Sabtu, 13 April 2013

Tidak ada didunia ini yang gratis…Emhh Benarkah…




 Suatu hari pernah terlontar dari kalimat saya sendiri dan itupun karena pernah mendengar dan membaca yang intinya adalah sebagai berikut: “ Tidak ada didunia ini yang gratis atau tidak ada didunia ini yang tidak bisa dibeli dengan uang dan jikalau ada, itupun karena anda tidak tau dimana tempatnya untuk dapat membayar semua itu “ . Pernyataan tersebut membuat saya berpikir lagi dan memperhatikan dengan seksama, sungguh merasa sangat prihatin tentang isi dari pernyataan tersebut yang mencitrakan barangkali teman-teman yang berada disekelilingnya, curahan cinta dari seseorang yang dikasihinya benar-benar karena berdasarkan uang belaka. Sungguh sangat tidak masuk akal ketika mencoba mengartikan apa yang disampaikan dari kalimat tersebut dan apa yang tersirat dibalik pernyataan itu. Ingin sih rasanya untuk mengajukan beberapa pertanyaan menyangkut kalimat diatas, tetapi rasa-rasanya kok agak risih juga untuk benar-benar hal tersebut dapat terlaksana, mungkin hanya bermaksud sekedar ngegombal saja berbicara guyon untuk menarik perhatiaan atau memang benar-benar yang keluar dari pikirannya yang sudah terpatri dan begitu mendalam. Akan tetapi jika pernyataan itu serius dan sudah menjadi pendapat yang mendarah daging dan tersimpan kukuh dibenaknya, sekali lagi hal tersebut sungguh patut untuk disayangkan, bagaimana tidak… segala sesuatu yang membahagiakannya wanti-wanti justru hanya diperoleh dengan mengeluarkan uang semata, seolah olah menghitung-hitung berapa bajet yang harus dikeluarkan ketika hendak tertawa terbahak-bahak bersama teman-temannya, berapa duit yang telah dikeluarkannya sehingga dapat tersenyum dan hatinya penuh berbunga-bunga karena cintanya dapat menyentuh sanubari, untuk semua itu dia merasa bahwa keluarganya hanya bisa harmonis dengan beberapa nilai uang yang harus dibayarkan sehingga kelak ketika anak-anaknya sudah mandiri menjadi demikian berhak untuk menagih kembali seluruh biaya yang sudah dikeluarkanya.

Yak …seperti sudah dimaklumi memang hidup ini memerlukan uang, baik itu untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, makanan yang disantap setiap hari, pakaian yang dikenakan, sekolah anak-anak, kredit perumahan, energy listrik dan telepon yang terpakai, tranportasi dan sebagainya. Demikian juga dengan bekerja, tidak akan lepas dari harapan untuk mendapatkan gaji yang sesuai dengan standard hidup layak yang diidam-idamkan. Tidak terlalu naïf bahwa memang hidup tidak akan lepas dengan keperluan hidup itu sendiri dan keperluan untuk hidup normal adalah identik dengan biaya, akan tetapi tidak selamanya apa yang kita inginkan harus sesuai dengan apa yang dibutuhkan, barangkali ada hal-hal yang sangat prinsip demi menjaga hubungan antar manusia itu sendiri, itulah yang teramat penting. Baranglai sesuatu yang kita inginkan justru yang akan mencelakai diri sendiri merenggangkan persahabatan dan tali kekeluargaan atau minimal bahwa keinginan tersebut hanya mubadzir saja, tidak ada manfaatnya sama sekali. Untuk mengetahui apa yang dibutuhkan oleh kita adalah hanya dapat dinilai oleh sesuatu yang esensinya dapat mengetahui dan dapat menilai tentang hidup itu sendiri tiada lain yaitu Tuhan itu sendiri. Dengan demikian kalau saja ada waktu untuk sedikit merenung, apakah benar orang tua kita selama mengandung anaknya sekitar sembilan bulan, kemudian seluruh penderitaan selama persalinan itu berlangsung sehingga selamat dan selama membesarkan kemudian mendidik sampai kita bisa berdiri diatas kaki sendiri harus ada itung-itungannya dengan nilai uang yang berharap kelak harus dikembalikan …? Kalaupun ya, seluruh pengorbanan yang telah tercurah dari seorang ibu terhadap anaknya tidak dapat dinilai dengan apapun bahkan untuk mengkalkulasinya dengan mesin penghitung canggih sekalipun barangkali akan rusaklah mesin penghitung tersebut saking tidak dapat dinilainya… Bagaimana perasaan kita ketika suatu saat menginginkan teman yang dapat diajak untuk curhat tepat berada disamping kita, ketika dalam situasi tertentu mengharapkan jiwa ini menjadi kuat dalam rangka menghadapi cobaan yang berat menimpa dan selalu saja dalam benak ini harus mengkalkulasi berapa biaya yang harus dikeluarkan sehingga kejadian itu dapat berlangsung dengan lancar….ho..ho..benar-benar berabe hidup ini. Lebih parah lagi jika pertemanan dan popularitas selain ditempuh dengan iming-iming uang juga umbaran birahi bahkan dosapun lunas hanya cukup dibayar dengan beberapa lembar duit...Halaagh hancur minah...

 Ketika memperhatikan sosok-sosok disekeliling dengan perhatiaannya yang tulus, anak-anak tumbuh dan besar dengan tanpa hambatan apapun, ketika kehidupan keluarga kita tentrem ayem loh jinawi dengan tanpa berdasar kepada uang tetapi murni karena hanya perasaaan ikhlas semata, sungguh saya tidak dapat membayar untuk semua itu dengan senilai uang, bahkan untuk sekedar menghitungnya sekalipun… Betapa beruntungnya hidup ini untuk semua yang didapat tersebut, sepatutnyalah untuk berucap syukur dan saya yakin bahwa setiap agama mengajarkan tentang keikhlasan dan rasa syukur tersebut. Barangkali patut kita berterimakasih untuk setiap lintasan kebahagiaan kita, keluarga yang mencintai dengan sepenuh hati, tetangga dan teman-teman yang tetap menjaga dan mempererat tali silaturakhmi, semoga hati kita tidak dibutakan dengan rasa syukur terhadap Allah Maha penggenggam langit dengan segala isinya yang telah memberikan berbagai nikmat tidak ternilai harganya.

Terimakasih khususnya kepada Allah SWT, yang telah memberikan segala nikmat, kepada keluarga dan teman-teman saya untuk kehidupan yang hebat ini.

Minggu, 07 April 2013

Sahabat Dunia Khayal






Awan itu seolah ingin diraihnya, tangannya liar menyapu menggapai-gapai diatas pelupuk mata, sinar matanya nanar untuk kemudian berubah sekejap-sekejap berbalur sendu, menggeliat-geliat mengikuti irama lagu yang diciptakannya sendiri. Tangannya masih saja bergerak lembut sejengkal demi sejengkal kemudian sedepa memenuhi hasrat hati, terus saja ia menarikan raganya, berputar, menghentak-hentak seolah membiarkan dirinya  terbang ke awan putih. Suaranya kini terdengar lirih berguman tidak jelas, setengah berteriak tetapi tidak sedang melampiaskan amarah, kemudian sinar matanya berganti meredup, tiba-tiba saja tersedak seakan takut terlihat rasanya yang mengaduh.

Semilir lembutnya angin yang sempat
berhembus sejuk tadi serasa membelai mesra, kini mencekik selubung sukmaku. Sedang aku terbuai menikmatinya karena ia terlihat bagai belahan jiwa, perhiasan hidupku, sebelum terdengar pecahan porselen putih terhempas. Suaranya gaduh tetapi lembut membuat jari-jemari seketika terhenti menari-nari diatas keyboard lappyku. Seperti biasanya aku sedang asyik menghayal, merangkai kata dan kalimat dalam bangunan cerita sebelum gaduh itu terdengar gelisah dan peristiwa tersebut justru menarik perhatianku.

Sejenak kemudian
seorang gadis kecil berumur kira-kira lima tahunan terdiam, terperanjat dengan kecerobohannya sendiri, dipandangnya lekat-lekat benda yang berserakan dilantai tembokan taman, seolah tak percaya bahwa tangannya sendiri yang telah menghabisinya.
“Tidak apa-apa Nak,”  seorang  Bapak sedang berusaha menenteramkan hatinya, “nanti bisa dibeli lagi   di toko sebelah.
“Tidak ada, Pak, tidak mungkin ada yang sama,
“Kan pabriknya sama Nak, pasti bentuk dan coraknya juga mirip.
“Dia temanku, sahabatku, tidak mungkin rupanya maupun baik-hatinya akan sama. Namanya memey, dan kini ia telah pergi berserakan.

Gadis kecil
yang biasanya manis kini terlihat sendu, dikeningnya yang tadi terlihat beberapa butiran keringat bersinar, kini matanya juga sembab diikuti beberapa tetesan air mata yang sulit untuk dibendung lagi.
Porselen berbentuk piala mungil barangkali sudah dianggapnya sebagai teman istimewa,  sering menemaninya bermain-main menuntun menuju alam indah di taman penuh pohon dan bunga yang tertata apik dengan kupu-kupu dan burung-burung serta sungai kecil berair jernih mengalir di dunia khayalnya, bahkan ada makhluk makhluk mungil hidup sejahtera didalamnya, semuanya mengerti dengan bahasanya, mudah untuk diajak bercengkrama bersama pohon-pohon, bunga, kupu-kupu, burung, makhluk-makhluk mungil bahkan dengan sungai kecilnyapun. Kini porselen mungil sahabatnya telah pecah berantakan.

Mari kita semayamkan dengan baik di bawah kerindangan
tanaman bunga melati jenis hutan ini, nak. Disini dibagian taman ini, seperti kakek yang telah berbaring tenang dipusaranya. Akhirnya gundukan tanah itu telah terbentuk disudut taman yang teduh lagi harum.

Bapak
tersebut kini berjalan memapah anaknya, menuju rumah yang letaknya tidak seberapa jauh dari lokasi taman bermain. Terdengar bercengkrama, sedikit menghibur, bahwa nanti akan hadir memey-memey lain yang lebih elok rupanya dan lebih lembut perangainya.
Gadis kecil itu kini hanya bisa terdiam, tidak sedikitpun menjawab, seiring langkahnya berlalu, sesekali ia menolehkan pandangan kebelakang seakan tidak rela melepas gundukan tanah yang semakin lama semakin menjauh dari penglihatannya.

====)(====

Keesokan harinya, pagi-pagi ketika matahari baru muncul sepenggalah, aku lewat didepan rumahnya lagi. Tampak gadis kecil itu sudah kembali terduduk ditangga dekat pintu masuk,  sedang asyik berceloteh dengan boneka bantal miliknya.



Rabu, 03 April 2013

Amplop Hijau Pupus di Antara Dua Gelas Kopi Kita





Malam telah beranjak larut, dikeheningan suasananya masih saja cengkerama kita terasa seperti baru saja terjadi, walau sunyi mendekap disegala sudut-sudut ruang yang tadi sempat diriangkan oleh suaramu, candamu serta tatap matamu, nyatanya serasa masih saja menari-nari lembut dihadapanku. Tetapi itu tadi yak, argumenmu meluncur jauh sampai serasa mengacak-acak puncak ubun-ubunku, aku kehabisan amunisi, bisa pula di sebut mati sanggahan, hingga secara jernih telah gagal khatam menafsirkan yang ada di pikir dan rasamu. Hmmmh sudah lah, tokh waktu sudah melintas jauh, kini sosok dan bayangmu di suasana itu pun telah raib dihadapanku, namun kau belum tergapai juga.

Amplop mungil berwarna hijau pupus terselip diantara dua gelas kopi kita yang sudah hampir habis isinya, tersurat tulisanmu yang tersusun rapi, sudah kubaca maksudnya dengan seksama dan aku mengerti serta maklum adanya. Hidup bukan hanya sehari dua hari atau setahun dua tahun tetapi berharap selalu dapat bersama selamanya. Bukankah itu angan-angan kita, atau saya yang keliru menafsirkan hubungan kita selama ini ? Sementara aku masih saja tersesat menata kalimat, entahlah, harus dimulai dari bagian mana meyakinkanmu.

Aku belum sempurna sebagai lelaki jika tidak ada hal yang dapat kubanggakan, malu rasanya menjadi pengangguran tak kentara yang masih saja hidup berkeliaran di seputaran tempat tinggal kita. Satu-satunya harapanku adalah Kota, yak kau tahu kan, hanya kota itu tempat sandaran nasib untuk menampung segala harapan kedepan, namun seperti yang kau tunjukan di setiap cakap dan tersurat dalam isi tulisan di kertas hijau pupusmu, nampaknya kau masih saja ragu. Kepastian adalah usaha dan itu membutuhkan perjuangan, tetapi kau nampaknya lelah dengan seluruh rencanaku, nyatanya lebih memilih pasti yang senyatanya dekat. Kau lebih memilih tradisi leluhurmu, selamat untukmu dan aku linglung meyakinkanmu.

 -=o0o=- 

 Dua tahun sudah, Amplop itu terselip disana, diantara lembaran-lembaran Kitab Suci yang sengaja ku dirikan diatas meja satu-satunya penghias kamar kos mungil tempat dimana aku sering merenda malam dengan bayangmu menghias di langit-langitnya, sengaja kugunakan sebagai penanda lembaran Musshap yang paling akhir kubaca sebelum nyenyak memanggil-manggil di setiap tidur malamku, berharap ketenangan nan sejuk menggelayut dikeseluruhan relung jiwa kemudian bening dan sucinya mengalir di rasamu dan rasaku. Biarlah niat suci di selesaikan oleh Tangan Yang Maha Suci.

 -=o0o=- 

 Kini, dua anak kita sibuk menari-nari diantara gerakan lucu dan tawa riangnya. Dua gelas kopi menemani asyik masyuk memandang kagum akan kreasi besar Dzat IIlahi. Diam-diam aku sempat sekedar mencuri serentetan peristiwa rindu yang telah hilang terbawa masa, sengaja kuselipkan sepucuk rurat mungil sewarna dengan suratmu dahulu, kuhiasi dengan tulisan singkat :

“Selamat Ulang Tahun Perkawinan Kita yang ke VI, semoga selalu tetap dalam LindunganNya”
Amiin.