Rabu, 13 Maret 2013

Selamat Tinggal Penjaga Kehidupan




Siang menjelang terik, debu jalanan mengudara ditengah keramaian suara-suara klakson mobil serta lalu-lalang orang-orang yang berjalan terburu-buru ditrotoar yang sibuk, aku tidak memperdulikan semuanya, berjalan saja sendirian menyusuri arah yang hampir seminggu sekali kulalui akhir-akhir ini. Pagi menjelang siang, matahari sudah hampir berada di puncaknya, jam 11.00, kulangkahi jalanan setapak demi setapak, sesekali menginjak trotoar jika lenggang dari pejalan kaki lain, setiap inci dan meter jalanan dilalui tanpa memperhatikan sekelilingnya, menunduk, pikiranku terpuruk, tersita oleh perasaan tidak menentu.

Sebenarnya sangat ingin membawa Ibu kerumah sakit dengan sedikit memaksa, namun setelah kucoba beberapa kali untuk opname, tetap saja setelah beberapa hari istirahat akan mentatar anak-anaknya ”tidak perlu dibawa ke Rumah Sakit.” Saya dan adik-adik sudah putus asa menyakinkannya, bahwa rumah sakit adalah tempat terbaik untuk memulihkan kesehatan Ibu. Pernah suatu waktu ketika ibu dipaksa dibawa ke tempat dimana sarana dan prasarana memadai dan ditangani secara profesional oleh akhlinya, ternyata malah aku dan adik-adik yang mendapatkan nasehat.

”Heh.. denger yaa, Anton anaku, seumur-umur ibu belum pernah menginap dirumah sakit dan kalau terserang juga nanti akan sembuh oleh obat ramuan kampung yang sering ibu minum, nyatanya Ibu tetap sehat-sehat saja kan.” sergahnya, aku sungguh ketakutan apalagi setelah suatu malam tanpa sepengetahuan yang lain, Ibu mencopot sendiri jarum impusan dan segala sesuatu yang melekat ditubuhnya sebagai standar perawatan, kemudian semua perangkatnya diberikan kepada perawat jaga malam agar di amankan, tentu saja paginya dipasang lagi, jarum infus kembali menusuk di urat nadi Ibu oleh perawat atas nasihat dokter, sungguh memilukan hati, bekas jarum infusan di pergelangan Ibu yang tadi malam dicabut paksa pun, selain menimbulkan luka juga nampaknya menyisakan perih yang menyakitkan.
“jarum dan selang Ini sungguh merepotkan,” ucapnya sambil meringis.

Sebagai seorang anak laki-laki satu-satunya, tidak ada lagi yang lebih mengganggu pikiranku, walau suara hiruk pikuk disekitar, semerawut nya jalanan, suara klakson yang memekakan gendang telinga, semuanya tidak kuhiraukan sama sekali, tetap saja kuacuhkan, ada pikiran yang kumat disarang tempurung kepalaku, suara itu lamat-lamat memanggil-manggil ketidak berdayaanku.

“Kau tidak usah memaksakan datang repot-repot menemani Ibu di sini, kau kan banyak pekerjaan di kantor, Anakmu si Adam, apa dia baik-baik saja, lalu Isterimu tentunya sudah lama menunggumu di rumah beberapa hari ini, kau harus pulang nak, Ibu nggak apa-apa koo, masih kuat.” Suara parau terpatah-patah kerap terngiang di benak, dalam kondisi kesehatannya yang parahpun Ibu masih tetap tidak mau merepotkan anaknya sendiri.
“Tidak usah dipikirkan Bu, yang penting ibu selalu berdoa agar selamat dan sehat kembali seperti sebelumnya, Ibu tenang saja, ada Mba Narti sudah menemani mereka di rumah, lagian tadi saya sudah membelikan mainan robot-robotan untuk Adam .” ucapku sambil meletakan panganan kesukaan Ibu dan memperlihatkan mainan untuk Adam. Ibu hanya tersenyum saja.
Selalu saja Ibu begitu, ditengah ketenangan dalam kondisi apapun, diseling do’a-do’anya yang merincik disetiap pagi dan petang, dia seolah tidak melupakan keluargaku terutama Adam cucunya, sepertinya lebih berarti dari-pada dirinya sendiri dan saya sebagai anak lelaki satu-satunya.

Pikiranku yang dirundung resah tiba-tiba saja dikagetkan oleh hentakan keras seseorang menubruk tubuhku yang tidak dalam keadaan siap, ingin sekali memaki, memberi peringatan kepada orang yang telah dengan seenaknya mencelakakan orang lain ditrotoar ini, namun demi kulihat yang menubruk tadi ternyata seorang anak laki-laki kecil, maka ku-urungkan umbaran amarahku, mungkin saja saya sendiri yang salah tanpa memperdulikan pejalan kaki lain di trotoar yang sempit ini dan yang keluar dari mulutku hanya sedikit umpatan sambil berguman “ dasar anak kecil”. Anak lelaki itu lebih besar dari usia anakku, berjalan menerobos trotoar, kalau ditilik dengan seksama berumur sekitar delapan tahunan, sikutnya tadi tepat mengenai perutku sedikit dibagian bawah ulu hati, menghentak cukup keras. Sambilmeringis menahan sakit, mataku tidak lepas memperhatikan kelakuan anak yang tak tau diri itu. Ternyata bukan aku saja yang sempat kena tubruk, dia memperlakukan orang lain persis seperti yang barusan menimpaku, sepanjang trotoar ini seolah-olah hanya miliknya sendiri, orang lain yang berani menginjak miliknya akan menerima konsekwensi sikutannya. Dua orang Ibu sedikit kesal dan terbengong ketika anak tersebut melaluinya dengan menabrakkan diri diantara kedua tubuh yang tidak menyangka akan mendapat perlakuan yang tiba-tiba tersebut, berikutnya juga menimpa seorang ibu yang sedang berjalan beruduaan dengan seorang anak. Ini sudah keterlauan pikirku, aku mencoba melangkahkan kaki lebih cepat untuk mengejar.
“Raja- Rajjaa- Rajjjaaaa…..Kau mau pergi kemana Nak, terdengar suara lamat-lamat, suara seorang Ibu memanggil-manggil anaknya dari kejauhan.
“Rajjaaa kau jangan ngambek seperti itu nak, sebentar saja kau akan mendapatkannya, Ibu janji nak.” Teriak ibu tadi sambil berlari mengejar anak sundel tersebut tentu saja dengan susah payah. Kuhentikan langkahku, ibu tadi segera melaluiku dengan cepat mengejar anaknya yang urakan.
“Kau jangan nakal nak, sebentar saja pasti akan mendapatkanya.” Ibu itu sepertinya sedang meyakinkan anak ingusan tersebut untuk kemudian memapahnya, Raja yang disebut-sebut ibu tadi, kali ini menuruti perintahnya kemudian berjalan gontai, mukanya masih cemberut menandakan kekesalan yang amat sangat.

Rasa penasaranku menjadi-jadi, ku ikuti langkah kedua ibu beranak yang sedang berseteru tersebut, ternyata Ibunya adalah seorang pedagang bumbu dapur yang dijajakan diatas selembar plastik lecek sebagai alas, keberadaannya persis berlokasi dipinggiran pasar yang cukup dekat dari tempat kejadian.
“Beli bumbu dapurnya kumplit Rp 5000, Isteriku minta dibelikan bumbu untuk membuat sambal dan masak sup ayam” ujarku polos, mengingat aku tidak tau bumbu apa saja untuk membuat sayur sop dan sambal.
“Ini anak Ibu ?” ku coba memancing dengan sebuah pertanyaan untuk mengetahui sumber permasalahannya, sebenarnya aku tak peduli tetapi anak tersebut kali ini telah berurusan denganku dan beberapa orang yang tadi meringis kesakitan setelah ditubruk.
“Iyaa anak Ibu, ia sedang ngambek minta dibeliin robot-robotan, kelakuannya memang selalu tidak dapat diduga, lha uangnya belum dapat seharga itu, pengennya buru-buru saja.” - “ibu sengaja buka lapak bumbu dapur ini, karena sedari kemarin lusa ia merengek terus, jalan satu-satunya ya terpaksa hasil kebun dibawa kemari, Alhamdullilah bapak sudah membeli” ujar si Ibu sambil mempersiapkan pesanan saya.
Tas bawaanku ku buka, isinya dikeluarkan. “Robot-robotan seperti ini” ujarku sambil memperlihatkan mainan untuk anakku , “wah itu terlalu bagus Pak, Ia tadi menginginkan yang ada di toko sebelah bentuknya lebih kecil”.
“Kalau begitu ini untuk Raja, dirumahku telah banyak mainan model begini” ujarku sambil melirik roman anak tersebut, matanya berbinar, mulanya segan untuk menerima, tetapi setelah kuyakinkan akhirnya dia bersedia juga untuk menyambut mainan barunya.
“Lha koo, itu punya anaknya Bapak ini Nak, ayo kembalikan, nanti anaknya nangis”
“Tidak koo, dia masih terlalu kecil untuk bermain robot-robotan” ujarku sambil memperhatikan Raja yang sedang mengamati dengan seksama mainan barunya.

Kuambil bumbu dapur yang disodorkan dan ku tolak ketika ia mengembalikan uang belanjaanku, nampaknya Raja lebih pantas untuk bermain dengan robot-robotan itu.Aku melangkah ringan menuju terminal yang tinggal beberapa menit saja sampai, sambil membayangkan wajah Ibuku, beberapa saat kemudian sebelum aku menaiki bis yang akan membawa ke rumahku, telepon genggamku berdering, Ibu telah berpulang ke HaribaanNya. “Sungguh, kami adalah milik Allah dan hanya kepadaNya-lah kami kembali.”

Kulihat Ibu telah membujur kaku namun dari wajahnya masih tersirat menyimpan senyum yang tidak asing lagi, ku kecup dingin keningnya. Setidaknya tidak sia-sia seminggu ini aku mengambil cuti walau semua pengorbananku hanya sebagian kecil saja jika dibandingkan dengan keringat dan perhatian kepada anak-anaknya, ku usung Jasad Ibuku ke masjid terdekat, berdiri dibarisan terdepan untuk mensholatkan dan ketika urugan demi urugan tanah mulai menimbun jasadnya, tak kuasa air hangat meleleh dikedua pelupuk mataku.

Terimakasih Ibu, untuk segala keringat dan darah yang menetes, semua perhatiannya  menjaga dan memelihara kehidupan anak demi anak yang telah dengan susah payah Kau lahirkan, sehingga anak-anakmu ini kini mulai lebih mengerti tentang arti tentang kehidupan.