Sabtu, 12 Maret 2016

Sabda Pandita Ratu

Sejak jaman masih SD sering diungkapkan oleh Guru Bahasa Indonesia mengenai Idiom, ungkapan, kata kiasan bahkan peribahasa yang sepanjang saya ketahui kebanyakan berasal dari serapan bahasa daerah. Idiom yang berasal dari bahasa daerah tersebut kemudian menjadi bahasa Indonesia yang umum di fahami maknanya, Idiom dan peribahasa tersebut tentu saja tidak lahir begitu saja, ia sangat erat kaitannya dengan budaya dan kultur daerahnya masing-masing, ia pasti lahir dari filsafat kedaerahan yang menjungjung tinggi nilai-nilai luhur kemanusiaan. Seperti penggambaran orang yang karakternya mencla-mencle, ngalor-ngidul, plintat-plintut dll

Dengan mengamati perikehidupan jaman sekarang khususnya yang paling mudah jika mencoba merekam tingkah laku, ucapan dan tindakan yang dilakukan oleh para petinggi dan pimpinan daerah di Indonesia, nampaknya Idiom, kata-kata kiasan yang mempunyai nilai-nilai luhur tersebut mulai terkikis maknanya seiring banyaknya terdengar dan terlihat melalui perilaku dan ucapan para pemimpin dan petinggi di media yang kurang genah dicerna telinga dan hati.

Ungkapan yang sering kita dengar yang berasal dari bahasa Jawa seperti : 
Sabda Pandita Ratu, “Sabda Pandita Ratu” sebagaimana sering diungkapkan oleh pimpinan daerah Jawa yang seharusnya memang demikian adanya dan merupakan harapan rakyat kepada mereka. Dalam hal ini “Ratu” tidak saja mewakili pimpinan tertinggi pada khususnya, tetapi ia juga adalah seorang “Umaroh” pada umumnya. Sedangkan “Pandita:” bisa dimaknakan juga sebagai Ulama. Bila dikaitkan dengan posisi raja pada jaman dulu, bahwa raja adalah “Senapati ing ngalaga” (panglima perang), “Khalifatullah” (raja) sekaligus sebagai “Sayidin panatagama” (pimpinan agama), dengan demikian betapa beratnya tanggung jawab seorang raja, tiga hal menjadi satu. Berucap harus hati-hati, mengingat ia harus “Bawa laksana”, atau kesamaan ucapan dengan tindakan. 
Abang-abang lambe, Abang: merah; Lambe: bibir. Ucapannya hanya seperti pemerah bibir (lipstik). Manis tetapi sekedar olesan. Digosok akan luntur. Ucapan yang sekedar “lamis”, tidak tulus, hanya untuk menyenangkan hati yang diajak bicara.
Idu didilat maneh, Sesuatu yang sudah diludahkan dijilat kembali.
Tinggal tapak jero, Arti harfiahnya meninggalkan jejak yang dalam, sudah janji tetapi tidak ditepati tentu meninggalkan jejak yang mendalam untuk yang akan diberi janji. Dll

Belum lagi peribahasa dan Idiom yang berasal dari bahasa diluar jawa Seperti, dari daerah Sumatra barat misalnya dikenal peribahasa: Dimana kaki berpijak, disitu langit di jungjung. dll

Patut disayangkan memang bahwa masih ada Pimpinan Daerah yang menggunakan mulut dan tindakannya hanya untuk menjaga kepentingan dan kebesaran pribadinya semata bahkan rela menjerumuskan orang lain.

Todongan senjata ditemaram ruang pesta


Kakinya masih diletakan leluasa diatas meja bulat, bundar, ketika Jhoni menghadap kepadanya dalam kondisi tubuh babak belur, darah masih mengucur di dahi, sebelah matanya tertutup lebam biru, praktis hanya satu mata saja yang dapat berfungsi untuk memperhatikan Rahadian yang sedang duduk santai dihadapannya, dua orang anak buahnya memapah Jhoni kehadapannya, sementara Rahadian memicingkan mata, senyum kecut tersungging dari bawah kumis tipis penghiasi bibirnya.

 “Letakan tangan dibelakang” teriak anak buah Rahadian seraya mendorong Jhoni untuk mendekati sang Boss..

 “Setoranmu kurang  dua minggu terakhir ini, ada apa denganmu, kau telah menyia-nyiakan kepercaanku” Ujar Rahadian acuh tak acuh, rokok yang terselip dibibir dihisapnya kuat-kuat. Rahadian berdiri pelan mendekati Jhoni, menghembuskan asap yang keluar dari dalam tenggorokan ke wajahnya yang kuyu..
Jhoni hanya mampu terdiam merasakan kepulan asap mengerubuti wajah yang berdenyut sakit, ia berusaha untuk memejamkan matanya yang hanya tinggal sebelah, menghentikan sementara kinerja pernapasan agar asap rokok tidak mengganggu patu-paru dan matanya, namun sia-sia Jhoni terbatuk untuk kemudian berusaha menengadahkan wajah memperhatikan sang Boss. 

“Ada apa denganmu Jhon” ujar Rahadian, masih bernada datar sambil membalikan badan, mengambil langkah ke posisi agak menjauh, menjaga jarak antara diri dengan anak buahnya yang tidak berdaya kemudian berhenti, menengadahkan kepalanya ke langit-langit ruang.

“Gank baru mengacak-acak wilayahku “ ujar Jhoni terbata-bata. 

Mendengar suara Jhoni terucap singkat, Rahadian cepat sekali membalikan badan  “Dan kau hanya menghindar, kau telah nyata-nyata meremehkan kemampuanku, kau banci tengik, kau telah merendahkan martabatku didepan anak buah gank bau kencur, dasar ayam sayur brengsek”, ucap Rahadian membahana, intonasi suaranya meninggi, kepala tengadah ke langit-langit ruang, pupul matanya membesar seperti ingin menelan bulat-bulat lelaki tak berdaya yang berdiri tertunduk dihadapannya.

“Jawab pertanyaanku, kenapa kau tidak menghubungi rekanmu, atau aku”.
“Ehm ..ehm..telepon genggamku… “ belum sempat Jhoni menyelesaikan ucapannya, sebuah dorongan telapak tangan kuat menghentak wajah, Jhoni terjengkang, tersungkur dilantai dingin tanpa bergerak sedikitpun, darah segar dari hidungnya  merembes membasahi lantai rumah Rahadian yang mewah.
“Kau urus brengsek pencuri penghasilanku ini, masukan ke Rumah sakit, sekalian berikan penghasilan bulan ini kepada keluarganya”  pemerintahnya singkat kuat, anak buahnya menggangguk takjim,  tidak menyangka kejadiannya begitu cepat bagai kilat.

===o0o===

Pesta itu demikian meriah, suara tawa berbaur alunan musik mendayu-dayu mengantarkan pelantai dansa asyik masyuk dalam dekapan pasangannya masing-masing,  gelas- gelas berisi minuman bertaburan dimana-mana, ruang pesta temaram hanya sinar kerlap-kerlip yang menuntun Rahadian berjalan mantap menyeruak diantara keramaian pesta, memhampiri satu-satunya orang yang dituju.
“Kau telah merusak ruang pestaku dan aku kesini untuk mengobrak-abrik kecerianmu”, suara Rahadian berbisik  pelan dekat ditelinga seorang lelaki yang sedang duduk  asyik bercengkerama dengan beberapa perempuan cantik.

Tubuh lelaki tersebut masih dalam  posisi semula seolah mengacuhkan tamunya yang sudah berani lancang mengancam kewibawaanya, moncong senjata colt yang dingin menempel di pelipisnya.
Kejadian tersebut serentak  memancing keributan anak buah lelaki tersebut, terkesima sesaat kemudian mencabut pistol masing-masing, bergerak mengepung Rahadian yang dingin membeku, wajah Rahadian tidak bergeming, tidak menampakan rasa gentar sedikitpun fokus ke obyek bidikannya.
Tanpa ada perintah sedikitpun, seolah keluar dari kegelapan, segerombolan  anak buah Rahadian memasuki  ke ruang pesta, menodongkan pistol-pistolnya di kepala anak buah sang lelaki.
Kepala  lelaki tersebut bergerak perlahan, matanya menyelusuri wajah sang penggenggam senjata yang setiap waktu dapat membuyarkan isi kepala.
Lelaki dengan wajah sedingin es menatap tajam, Rahadian  masih dalam posisi siap siaga, sinar matanya beradu  satu sama lainya, tidak bergeming sedikitpun selama beberapa saat, terdiam seolah saling menjajagi kekuatan masing-masing.

“Aaaah kau Romi rupanya”, kapan keluar dari penjara, keduanya saling berpelukan.
“Koo tanpa menghubungi aku, pesta ini memang layak untuk kita rayakan bersama hahahaha”
Cut…cut…cut…cukup sudah adegan hari ini, besok dilanjut lagi ujar seorang perempuan seksi yang sedari tadi berada duduk didekat kamera sambil bertepuk tangan meriah.


Jalan-Jalan di Kota Mini Metropolitan


Sementara dalam waktu senggang dan mumpung sudah berada di tempat wisata di kawasan Cipanas, Puncak, Cianjur dan kebetulan mendapatkan rekomendasi dari salah seorang teman, kusempatkan bersama isteri jalan-jalan di seputaran cluster- cluster vila mewah yang bertebaran di sekitar daerah tersebut. Saya mencoba masuk ke salah satu cluster vila terkenal karena lokasi dan arsitekturnya terkenal indah dan beraneka type serta jumlahnya yang banyak berderet-deret mengikuti ragam jenisnya, seperti arsitektur gaya Jepang, Spanyol, eropa dll yang berdiri megah di atas hamparan lahan puluhan bahkan mungkin ratusan hektar tetapi sepi dengan penghuni dan orang-orang yang berkunjung dan berkesempatan hadir di tempat itu. 

Memang, vila-vila megah itu dimiliki dan di beli oleh orang yang berpunya hanya untuk sekedar beritirahat dan berekreasi saja, sementara untuk sehari-hari mereka bermukim jauh dari lokasi tersebut, sehingga biasanya pada hari libur tempat ini akan ramai pengunjung. Tetapi hanya kekecualian belaka bahwa pada hari liburan kemaren tetap saja terasa sepi, entah kenapa dan ada apa, apakah karena saat ini bertepatan dengan musim krisis? Entahlah.

Saya di tawari vila yang cukup megah tetapi tampak tidak cukup terurus dengan harga yang kata mereka sangat terjangkau untuk dimiliki, jauh dibawah harga pasaran. Setelah saya coba hitung diluar kepala, diperkirakan dengan melibatkan beberapa komponen di dalamnya yang berhubungan dengan berdirinya sebuah bangunan yang semodel arsitektur megah demikian Yaa memang termasuk jauh dibawah harga pasaran. Mungkin dengan bermodalkan rumah yang saya tinggali sekarang (kebetulan sudah ada yang berminat dan harganya masuk),tetapi tetap saja saya ogah untuk memilikinya, selain sepi, lebih mirip kota hantu ketimbang pemukiman penduduk biasa seperti di wilayah dimana saya tinggal, juga apakah saya akan merasa betah tinggal berlama-lama disana, tokh saya juga tinggal di Cianjur dan kalau memilikinya juga tidak mungkin untuk dapat tinggal berhari-hari bahkan selama hidup saya untuk menetap disana. Masalahnya walaupun bangunannya tampak megah dan tertata apik beserta kemudahan fasilitas yang dimilikinya, kalau tidak ada tetangga lalu kehidupan bersosialisasiku bagaimana, kalau aku atau anggota keluarga sakit atau ada yang meninggal mendadak lalu siapa yang tau, siapa yang akan dapat menolong dan turut berduka cita? hehehe...Mungkin saja saya akan stress dan cepat mati, lalu akan diketemukan ketika sudah berhari-hari membusuk, karena bau menyengat yang menyebar sampai menggelitik hidung pihak keamanan vila.

Isteri saya yang mula-mula riskan dengan ide teman saya tersebut, karena pada awalnya saya cukup terpesona akan suasana megah bagai kota metropolitan tetapi setelah diamati lebih mirip kota hantu. Setelah beberapa lama berputar-putar disekitar lokasi untuk sekedar mengagumi keindahannya...Tiba-tiba bau menyengat tersebut mendadak ujug-ujug tercium selintas dihidung yang semakin lama semakin menyesakan pernapasan, untuk beberapa saat kemudian hilang dengan sendirinya seiring laju kendaraan yang kupacu. Setelah mencapai pintu keluar yang dijaga ketat oleh petugas keamanan vila, kami berpapasan dengan mobil ambulan yang akan masuk kelokasi tersebut, mobil putih bertanda simbol "tambah" berwarna hijau yang tampak sepi, dingin dan tidak berisik seperti di jalan-jalan umum lainnya bergegas memasuki lokasi kota mini metropolitan.

Dasmo Sang Sastrawan Muda.


Jika mencintai seseorang, selayaknya cintailah secara pribadi seutuhnya dengan segala kekurangan dan kelebihan yang melekat erat di sosoknya. Yang serasa masih kurang coba diperbaiki dan kelebihannya didorong agar bersinar lagi. Menilai seseorang apalagi yang dicintai tentu saja boleh memakai standar yang sudah ada dan umum berlaku dimasyarakat dimana ia tinggal dan erat kaitannya dengan kebiasaan dan budaya setempat. Namun kerap juga tidak lepas dengan keinginan yang hendak ditanamkan terhadap yang dicintai dan jika tidak memperoleh ekspektasi yang diharapkan apalagi kejadiannya berulang biasanya akan timbul prasangka-prasangka aneh, maka sangat penting dialog yang jujur dari hati ke hati antara kedua belah pihak. Ujar Somad mengawali diskusi yang setelah dicermati secara fisik serta menilik ungkapan perasaan yang terlontar dari ujarannya lebih kepada hendak mencurahkan isi hati, melebur uneg-uneh yang mengganjal dalam hati. Saya malah lebih banyak diamnya sambil sesekali memberi sentilan, meyakinkan agar ia tidak perlu sungkan dan ewuh-pakewuh dijamin kerahasiaan keberadaannya tidak akan diumbar kemana-mana.

Somad yang biasa dipanggil Dasmo bisa di sebut sebagai sastrawan muda, walaupun umurnya sudah kelewat matang, ia masih belum saja mendapatkan idaman hatinya walapun menurut penuturannya sudah beberapa kali berpacaran dengan gadis incarannya namun selalu kandas di tengah jalan.
Itu lebih beruntung. Ujarku sambil meraih cangkir kopi dan menyeruput isinya pelan. Lho yang parah itu yang tidak yakin dengan segala yang ia punya, merasa kurang, minderwardeh kala mendekati cewek dan pikiran-pikiran negatif lainnya yang membelenggu. Kata orang, dengan percaya diri (karena yakin bahwa manusia itu tidak ada yang sempurna) sambil mengatur strategi untuk mendapatkannya dalam artian positif tanpa embel-embel lainnya, maka setengah dari keberhasilan akan tercapai dan mudah-mudahan Tuhan juga meridhoi segala niat baik yang dicita-citakannya.


Ia mengambil napas panjang sambil sesekali menghisap rokok kreteknya dalam-dalam. Pada mulanya hubungan kami sih baik-baik saja Kang, normal seperti lazimnya orang pacaran namun lama kelamaan seiring waktu berlalu, ketika berdasarkan penilaiannya katanya saya sering ketauan berperilaku janggal, menurutnya saya tidak fokus dan kurang respek dengan apa yang dibicarakannya, maksudnya ia pernah menyampaikan isi hati bahwa saya sudah tidak perhatian lagi lah, punya cemceman lainya lah dan seabreg permasalahan tanpa dasar hanya melulu berdasarkan penilaian pribadi tanfa fakta yang jelas. Mana mungkin tokh aku begitu?


Cuman kadang-kadang memang tanpa disadari aku selalu tersenyum sendiri ketika ia mengutarakan kisah sedih ditinggal saudara yang hubunganya sangat erat denganya, memang pernah aku lakukan. Atau katanya aku pernah diam seribu bahasa tanpa ekspresi, sibuk dengan pikiranku sendiri ketika ia dengan leluasa menilai menggunakan perasaannya, bahwa ia sudah jauh-jauh datang menemuiku, menyempatkan waktu diantara kesibukan pekerjaannya di kantor, ia ingin ngobrol-ngobrol ngalor-ngidul denganku malah disambut dengan ekspresi muka flat sambil pikirannya entah nyantol kemana, jangan-jangan inget sama gadis bahenol lain. Suatu saat katanya aku ujug-ujug menyebut nama Amel, lain kali Sulis sering juga menyebut Nur saja. Ujarnya marah-marah sehingga tiba-tiba saja aku tersadar lalu menanyakan sebenarnya tadi kamu ngomong apa sih?


Lah coba pikir Kang... Aku kan dikejar “dead line” hehehe...Ujar Dasmo, kali ini ungkapanannya tanpa saya interupsi. Kewajiban penulisan esayku belum juga rampung padahal waktumya sudah mepet, sedang Boss perusahaan dimana aku nyambi taunya hanya tereak melulu. Ketika pikiranku melambung merambah kemana-mana hardikan kekasihku yang meminta perhatian selalu muncul tiba-tiba lalu menghamburkan mosaik bayanganku yang sudah tersusun rapi di benak, hancur begitu saja tanpa bekas lalu aku bisa menulis apa? Ia nggak mau tau apa itu “dead line”, mana mungkin ia mengerti tentang pekerjaan seorang sastrawan (sekali lagi ia tertawa kecil), apa itu nggak berabe kalau terus menerus diteror begitu. 


Yah itu mah penyelesaiannya seperti apa yang kamu sampaikan diawal tadi, Berdialog yang jujur saja dari hati kehati, mudah-mudahan kali ini bisa nyambung. hehehe

Secangkir Kopi dan Kenangannya yang Tertinggal

Secangkir kopi yang masih mengepulkan uapnya menguarkan aroma pekat khas kopi kesukaan, kopi yang tergeletak di atas meja itu dibiarkannya sebentar. Seperti biasanya setiap Sam duduk di kursinya dipagi hari sebelum berangkat bekerja dan setelah sarapan adalah sebuah rutinitas yang biasa ia nikmati. Sedari remaja pada saat Sam mulai merasakan nikmatnya menyeruput kopi hangat, biasanya Ia meracik sendiri ukuran pasnya komposisi campuran antara kopi dan gula terkadang dibubuhkan susu kalau kebetulan pas sedang ada untuk ditempatkan dalam cangkir yang bisa dihitung jumlahnya, menjarang air pada panci kecil diatas kompor kemudian ketika mulai mendidih dituangkan kedalam wadah yang sudah disiapkan tersebut, mengaduk pelan sambil membiarkan aromanya tercium menyegarkan, didiamkan sebentar agar sedikit lebih hangat untuk kemudian diseruput pelan. Kegiatan tersebut baik di pagi, siang bahkan malam hari sudah melekat erat dalam tindakan Sam sehari-hari layaknya kebutuhan makan sehari tiga kali, semacam kebutuhan yang alurnya selalu paralel seiring sejalan, makan, ngopi kemudian disambung udud mengepulkan asap, wah nikmat sekali rasanya pikir Sam muda yang sudah mulai medapatkan penghasilannya sendiri.   

Kebiasaan selagi Sam muda tersebut sampai terbawa ketika sudah berumah tangga, mempunyai seorang isteri yang luarbiasa baiknya dan seorang anak perempuan mungil yang cantik seperti ibunya. Tanpa mengandalkan isteri yang sudah sarat dengan pekerjaan sehari-hari termasuk mengemong dan merawat anaknya yang masih kecil. Kebiasaan Sam, makan, ngopi dan ngudud yang tidak selalu terpaku pada waktu hanya pada saat sedang lapar atau ingin saja Ia lakukan sendiri, kecuali hanya dipagi hari saja barangkali. Hal tersebut yaitu kebiasaan rutin untuk melayani diri sendiri tentu ada sebabnya disamping memang merasa tidak nyaman saja ketika hanya sekedar ingin minum kopi hangat, Sam harus menunggu sekian lama selagi isterinya meracik dan menyajikannya dalam secangkir yang sangat nikmat untuk diseruput sedang ia sendiri tidak melakukan kegiatan apapun. Ketika tidak ada yang harus dikerjakan maka ngopi, makan dan ngudud, sering ia melakukannya sendiri sepanjang tempat bahan dan letak makanan tidak berubah tempat maka kondisi tersebut tentunya berada dalam keadaan baik-baik sajalah kecuali ketika sedang soan ke rumah mertua, tau sendiri kan alasannya. Dan jangan tanyakan kepada Sam ketika pas sedang bokek, hujan dan kondisi rumahnya yang kebetulan sedang bocor menggenang di sebagian ruangan rumahnya maka Sam beserta Isterinya hanya tampak sedang berdiam diri saja saling menjaga perasaan masing-masing sambil menunggu keadaan yang lebih baik, hal tersebut merupakan tindakan yang tepat menurutnya daripada murukusunu (uring- uringan) nggak puguh juntrungannya tanpa memberikan solusi perbaikan. Namun ternyata pada suatu waktu, mendadak saja Sam mengambil keputusan untuk resign dari kebiasaan tersebut. Masalahnya mungkin sangat sederhana bagi orang lain tetapi sangat berkesan mendalam bagi dirinya. Kejadiannya, selepas Ibunya Sam mulai sakit-sakitan dan keluar masuk rumah sakit sampai beliau tidak dapat berbuat apapun selain berbaring di tempat tidur Rumah Sakit, Ibunya Sam mulai mengabsen semua anak-anaknya bahkan keluarga besar serta sahabat-sahabatnya dan berusaha menanyakan keberadaannya ketika salah seorang dari mereka kebetulan tidak sempat hadir. Sam yang kebetulan dapat mengambil cuti panjang ketika merasa dan mengingat selama ini Ia bekerja haknya tidak pernah diambil walaupun hanya sekedar untuk urusan keluarga, kebetulan saja ketika Ibunya sakit Ia dapat mengambil hak istimewa tersebut dan dengan leluasa untuk beberapa hari ia bisa menggungu Ibunya begantian dengan adik-adiknya. 

Berhari-hari selama menunggu, Sam dapat memperhatikan dengan seksama kebiasaan Ibunya ketika sakitnya semakin parah dan tidak dapat melakukan apapun selain berbaring di tempat tidur. Ia akan mengabulkan setiap keingginan Ibunya yang terkadang tidak mampu mengingat akan sekelilingnya, dengan trengginas Sam akan segera beranjak ketika Ibunya meminta sesuatu bahkan sekedar ingin ke toilet, mendudukan di toilet dan menyemprotkan air untuk membilas. Dalam menjelang akhir khayatnya, Sam berkesempatan untuk memberikan jalan bagi ibunya dengan membisikan kalimat pengakuan akan keberadaan Allah SWT dan Nabi Muhamad SAW untuk yang terakhir menjelang ajal terenggut dari jasad, Dua kalimat shahadat yang dibisikan di telinga Ibunya berhasil di ucap-ulang, Sam tidak merasa heran karena Ia sering menyaksikan sendiri kebiasaan Ibunya berdzikir dan beristigfar yang selalu dilakukannya selepas sholat. Kening dari wajah yang tersenyum dan terbiasa memelihara dan membimbingnya dengan kasih sayang itu terasa dingin ketika dicium Sam untuk yang terakhir kalinya, sekujur tubuhnya kaku di balut kain kapan, setelah dimandikan kemudian disholatkan di mesjid terdekat, Ia di kebumikan di tempat peristirahatannya yang terakhir, Ia telah kembali kepangkuan Illahi. 

Beberapa hari setelah semuanya hening, dimalam sepi kembali Sam mulai mengingat kebiasaan ibunya ketika Ia sedang sakit, terkadang ia mengabsen anak dan cucunya menanyakan keberadaanya apabila salah seorang kebetulan tidak hadir di Rumah-Sakit itu. Hal tersebut dilakukan Ibunya Sam tentunya bukan untuk membagikan harta warisan yang berlimpah, karena memang Ia sudah tidak mempunyai apa-apa lagi, Rumah dan tanahnya sudah habis terjual demi untuk pendidikan anak-anaknya sampai dua orang dari anaknya termasuk Sam selesai meraih sarjana. Setelah semua anak-anaknya sudah bekerja baik yang perempuan apalagi lelaki, sejak semuanya sudah mandiri dan berkeluarga, dengan leluasa ibunya Sam mulai fokus untuk beribadah dan beramal sholeh dengan selalu mengunjungi majelis dzikir khusus ibu-ibu dengan mengandalkan uang pensiunan dari Almarhum Ayahnya Sam yang sudah terlebih dahulu meninggalkannya. Sam kembali berpikir apa gerangan maksud dan tujuan Ibunya dalam kesempatan tertentu, dalam kondisi sakitnya yang semakin parah itu Ia selalu mengabsen anak-anaknya padahal selalu saja ada salah seorang anak dan saudara yang menunggu sepanjang waktu secara bergiliran, bisa saja kangen atau terlalu sepi jika hanya salahsatu atau dua orang saja yang menunggu, tetapi dalam keheningan malam Sam mulai terbuka pikirannya dan mulai memahami akan maksud dan tujuan yang paling hakiki akan maksud Ibunya tersebut saat menjelang akhir khayatnya. Ia telah menyediakan keleluasaan akan waktunya yang sangat terbatas kepada keluarga, saudara serta teman-temanya untuk saling meminta maaf melebur segala dosa serta khilap yang pernah dilakukan dan khusus bagi anak-anaknya ia telah memberikan ruang dan waktu secara terbuka seluas-luasnya dengan ikhlas untuk sekedar memberi kesempatan terakhir agar seluruh anak-anaknya dapat meraih puncak amal selagi Ia masih hidup, mereguk berkah dan do’a-do’anya. Sam kemudian tersungkur dimalam sepi, air matanya tak kuasa membasahi sajadah. Doa untukNya mulai dirapalkan, bermunajat kepada Pemilik kehidupan dan Pemelihara Alam beserta isinya semoga menempatkan Ibu beserta Bapaknya di tempat yang paling baik disisiNya. 


Selepas itu semua, setelah suasana berkabung itu berlalu, Sam mulai untuk resign dari kebiasaannya melayani diri sendiri walau sekedar untuk menyeduh secangkir kopi sekalipun, ia tidak lagi berpikir dan melakukan tindakan egois dengan tidak memberi kesempatan kepada keluarganya untuk sekedar mendulang amal semampu yang dapat Ia kerjakan apalagi saat ini, saat anak-anaknya sudah besar, sudah dapat melakukan segala keperluanya sendiri.


Selengkapnya : http://fiksiana.kompasiana.com/adiabebah/secangkir-kopi-dan-kenangan-yang-tertinggal_56cc60d62b7a614a133a28d6