Diaz masih berjalan mundar mandir lalu menunduk layaknya sedang berpikir keras, sesekali matanya menerawang ke atas, ke langit-langit ruangan rumah bercat serba putih kemudian tingkahnya kembali pada keadaan semula, mondar mandir lalu berhenti pada sebuah meja berhiaskan benda-benda antik hasil pinjaman milik orangtuaku sebagai pesanannya, dia tertarik dengan benda antik serta artistik tersebut ketika tidak sengaja bertandang ke rumahku selesai mengantar mengikuti seminar seni dan budaya di gedung dewan kesenian di kota ku Bandung.
Benda-benda itu disusun kembali diberi hiasan di sana-sini mengikuti tema tertentu sesuai olah imaginasinya, diamati sebentar kemudian di sempurnakan ketika dirasa ada yang kurang. Dia beranjak ke kain kanvas putih yang berdiri tegak di hadapannya, masih kosong belum tersapu oleh seberkas coretanpun, lalu dengan cepat tangannya menggoreskan sketsa-sketsa tertentu, kuas cat warna melibas lugas di bidang datar menoreh aneka warna yang dicampur-campur, melalui ujung kuasnya warna tersebut disapukan dengan cepat penuh percaya diri, karyanya disempurnakan dengan aneka detail yang rumit antara kejelian pandangan, imajinasi, olah rasa serta sentuhan kuas yang berwarna natural persis seperti bentuk aslinya. Itulah kelebihan Dias dalam melukis berbagai objek yang disukainya, Ia akan melakukan pekerjaan dengan sangat teliti, mempersiapkan segala sesuatu dengan matang sebelum dituangkan sempurna di atas kain kanvas.
“Bagaimana menurutmu, Eris Manyar”. Tanyanya ketika dengan tiba-tiba saja Ia menyebut nama alias yang disandingkan dengan nama asli, nama gabungan yang didedikasikannya kepadaku. Terkadang dia hanya memanggil ku cukup dengan Manyar saja tanpa dibubuhi embel-embel nama pemberian orangtua ku, disapa tiba-tiba ketika sedang asyik menikmati gerak jemarinya bermain di atas kanvas, aku sedikit gelagapan.
Aku mencoba mengamati dari dekat, tampak lukisan tersebut semakin jelas terlihat diantara ulas warna serta detail bentuk-bentuk yang demikian proporsional di atas bidang datar.
“Artistik” Ucap ku tergagap karena ketika ingin kutegaskan pendapatku terhadap karyanya, dia sudah berdiri di belakangku, berjarak beberapa senti saja dari wajah ku yang sama-sama memandang hasil karyanya, harum napasnya seolah menggerakan aliran darah dalam tubuh cukup deras, padahal aku kurang begitu mengerti tentang seni lukis, yang ku tahu bahwa ketika karya lukis sangat mirip bahkan lebih hidup dengan melibatkan permainan cahaya ter tuang ke dalam suatu objek, berkesan hidup lagi dramatis dibanding dengan bentuk aslinya, maka aku berpendapat lukisan tersebut pastilah hebat.
Sarung tangannya sebagian masih terlihat bercak warna, dibuka leluasa, membalikkan tubuhku dan mendekapku diantara pelukannya, mendaratkan bibirnya ke bibirku yang bergetar hebat, aku kerasukan dalam lumatan lembut menambah derasnya aliran darah serta degup jantung bertalu-talu.
Entah kenapa menyebut dengan ungkapan Manyar, sempat protes ketika nama asli ku disandingkan dengan nama sejenis burung kecil berwarna coklat muda berhiaskan bercak serta garis warna putih dan warna coklat gelap membalut tubuhnya, memang indah sih tetapi burung bagi perempuan rasanya kurang tepat.
“Tapi Manyar adalah burung indah Eris”, ungkapnya “selain bentuknya yang mungil dan warna bulunya yang serasi suaranyapun merdu serta renyah. intonasi naik turun mencicit memenuhi atmosfer ruangan membuat para pencinta burung menjadi betah berlama-lama mendengarnya dan jangan lupa burung manyar merupakan sejenis arsitek pembuat sarang yang paling piawai”.
Tak ku hiraukan pendapatnya, aku hanya geli saja bila seorang perempuan di fersonifikasikan dengan burung, bukankah burung identik dengan laki-laki untuk pengejawantahan sisi biologis sebagai bagian dari jumawa maskulinnya. Akhirnya aku tidak peduli dengan sebutan panggilan alias tersebut barangkali sebagai ciri khasnya untuk mengungkap kan rasa sayang, entah lah, mungkin sebagai ungkapan pribadi karena memang aku terlalu cerewet baginya atau karena kesukaanku akan potongan rambut pendek, terkesan tomboy seperti raut muka burung tersebut, masa bodo lah, akhirnya ia semakin biasa memanggil ku dengan sebutan Eris Manyar.
Penampilan Diaz menurutku sempurna dari sisi fisik, tinggi, berkulit putih, berwajah tampan , bersih, selalu berpenampilan kelimis dan dia sangat selektif memperhatikan hal-hal detail tentang segala sesuatu yang dikenakannya walau tampak berkesan sederhana, tetapi modis dengan setelan pakaian paduan warna terpilih, berkesan marking minded, tak heran banyak para gadis ter gila-gila ingin dekat dengannya, namun penampilan Diaz tetap cool, acuh tak acuh dan aku termasuk salah seorang gadis yang beruntung teramat dekat dengannya, menyisakan perasaan iri dari teman-teman sebaya ku.
Bicara nya halus tidak pernah ketinggalan menyisipkan kata-kata sayang di ujung sapaannya, aku semakin terpesona dengan penampilan sosoknya. Dia semakin klop dengan keluargaku, dan terlihat akrab dengan Ibuku, nampaknya keharmonisan tersebut disebabkan kesesuaian akan minat terhadap karya seni yang sejenis, dia ahli di bidang seni menata eksterior interior karena memang sedang menuntut ilmu di jurusan yang dipilihnya di fakultas seni rupa Universitas terkenal di Bandung dan piawai dibidang seni lukis, sedang ibuku menyukai benda-benda seni serta barang-barang antik.
Hubunganku dengan Diaz semakin lengket saja, hari-hari ku jalani dengan penuh rona binar menghias diantara pandangan mataku dan matanya, alam dan se isinya seolah menampakkan sisi yang menakjubkan jika dekat dengannya.
Hanya sepenggalan tahun aku sangat akrab berdampingan dengan Diaz, hingga pada akhirnya dia menyibukan diri dengan sisa mata kuliah menjelang tugas-tugas akhir yang harus di selesaikan dengan sungguh-sungguh, sesekali aku memberanikan diri bertandang ke rumah kontrakannnya, hanya ingin mengobati rasa rinduku, dia tampak sibuk tenggelam dalam tumpukan beberapa buku di atas meja komputer, seperlunya menyapa dan pandangannya tidak seindah dulu yang menari-nari di mataku, dia kini sibuk antara buku dan komputer, aku demikian maklum atas usahanya mengejar tugas-tugas akhir masa kuliahnya, sampai akhirnya dia benar-benar menghilang dalam hidupku tanpa meninggal kan pesan apapun. Perasaan galau serta rasa dicampakkan begitu saja menyisakan kegilaan kehidupanku serta seluruh perhatian studyku hancur berantakan.
Diaz bajingan tengik, ingin rasanya mengukir namamu pada sebilah benda panjang pipih bagai penggaris kayu, ku reka-reka agar nampak indah, kemudian ketika sempat bertemu dengannya, sangat ingin ku timpukan hasil karyaku ke tubuhnya, agar kau tahu rasa betapa tersiksanya merindukanmu. Namun ditempat kontrakan itu, kuhubungi teman-temanmu, kau raib demikian sempurna, menyisakan hasrat tak terperi.
Sampai suatu masa saat beberapa tahun kemudian, saat namamu telah nyaris hilang dalam angan ku, ketika sedang sibuk tenggelam dalam pekerjaanku di kantor, layar LCD BBku memanggil-manggil menunjukkan sinyal tentang kehadiran dirimu, kau ujug-ujug muncul menyapaku, menanyakan tentang keberadaanku.
“Hallo Eris Manyar apa kabar, senang dapat mengetahui alamat emailmu berkat jasa paman Google”. Ungkapnya dalam sebuah tulisan.
Bajingan ini telah lama menghilang tanpa pesan, menyisakan keterpurukanku, lalu dengan beraninya tiba-tiba saja dia muncul menyapaku dengan sebutan khas. Bangsat gerutu ku tak habis-habis, namun nyatanya aku tak kuasa menghardik untuk melampiaskan kekesalanku, buru-buru kutelpon balik untuk meyakinkan.
“Baik dan kau ke mana saja” ku balas sapaannya.
“Aku saat ini sedang berada di Paris, mengerjakan proyek Kondomonium di negara ini bersama team ku, maaf akan kealfaanku selama ini” Balasnya tanpa meninggal kan kesan yang mengungkapkan rasa, aku semakin penasaran saja terhadapnya.
“Eris Manyar off dulu ya, maaf ada telpun dari Bos, aku di diharuskan menghadap ketua team penggarap proyekku” Balasnya ketika aku ingin sekali mengorek rasa kepenasaranku terhadapnya. Diaz Sompret pikir ku.
Itulah hubungan terakhir per tilpun dengan Diaz, ku tangkap sekilas tentang kondisi dan keberadaan nya saat ini. Sampai beberapa tahun kemudian seperti biasanya tidak ada kabar sedikitpun darinya, walau beberapa kali kuhubungi lewat email ataupun per telpun, jawabannya nihil belaka. Semakin bulat niatku mulai saat ini aku harus berani melupakan nya, menghilangkan tanpa jejak sedikitpun dalam anganku, bagiku Diaz telah mati, mati untuk dirindukan oleh segenap rasaku.
Kematian Diaz dalam benakku telah melahirkan beberapa cinta pengganti, berlalu-lalang mampir di belahan hati, tak terkecuali dengan Raimond pemuda dewasa berperawakan bongsor tetapi tak kalah kreatif dalam mengutak-atik program menghitung angka-angka finansial dalam komputer pribadinya, dia bekerja di perusahaan swasta bertaraf international bermasa depan cerah, tak kuasa menolaknya ketika dia bermaksud serius melamar ku di hadapan kedua orang tuaku.
Raimond tidak se tampan Diaz juga tidak terlalu romantis, dia berkarakter biasa-biasa saja tanpa ada hal yang menonjol, malah terlalu berbody subur menurutku, tetapi jangan disangkal tentang tanggung jawabnya sebagai seorang laki-laki, menurut ku dia seorang pria gentleman yang dulu pernah diharapkan karakter tersebut melekat erat dalam diri Diaz.
Empat tahun sudah berlalu setelah masa perkawinanku dengan Raimond, menempati rumah mungil di bilangan perumahan elit di sekitar Ibu kota Jakarta hasil dari jerih payahnya bekerja. Memberikan ku seorang momongan bayi mungil perempuan cantik berumur dua tahun lebih dan aku merasakan bahwa hidup serasa dimulai ketika aku bersanding resmi dengannya.
Karier Raimond terus menanjak berkat keuletan serta kecerdasannya mengnangani kasus –kasus rumit, sebagai seorang CEO di perusahaan bertaraf internasional, kerap sibuk menyelesaikan segala urusan dengan klien serta mitra kerja perusahaan hingga ber hari-hari tidak pulang untuk sekedar meeting di luar negeri.
Di pagi buta ketika Raimond buru-buru pamit memburu jadwal penerbangan pagi itu menuju Singapura untuk urusan bisnis, dua buah tiket pesawat tergeletak di meja makan, untukku dan Diandra anakku.
“Ambil cuti untuk tiga hari dan Jangan lupa aku tunggu di sana ya” ujarnya ketika Raimond mencium Diandra di depan pintu rumah sebelum Sri, baby sitter anakku menggamitnya untuk mengajak sarapan, lambaian Diaz menghilang bersama laju mobilnya dibelokkan depan perumahan.
Berniat untuk kejutan, karena suamiku tak pernah ku kabari tentang kedatangan ku di Singapura, Siang menjelang sore aku dan Diandra menjejakan kaki di bandara Internasional Changi, delay waktu satu hari tak mengecewakanku untuk sampai di bandara canggih tersebut, sebagai bandara termegah dan terbaik di dunia, Changi memang pantas menyandang penghargaan tersebut, menangani puluhan juta pengunjung per tahun yang berangkat maupun menuju Singapura, melayani hampir seratus maskapai penerbangan menuju 200 kota di 60 negara dan teritori di dunia, memang sungguh layak Bandara Changi telah menerima lebih dari 340 penghargaan sebagai bandara terbaik yang terus memotivasi diri untuk meningkatkan dan melanjutkan inovasinya.
Pengunjung bandara demikian banyak hari ini, ditingkah serba laku yang diperagakannya: santai, sibuk tak terkecuali dengan aneka dandanannya, dekat seputar bandara Changi berjajar toko fashion bertaraf internasional layaknya etalase busana internasional sebagai indikator fashion dunia.
Aku menuntun Diandra dalam keriuhan serta lalu-lalang orang-orang, baik laki maupun perempuan anak ataupun dewasa menapaki eskalator mewah. Dalam kesibukan ku memapah diandra, kudengar suara lirih seorang wanita dewasa memanggil dari eskalator sebelah.
“Manyar kamu Manyar kan” ucapnya hampir tak terdengar tersita oleh keriuhan sekitar, ku lirik sosok tersebut seorang wanita berpakaian modis, raut wajahnya sepertinya tidak asing lagi, salah satu tangannya melambai seolah ingin menggapai ku, sementara tangan lainnya menggamit lengan seorang laki-laki tinggi besar, sambil terus berucap tak jelas menyisakan gerak bibir serta roman muka semringah, perempuan tersebut berlalu pelan berlawanan arah, aku terkesima memandang dalam diam, tak kuasa untuk membalas sapaannya, bibirku seakan terkunci rapat tak bergeming sedikitpun, tak pernah kulupakan hidung yang bertengger serasi di wajahnya serta tahi lalat menghias di atas bibir sebelah kiri walau penampilannya kini telah berhias cantik, aku tak melupakan bibir itu, bibir yang pernah dengan seronok melumat bibirku, aku tak pernah lupa akan sosok Diaz walau saat ini berbusana feminin.
Dia bergandengan tangan bersama seorang lelaki yang tidak asing lagi, lelaki yang sering dipanggil Papa oleh Diandra.