-ototku mulai melemas
tetes terakhir benar-benar rilek nan merilekkan
kini lekuk pinggang kakumu teronggok disana

semu jelaga masih tertinggal di lapis bening nya
biarlah besok saja kubersihkan
saat ini aku sedang ingin menulis

Pryang….aku lupa tadi, kenapa tidak disimpan di tempat cuci





Revolusi pena


Jika kau anggap rima-rima ritmis menelikung kata mencari maknanya sendiri-sendiri
lalu kenapa langit menjadi merah dan jerit tangis bayi hilang susuan
kusandarkan liris pada gerimis pagi yang tak pernah usai merinai dijari-jari manis
di punggung seorang revolusinis, sinis adalah bagian dari evolusi politis budaya dan kesewenang-wenangan menjadi bara yang tak pernah padam diberangus
sayup, kuyup oleh segala atribut yang kau pasang sejak subuh hingga mentari denyar-denyarnya luruh
agar dunia tau bahwa gerak jiwa, gerak kata dan gerak pena adalah cara lain berhadapan dengan senjata.






Sabtu, 13 April 2013

Tidak ada didunia ini yang gratis…Emhh Benarkah…




 Suatu hari pernah terlontar dari kalimat saya sendiri dan itupun karena pernah mendengar dan membaca yang intinya adalah sebagai berikut: “ Tidak ada didunia ini yang gratis atau tidak ada didunia ini yang tidak bisa dibeli dengan uang dan jikalau ada, itupun karena anda tidak tau dimana tempatnya untuk dapat membayar semua itu “ . Pernyataan tersebut membuat saya berpikir lagi dan memperhatikan dengan seksama, sungguh merasa sangat prihatin tentang isi dari pernyataan tersebut yang mencitrakan barangkali teman-teman yang berada disekelilingnya, curahan cinta dari seseorang yang dikasihinya benar-benar karena berdasarkan uang belaka. Sungguh sangat tidak masuk akal ketika mencoba mengartikan apa yang disampaikan dari kalimat tersebut dan apa yang tersirat dibalik pernyataan itu. Ingin sih rasanya untuk mengajukan beberapa pertanyaan menyangkut kalimat diatas, tetapi rasa-rasanya kok agak risih juga untuk benar-benar hal tersebut dapat terlaksana, mungkin hanya bermaksud sekedar ngegombal saja berbicara guyon untuk menarik perhatiaan atau memang benar-benar yang keluar dari pikirannya yang sudah terpatri dan begitu mendalam. Akan tetapi jika pernyataan itu serius dan sudah menjadi pendapat yang mendarah daging dan tersimpan kukuh dibenaknya, sekali lagi hal tersebut sungguh patut untuk disayangkan, bagaimana tidak… segala sesuatu yang membahagiakannya wanti-wanti justru hanya diperoleh dengan mengeluarkan uang semata, seolah olah menghitung-hitung berapa bajet yang harus dikeluarkan ketika hendak tertawa terbahak-bahak bersama teman-temannya, berapa duit yang telah dikeluarkannya sehingga dapat tersenyum dan hatinya penuh berbunga-bunga karena cintanya dapat menyentuh sanubari, untuk semua itu dia merasa bahwa keluarganya hanya bisa harmonis dengan beberapa nilai uang yang harus dibayarkan sehingga kelak ketika anak-anaknya sudah mandiri menjadi demikian berhak untuk menagih kembali seluruh biaya yang sudah dikeluarkanya.

Yak …seperti sudah dimaklumi memang hidup ini memerlukan uang, baik itu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, makanan yang disantap setiap hari, pakaian yang dikenakan, sekolah anak-anak, kredit perumahan, energy listrik dan telepon yang terpakai, tranportasi dan sebagainya. Demikian juga dengan bekerja, tidak akan lepas dari harapan untuk mendapatkan gaji yang sesuai dengan standard hidup layak yang diidam-idamkan. Tidak terlalu naïf bahwa memang hidup tidak akan lepas dengan keperluan hidup itu sendiri dan keperluan untuk hidup normal adalah identik dengan biaya, akan tetapi tidak selamanya apa yang kita inginkan harus sesuai dengan apa yang dibutuhkan, barangkali ada hal-hal yang sangat prinsip demi menjaga hubungan antar manusia itu sendiri, itulah yang teramat penting. Baranglai sesuatu yang kita inginkan justru yang akan mencelakai diri sendiri merenggangkan persahabatan dan tali kekeluargaan atau minimal bahwa keinginan tersebut hanya mubadzir saja, tidak ada manfaatnya sama sekali. Untuk mengetahui apa yang dibutuhkan oleh kita adalah hanya dapat dinilai oleh sesuatu yang esensinya dapat mengetahui dan dapat menilai tentang hidup itu sendiri tiada lain yaitu Tuhan itu sendiri. Dengan demikian kalau saja ada waktu untuk sedikit merenung, apakah benar orang tua kita selama mengandung anaknya sekitar sembilan bulan, kemudian seluruh penderitaan selama persalinan itu berlangsung sehingga selamat dan selama membesarkan kemudian mendidik sampai kita bisa berdiri diatas kaki sendiri harus ada itung-itungannya dengan nilai uang yang berharap kelak harus dikembalikan …? Kalaupun ya, seluruh pengorbanan yang telah tercurah dari seorang ibu terhadap anaknya tidak dapat dinilai dengan apapun bahkan untuk mengkalkulasinya dengan mesin penghitung canggih sekalipun barangkali akan rusaklah mesin penghitung tersebut saking tidak dapat dinilainya… Bagaimana perasaan kita ketika suatu saat menginginkan teman yang dapat diajak untuk curhat tepat berada disamping kita, ketika dalam situasi tertentu mengharapkan jiwa ini menjadi kuat dalam rangka menghadapi cobaan yang berat menimpa dan selalu saja dalam benak ini harus mengkalkulasi berapa biaya yang harus dikeluarkan sehingga kejadian itu dapat berlangsung dengan lancar….ho..ho..benar-benar berabe hidup ini. Lebih parah lagi jika pertemanan dan popularitas selain ditempuh dengan iming-iming uang juga umbaran birahi bahkan dosapun lunas hanya cukup dibayar dengan beberapa lembar duit...Halaagh hancur minah...

 Ketika memperhatikan sosok-sosok disekeliling dengan perhatiaannya yang tulus, anak-anak tumbuh dan besar dengan tanpa hambatan apapun, ketika kehidupan keluarga kita tentrem ayem loh jinawi dengan tanpa berdasar kepada uang tetapi murni karena hanya perasaaan ikhlas semata, sungguh saya tidak dapat membayar untuk semua itu dengan senilai uang, bahkan untuk sekedar menghitungnya sekalipun… Betapa beruntungnya hidup ini untuk semua yang didapat tersebut, sepatutnyalah untuk berucap syukur dan saya yakin bahwa setiap agama mengajarkan tentang keikhlasan dan rasa syukur tersebut. Barangkali patut kita berterimakasih untuk setiap lintasan kebahagiaan kita, keluarga yang mencintai dengan sepenuh hati, tetangga dan teman-teman yang tetap menjaga dan mempererat tali silaturakhmi, semoga hati kita tidak dibutakan dengan rasa syukur terhadap Allah Maha penggenggam langit dengan segala isinya yang telah memberikan berbagai nikmat tidak ternilai harganya.

Terimakasih khususnya kepada Allah SWT, yang telah memberikan segala nikmat, kepada keluarga dan teman-teman saya untuk kehidupan yang hebat ini.

Minggu, 07 April 2013

Sahabat Dunia Khayal






Awan itu seolah ingin diraihnya, tangannya liar menyapu menggapai-gapai diatas pelupuk mata, sinar matanya nanar untuk kemudian berubah sekejap-sekejap berbalur sendu, menggeliat-geliat mengikuti irama lagu yang diciptakannya sendiri. Tangannya masih saja bergerak lembut sejengkal demi sejengkal kemudian sedepa memenuhi hasrat hati, terus saja ia menarikan raganya, berputar, menghentak-hentak seolah membiarkan dirinya  terbang ke awan putih. Suaranya kini terdengar lirih berguman tidak jelas, setengah berteriak tetapi tidak sedang melampiaskan amarah, kemudian sinar matanya berganti meredup, tiba-tiba saja tersedak seakan takut terlihat rasanya yang mengaduh.

Semilir lembutnya angin yang sempat
berhembus sejuk tadi serasa membelai mesra, kini mencekik selubung sukmaku. Sedang aku terbuai menikmatinya karena ia terlihat bagai belahan jiwa, perhiasan hidupku, sebelum terdengar pecahan porselen putih terhempas. Suaranya gaduh tetapi lembut membuat jari-jemari seketika terhenti menari-nari diatas keyboard lappyku. Seperti biasanya aku sedang asyik menghayal, merangkai kata dan kalimat dalam bangunan cerita sebelum gaduh itu terdengar gelisah dan peristiwa tersebut justru menarik perhatianku.

Sejenak kemudian
seorang gadis kecil berumur kira-kira lima tahunan terdiam, terperanjat dengan kecerobohannya sendiri, dipandangnya lekat-lekat benda yang berserakan dilantai tembokan taman, seolah tak percaya bahwa tangannya sendiri yang telah menghabisinya.
“Tidak apa-apa Nak,”  seorang  Bapak sedang berusaha menenteramkan hatinya, “nanti bisa dibeli lagi   di toko sebelah.
“Tidak ada, Pak, tidak mungkin ada yang sama,
“Kan pabriknya sama Nak, pasti bentuk dan coraknya juga mirip.
“Dia temanku, sahabatku, tidak mungkin rupanya maupun baik-hatinya akan sama. Namanya memey, dan kini ia telah pergi berserakan.

Gadis kecil
yang biasanya manis kini terlihat sendu, dikeningnya yang tadi terlihat beberapa butiran keringat bersinar, kini matanya juga sembab diikuti beberapa tetesan air mata yang sulit untuk dibendung lagi.
Porselen berbentuk piala mungil barangkali sudah dianggapnya sebagai teman istimewa,  sering menemaninya bermain-main menuntun menuju alam indah di taman penuh pohon dan bunga yang tertata apik dengan kupu-kupu dan burung-burung serta sungai kecil berair jernih mengalir di dunia khayalnya, bahkan ada makhluk makhluk mungil hidup sejahtera didalamnya, semuanya mengerti dengan bahasanya, mudah untuk diajak bercengkrama bersama pohon-pohon, bunga, kupu-kupu, burung, makhluk-makhluk mungil bahkan dengan sungai kecilnyapun. Kini porselen mungil sahabatnya telah pecah berantakan.

Mari kita semayamkan dengan baik di bawah kerindangan
tanaman bunga melati jenis hutan ini, nak. Disini dibagian taman ini, seperti kakek yang telah berbaring tenang dipusaranya. Akhirnya gundukan tanah itu telah terbentuk disudut taman yang teduh lagi harum.

Bapak
tersebut kini berjalan memapah anaknya, menuju rumah yang letaknya tidak seberapa jauh dari lokasi taman bermain. Terdengar bercengkrama, sedikit menghibur, bahwa nanti akan hadir memey-memey lain yang lebih elok rupanya dan lebih lembut perangainya.
Gadis kecil itu kini hanya bisa terdiam, tidak sedikitpun menjawab, seiring langkahnya berlalu, sesekali ia menolehkan pandangan kebelakang seakan tidak rela melepas gundukan tanah yang semakin lama semakin menjauh dari penglihatannya.

====)(====

Keesokan harinya, pagi-pagi ketika matahari baru muncul sepenggalah, aku lewat didepan rumahnya lagi. Tampak gadis kecil itu sudah kembali terduduk ditangga dekat pintu masuk,  sedang asyik berceloteh dengan boneka bantal miliknya.