Sabtu, 27 Juni 2015

Marhaban Yaa Ramadhan.



Foto diambil dari Google Image



Sebelum bulan Ramadhan tiba, ia memang sering kerumah untuk sekedar bermain game atau memainkan  layang-layang  dan permainan anak-anak lainnya di lapangan bersama anak saya. Umurnya kira-kira satu tahun diatas usia anak saya, ia duduk di di kelas 4 sekolah Madrasah Persatuan Islam, walaupun berbeda tata cara sholatnya dengan anak saya tetapi mereka rukun-rukun saja untuk tetap bersahabat, sepertinya wajar jika mereka merasa nyaman ketika sedang bersama-sama maka tak urung mereka senang membentuk grup teman-teman sebaya. Namun demikian ketika menginjak bulan Ramadhan tiba, ia sering tidak nampak bermain bersama  baik di rumah atau di luaran rumah, hanya pada saat di mesjid atau lebih tepatnya surau saja mereka sering terlihat. Surau,  karena tidak pernah digunakan untuk ibadah sholat Jum’at  menjadi semacam markas untuk saling bertemu diantara mereka yang juga  diramaikan dengan orang-orang baik muda maupun generasi tua untuk melaksanakan sholat wajib dan sunah selain sholat Jum’at.

Ada pengecualian jika dibandingkan dengan anak-anak lainnya ketika sedang berkumpul bersama, sebut saja ia  bernama Bilal, anak dari ayahnya yang berprofesi membuka warung kecil-kecilan di sekitar surau. Anak tersebut tampak lebih aktif dibandingkan dengan yang lainnya termasuk ketika berbicara, ia mengemukakan pendapatnya dengan intonasi lebih tinggi dari yang lainnya disamping kata-kata yang terucap lebih cepat dengan diakhiri suara ketawa cekikikan yang dapat dibedakan sebagai ciri khas kepribadiannya dibanding dengan yang lainnya. Suatu hal yang membuatku tercenung memikirkannya ketika ia secara sengaja mengajak teman-teman sebayanya termasuk anak saya untuk selalu hadir tepat waktu di setiap  adzan sholat berkumandang untuk sama-sama melaksanakan sholat di surau secara berjamaah. Berdasar keyakinannya,  apabila mereka selalu hadir menunaikan ibadah wajib maupun sunah tanpa terpenggal dengan jeda satu waktupun akan meraih bintang di dada masing-masing ketika kelak  dihadapkan dengan Kholiq  yang maha tinggi sebutnya, maka sudah menjadi pemandangan yang biasa,  Ia dan beberapa temannya selalu berdiri berjajar di shap kiri  paling depan di surau tersebut yang letaknya persis disebelah rumah saya hanya terhalang sepetak sawah saja.
Surau tersebut tidak terlalu besar seperti mesjid jami kebanyakan,  tetapi cukup dapat menampung jamaah sekitar 100 orang dalam shap yang rapat, menurutku. Jika surau kebetulan penuh sesak ketika tiba waktunya untuk melaksanakan sholat isya disambung dengan sholat tarawih, maka semua jendelanya  yang bisa dibuka dibiarkan mengalirkan udara segar disamping satu  kipas angin besar selalu berputar diatas para jamaah agar aerasi udara berjalan cukup lancar walaupun tidak sepenuhnya dapat meredam udara panas yang terpancar dari tubuh-tubuh jamaahnya, namun angin malam yang berhembus sepoy cukup membantu menurunkan suhu hingga mencapai taraf normal yang  diinginkan. Ketika usai surat Alfatihah dikumandangkan oleh Imam,  suara amin Bilal akan terdengar melengking tinggi membahana keseluruh ruangan surau bahkan lebih, sampai terdengar ke sekitar luaran mesjid. Orangdewasa yang biasa hadir dalam jemaah mesjid tidak pernah mengubris bahkan terganggu dengan ciri khasnya tersebut, bahkan ketika ia berhalangan untuk berdiri berjajar di shap paling depan oleh suatu sebab lainnya dan terpaksa ia berada dibarisan belakang, maka suara khasnya akan mencirikan bahwa ia tetap hadir untuk menjalankan kewajibannya. Mungkin,  kalaupun tidak terdengar sama sekali ciri khasnya pun dapat diartikan ada yang terggangu dengannya oleh sebab musabab ia tidak dapat hadir di surau tersebut.
Saya berkesempatan beberapa kali  bertemu dengan anak-anak yang beraktifitas persis semodel demikian seperti  yang pernah saya tulis di Kompasiana beberapa tahun lalu  yang melaporkan tentang seorang anak pemilik warung panganan yang berada dekat kantor saya dulu (...). Entah apa yang memotivasi perilaku anak-anak tersebut untuk berbuat disiplin berada di mesjid ketika bulan Ramadhan tiba, Apa karena dorongan orang tuanya atau kebiasaan yang murni tercetus dari dasar sanubarinya, saya kurang mengetahuinya secara persis tetapi yang jelas mereka kelak akan menjadi kader-kader pemelihara dan penyemarak mesjid  dimasa yang akan datang yang pada gilirannya akan menggantikan generasi sebelumnya.

Seperti halnya Bilal yang mempunyai keyakinan bahwa berpuasa penuh di bulan Ramadhan disertai dengan aktifitas rutin di mesjid akan mendapatkan bintang dari Khaliq yang maha tinggi, maka saya dengan segala keterbatasanya pun  berkeyakinan bahwa Bulan Ramadhan membawa berkah bagi setiap muslim yang menjalankannya dengan penuh keyakinan, bahwa berpuasa sebulan penuh di disertai aktifitas yang di wajibkan secara syar’i akan berdampak seperti “Detoksifikasi” sebulan penuh dari sebelas bulan lainya, menetralisir dan mengenyahkan segala hal yang buruk baik mental maupun fisik selama hanya berpegang kepada Allah SWT, menetralisir dan meningkatkan akhlak dan amal-ibadah dengan mengenyahkan segala dosa dan keburukan akhlak disertai dengan menetralisir dan mengenyahkan segala racun dari dalam maupun dari luar tubuh  yang masuk secara sengaja maupun tidak sengaja menggerogoti tubuh sehingga pada gilirannya meningkatkan  kondisi kesehatan dan kebugaran, bahkan berkeringat, kencing dan buang air besarnya menjadi berkah tersendiri bagi mereka yang sedang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan
( http://health.kompas.com/read/2012/07/29/13592059/Puasa.Dapat.Keluarkan.Racun.dari.Tubuh ).


Jadi semakin jelaslah bahwa perintah Allah SWT yang merupakan kewajiban setiap hambanya jika direnungkan sebenarnya justru berdampak demi kebaikan hambanya sendiri. Jikapun apa yang dilakukan selama bulan ramadhan sebelumnya atau pada ramadhan kali  ini belum berkontibusi secara nyata bagi perbaikan kondisi mental dan fisik saya pribadi, tentu tidak secara serta merta  menyalahkan Allah SWT, mari kita introsfeksi kedalam diri sendiri tentang apa yang pernah dilakukan selama sebulan penuh tersebut.
 

Kamis, 25 Juni 2015

Kereta Senja


Di sebuah sore yang basah, di pandangnya pendar sinar yang tidak lagi meraja, seperti sebuah fatamorgana lembayung semu  abu-abu yang tidak lagi cerah. Senja merayap pelan merelung malam yang kelak akan dia jejak, tetapi tidak kecewa barang sedikitpun, peluhnya sudah menggenapkan ber lembar-lembar sobekan penanda yang didalamnya malu-malu serangkaian angka dari 1 sampai 31 kadang 30 suatu waktu pernah 28, ia hanya serupa penanggalan yang berlabuh di rengkuh geliat peluh yang telah berlalu.

Tetapi kini angka-angka itu terlalu pelan beranjak.
Sebuah lokomotif tua berkarat yang terengah-engah ketika beberapa gerbong dibelakangnya terlalu berisik, rodanya yang masih berkilat menggelincir mulus di rel yang sama tetapi energinya menggerutu pelan seakan berbisik kepada sesama gerbong yang berada di belakangnya.
Jangan salahkan aku.
Senja, senyap merambat lambat tetapi tetap tersenyum puas, di dadanya yang meranggas telah berjaya mengantarkan gerbong sebelumnya yang tetap setia berada dibelakangnya, beberapa stasiun telah dilalui, serombongan orang  telah Ia angkut, beberapa timbunan barang telah diantarkan ketempat yang dituju.
Kini  beberapa gerbong penuh hasrat menggelegak agar dapat meluncur di rel lain yang lebih pejal dan menantang. Energinya memang sedang menanjak.
Entahlah apakah ia akan menjadi lokomotif yang gesit merambah ke  berbagai stasiun megah yang belum pernah di jejak halamannya sekalipun atau menjadi gerbong yang kuat yang mampu mengangkut penumpang atau barang ke berbagai jurusan sesuai yang di tuju sang peretas.
Entahlah… malam telah merangkak pelan.

Tulisan ini pernah di tayangkan di Kompasiana, . http://www.kompasiana.com/adiabebah/kereta-senja_553023276ea83415348b45a8