“potonglah dengan ini nak, tepat digaris tersebut” ujarnya sambil menyerahkan sebilah golok, Anak lelaki itu mencoba mengerjakan sesuai petunjuknya membelah potongan bambu menjadi beberapa bagian. Belahan bambu yang sudah terkumpul diambil satu-satu oleh bapak tersebut kemudian diraut menggunakan pisau kecil tajam.
Tuan Brata Van de stern demikian masyarakat dikampung menyebutnya, sosok angkuh keturunan ayah Belanda dan ibu ber etnik Sunda, bertubuh tinggi besar, jarang ngomong dan selalu memperlihatkan muka masam, Lelaki menjelang paruh baya tiba-tiba saja memanggilnya, meletakan golok dan benda sejenis pisau tajam, menyuruhnya membelah buluh-buluh bambu ber ukuran tertentu. Mulanya Anak tersebut hanya bengong saja tidak mengerti bagai mana memulainya, Pak Brata memperlihatkan permukaan potongan buluh bambu, permukaan berbentuk bulat sudah diberinya tanda bergaris-garis menggunakan pinsil.
“Sesudah terbelah semuanya kau boleh merautnya seperti ini” perintahnya sedikit ada penekanan di nada suara yang membuat ia tidak berkutik untuk segera menirukan. Potongan-potongan buluh bambu yang sudah berbentuk halus kemudian dibagi dua, satu bagian digunakan sebagai rangka vertikal dan bagian lain untuk horisontal, potongan bambu bagian horisontal diberi perlakuan khusus dihaluskan kembali menggunakan pisau raut dari tengah menuju ke ujung kemudian dari titik tengah ditimbang menggunakan benang agar setara antara sebelah kiri dan kanan, perpaduan kedua bagian persilangannya serta ujung- ujung nya dipautkan dengan benang di tempel selembar kertas tipis dan jadilah layang-layang. Pak Brata memang sangat tergila-gila bermain layangan di areal pekarangannya yang luas, mengisi masa senggangnya. Sebagai upah dari jerih payah menemaninya anak lelaki tersebut mendapatkan beberapa pucuk layangan.
Sebenarnya niat Anton mengunjungi rumah tersebut hendak mengajak anaknya untuk belajar bersama kerumah teman se grup bukan untuk belajar membuat layangan, namun malang nian nasibnya, apa daya hanya sampai dapat membawa beberapa pucuk benda yang dapat mengapung ke udara tanpa bertemu dengan temannya, anak kandung Pak Brata Van de stern.
Dirumah itulah bersemayam seorang gadis sebaya Anton, berpenampilan tomboy dan sungguh temperemental, mudah marah dan jangan sekali-kali menggoda dengan perkataan sedikit mengusik hati dengan penghinaan tentang asal muasal jati diri “keturunan penjajah” dia akan sangat marah dan siap-siap menerima tinju keras mendarat di hidung. Dia adalah cicit Van de stern seorang Belanda tulen.
Joan D’Arc, begitu rekan sekelompok menyebut gadis anak pak Brata Van de stern, diam-diam dikagumi Anton, bukan saja karena kecantikannya tetapi ke apa adanya, suka atau tidak suka terhadap apa saja, dia akan mengekspresikan secara langsung, benci, dia akan terus terang mengungkapkan rasa tidak sukanya.
Semula Anton berharap yang keluar menyambutnya kemudian mempersilahkan duduk manis di beranda halaman rumah tersebut adalah Joan sendiri atau paling tidak kakak laki-lakinya yang ramah, seorang pencinta seni serba bisa, berkenan memberi kesempatan untuk mengajari mempraktekan nada-nada yang lazim digunakan untuk memainkan melodi melalui pijitan dan petikan jemari pada frets gitar akustik, bidang panjang serupa lengan dimana dawai dipijit oleh tangan kiri sementara tangan kanan memetik, aah terlalu rumit bagi Anton kecil, tetapi seperti yang sering dilihatnya ketika kelas 3 SD, Peter memainkan dengan santai, terlihat begitu mudah mengiringi lantunan suaranya menyanyikan lagu populer dengan penuh perasaan.
Peter aktif disanggar seni di kampungnya, Kampung Babakan Arismata, sebuah rumah pertemuan para seniman berukuran cukup besar telah lama berdiri disitu, namun baru-baru ini rumah tersebut dikelilingi tembok tinggi hampir menyita seluruh areal lahannya hanya menyisakan tempat terbuka di depan untuk tempat parkir, berkesan tertutup.
Di rumah tembok tersebut sering terlihat orang-orang berkumpul memainkan serba neka peralatan, berlatih menari diiringi musik, melantunkan nada-nada khas daerah, kadang-kadang terlihat beberapa orang berpakaian hitam bergerak elegant di arena yang disediakan menampilkan pakem jurus-jurus silat, tidak ketinggalan suatu hari Peter sedang merapalkan dialog memerankan tokoh Rahwana dalam sesi latihan seni drama dan tari.
Menurut cerita orang-orang dikampung Babakan Arismata, kegiatan itu merupakan latihan pematangan sebelum dipentaskan setiap minggu di beberapa daerah, kadang kampung tersebut mendapatkan giliran pagelaran seni panggung yang sudah dipersiapkan sebelumnya. Masih ingatkah tentang drama “Masitoh” yang diambil dari kisah sejarah Islam, seru, ujar Anton ketika berkesempatan mengobrol bersama rekannya mengingat masa 3 tahun lalu. Kampung asri tersebut kerap marak dimeriahkan pentas seni panggung hampir setiap bulan, itu saja yang masih menempel di ingatan Anton tanpa mampu mengkaji makna filosopisnya. Pementasan wayang orang dan wayang golek kisahnya tersimpan erat di memorinya untuk diceritakan kembali dan berdiskusi ringan bersama teman-teman.
Bersahabat dengan Joan seperti bergaul dengan sosok penyimpan misteri melengkapi sikap temperamentalnya, barangkali hanya Anton saja yang mengetahui, ia pandai menyembunyikan rasa sedih atau gundah sekalipun walau rasa tersebut berkecamuk dalam hati, dia piawai menyimpan dengan rapi hal-hal yang sifatnya sangat pribadi sehingga yang tampak di tingkah lakunya hanya ekspresi suka dan benci, itu saja, tidak terlihat manja atau cengeng khas anak perempuan, lebih mendekati sebagai sosok tegar bahkan dia tidak segan-segan berkelahi dengan lelaki sebaya, taktis, tenang penuh perhitungan. Jadilah nama Joan D’Arch disandingkan diam-diam di depan namanya.
Jangankan dengan sesama teman se SD, ketika yang lainnya tunggang langgang dikejar anjing tetangga yang dibiarkan bebas berkeliaran di jalan umum, Joan malah berbalik ketika didekatnya berserakan batu-batu sebesar kepal tangan anak-anak dan terbukti beberapa lemparan membuat anjing tersebut lari terbirit-birit, “dasar anjing kampung “ celetuknya geram.
Rumah besar Joan berdiri diatas lahan luas, dikelilingi pagar kawat setinggi kurang lebih dua meter, di lahan tersebut tumbuh menjulang pohon –pohon khas sejenis buah buahan, mangga, rambutan, jambu klutuk bahkan manggis tumbuh subur diareal terbuka lahan pekarangannya yang luasnya mencapai 2000 m persegi, sangat luas dibanding lahan pekarangan rumah-rumah disekelilingnya. Rumah itu sudah berdiri entah sejak tahun berapa, semenjak Anton dapat mengingat rumah tersebut sudah ada disana dan selalu nampak sepi seolah menyimpan misteri, apalagi banyak cerita dari mulut ke mulut bahwa Peter Van de stern sang seniman kakak laki-laki satu-satunya Joan raib dari rumahnya semenjak tiga tahun lalu entah pergi kemana, seiring menghilangnya Peter kegiatan latihan serta atraksi panggung di kampung pun sirna.
Didepan rumah misterius tersebut terbentang jalan umum ber aspal walau kondisinya sangat parah, namun berbagai jenis kendaraan sering terlihat melaju di jalan satu-satunya menuju kota Bandung, itupun dikendarai dengan sangat hati-hati, sesekali menerjang kubangan disana-sini di bahu jalannya.
Keinginan Anton bersama rekan bersepuluh lebih suka belajar berkelompok di areal pekarangan rumah tersebut yang asri, selalu ada kesempatan setelah selesai mengerjakan tugas sekolah kelas enam Sekolah Dasar, sambil melepaskan lelah bergelantungan di pohon jambu klutuk menjulang miliknya, menikmati buah ranum pas selagi musim sambil bercengkrama. Teman teman perempuan yang jumlahnya separuh dari jumlah kelompok lebih senang membuat rujakan dibawahnya, kecuali Joan, dia sering berada tepat disisi Anton duduk menikmati manisnya buah jambu diatas dahan bercabang.
***
Delapan tahun sudah semenjak Anton lulus SD jarang ditemui sosoknya, perbedaan sekolah lanjutan menyebakan Anton beserta rekan-rekan tidak mempunyai kesempatan untuk bertemu, apalagi bercanda dengan Joan, menyisakan rasa segan untuk bertandang kerumahnya yang besar.
***
Pertemuan tanpa sengaja itu berlangsung tiba-tiba saja ketika Anton baru menginjak tahun kedua masa kuliahnya di sebuah Universitas negeri di Bandung, ketika sedang duduk nongkrong sendirian diatas palang besi pagar tempat parkir seusai mengikuti keramaian hiruk pikuk demontrasi mahasiswa anti pemerintah tahun 1978, tampak Joan berjalan bersemangat membawa tas kuliah diiringi teman-temannya tepat menuju ke arahnya yang sedang duduk sendirian.
“Hai kerempeng, ngapain loo nungguin mobil gue”, teriaknya, sambil berusaha membuka pintu, hendak mengeluarkan kendaran miliknya dari himpitan mobil lain.
Loo ngapain parkir disini, mengikuti kuliah umum mahasiswa ? ucap Anton tak kalah akrab, Joan malah tersenyum sambil mengacungkan tinjunya. Tanpa sepengetahuan Joan, Anton sering melihatnya di fakultas kedokteran, tetapi kali ini dia lebih suka berkeliaran di aula Universitas.
Ruang terbuka Universitas dipenuhi mahasiswa berjaket biru mengelilingi podium, Anton berada diantaranya menirukan teriakan yel-yel yang dikumandangkan tokoh-tokoh mahasiswa yang berorasi lantang. Suaranya berkumandang, berdiri garang, berpidato nyalang tentang kebokbrokan pemerintahan saat itu dengan gegap gempita, sesekali kepalan nya ter acung ke udara seakan ingin meninju kejamnya tirani.
Peristiwa Malari tahun 1974 menyisakan banyak korban terluka, beberapa kendaraan serta bangunan dibakar, disinyalir disusupi oleh orang-orang yang berkepentingan lain demi mendapatkan barang-barang jarahan, kehebohan tersebut bahkan menelan korban jiwa. Peristiwa Malari tahun 1974 dipakai sebagai pedoman oleh gerakan mahasiswa, demontrasi kali ini hanya aktif ber orasi disekitar kampus, mereka tidak terpancing bergerak keluar di tempat-tempat terbuka.
Gerakan pembangkangan terhadap pemerintah semakin marak terutama sebelum dan setelah Presiden terpilih kembali untuk menjadi presiden berikut untuk yang ke tiga kalinya. Demonstrasi Mahasiswa era tahun 1977 – 1978 walaupun tuntutannya tidak membuahkan hasil namun keberanian untuk menyatakan sikap secara terbuka, menggugat bahkan menolak kepemimpinan Nasional menjadi tonggak dasar peletakan sejarah gerakan mahasiswa berikutnya.
Sedikit demi sedikit serombongan tentara berpakaian loreng berbaret hijau lengkap bergerak mengacungkan senjata laras panjang yang dipegang erat dengan tangan kanan, tangan kirinya menepuk pundak-pundak para mahasiswa peserta demonstran agar memberinya ruang, menyusup selangkah demi selangkah menuju arah pusat keramaian, mengepung podium.
Bersama teman-teman mahasiswa peserta demonstran, Anton berusaha menutup ruang dengan merapatkan barisan, meneguhkan posisi satu dengan yang lainya, memberi kesempatan kepada tokoh demonstran di podium untuk mengamankan diri, beberapa diantaranya berusaha lari dari tengah keramaian menuju tempat parkir, disana, ketika sedang berusaha membuka pintu mobil, Joan D’Arch dengan tokoh lainnya tertangkap beserta seberkas dokumen ditangan, ketika berusaha mengamankan kertas materi luapan teriakannya beberapa orang berpakaian preman bersenjatakan pistol meringkus, menekan tubuhnya mencium permukaan tanah, kejadian itu berlangsung begitu cepat sebelum Anton bersama rekan lainya sempat mendekatinya, Joan telah digelandang dimasukan kedalam kendaraan khusus langsung meluncur entah dibawa kemana, pasukan berbaju loreng berbaret hijau menghalau Mahasiswa yang memprotes tindakan sewenang-wenang tersebut.
Peristiwa demi peristiwa demontrasi mahasiswa selalu melibatkan Joan didalamnya, dinginnya terali besi dan lantai penjara sudah pernah di alaminya, luka sundutan bara roko disekitar lengan menghias kenangannya sebagai mahasiswa pelopor demonstrasi.
Beserta rekan semasa masih SD dulu, Anton menjenguk di lembaga permasyarakatan dimana Joan mendekam, terlihat matanya masih nyalang walau raut muka serta tubuh sedikit kuyu.
“Haii lou kerempeng, kenapa lama banget baru nongol sekarang, mau minum apa lou semua ?”
“Tolong gue segera kasih tau kalau Presiden kita sudah legowo untuk turun”, selorohnya, Anton beserta rekan yang hadir di lapas siang itu sedikit mesem, sebagian tak kuat menahan tawa, dalam kondisi tertekanpun Ia masih bisa bercanda.
“Lain kali kalau lou semua mampir kesini lagi, tolong gue bawain buku”, ucapnya ketika semua yang hadir saat itu hendak berpamitan pulang.
Kunjungan kelembaga permasyarakatan dimana Joan mendekam menjadi agenda rutin Anton, paling telat seminggu sekali menemuinya tak lupa membawa oleh-oleh kegemaran serupa buku-buku hasil pinjaman di perpustakaan Universitas, setelah melalui pemeriksaan teliti petugas Lapas terkadang dengan suka cita Joan menerima semua itu termasuk titipan teman-teman.
Seminggu rasanya terlalu lama untuk bertemu dengannya, ada getar kehampaan ketika lama tidak ngobrol, bercanda ringan serta meng informasikan apa yang Anton ketahui tentang nasib gerakan mahasiswa dan pemerintahan walaupun hanya disediakan waktu sangat terbatas untuk menebus seluruh rasa rindunya.
Rindu itu seperti mendambakan kebebasan, menghirup udara sesuka hati, berdiri sambil bersitegak memandang rerumputan yang bergoyang ditiup angin lembut, bunga-bunga tanaman liar yang tumbuh dipinggir jalan indah bermekaran, kemudian Joan menunjuk sebuah saung disekitar huma dipuncak bukit, Ia malah menyebutnya itu puri dimana para bidadari bermain bersuka ria sebelum menceburkan diri mandi di ceruk bening air terjun sungai yang berhamburan, sejuk menerpa tubuh-tubuh molek memantulkan sinar berpendar kerlap-kerlip dari kejauhan, menyilaukan mata-mata nyalang para ksatria di kaki bukit yang mengintip dalam diam pada suatu subuh dimana matahari baru muncul berkasnya setelah terbangun dari peraduan. Anton malah menyebutnya sebagai embun pagi yang menempel di dedaunan, tersiram sinar matahari, pantulan sinarnya menari bagai mutiara berkadar tinggi.
Rindu itu seperti ingin membalikkan arah jarum jam kemudian berhenti di suatu titik kemasa ketika Anton bersama rekannya bermain riang sebelum lepas kelas enam SD kemudian berdetak kembali menenun benang-benang keceriaan selama berjalan mendaki bukit besama teman-teman, melewati pematang sawah, hamparan kebun karet dan kokoa, kemudian bersama sampai dipuncaknya, memandang kelembah ngarai, dengan sungai yang berkelok diantara gradasi hijaunya pepohonan dan warna-warni bunga menghampar seperti permadani Persia.
Rindu itu yang kini di harapkan hadir meraup kebebasan terlepas dari penghalang jeruji besi serta sempitnya tembok ruang pertemuan ke padang sabana dimana mereka dapat berjalan santai berpegangan tangan sambil mencicipi aneka kuliner dan tatapan keduanya selalu menari-nari diiringi irama indah seiring sejalan.
***
Walaupun sudah menjalani profesi seorang Dokter umum yang berpraktek di sekitar kota Bandung. Pemafhuman menjadi jelas kenapa demikian kerasnya bercita-cita ingin menjadi dokter, menjadi seorang profesional bidang kesehatan yang tidak selalu harus menggantungkan diri berharap belas kasihan negara untuk menjadi aparatur pemerintah, darah daging Joan demikian benci terhadap pemerintahan yang resmi.
Dr.Joan kini telah resmi menjadi isteri Anton dikaruniai seorang momongan gadis kecil nan cantik seperti ibunya, sikapnya hampir berubah total tidak meledak-ledak seperti jaman mahasiswa dulu, sepertinya ada perasaan khawatir segala sepak terjang serta perilakunya ditiru oleh anak gadis semata wayangnya.
Cinta memang tidak sempit, dengan cinta tersatukan dua hati yang mulai tumbuh bermekaran semenjak ketika masih belum mengenal apa arti cinta sampai mengalami betapa rindu demikian memaksa untuk sekedar bertemu dan menjadikan hari-hari selama penantian lebur dalam irama detak jantung dan suasana sekitar tampak indah seketika, walaupun disana–sini terdapat likunya tapi itupun tidak mengaburkan arti cinta sejati.
Dengan cinta keluarga Anton dan keluarga Joan ter satukan menjadi bagian yang lebih besar lagi, ada perbedaan kebiasaan serta adat tetapi dengan cinta semuanya rela saling memaklumi, saling mengisi dan menambal setiap bercak kekurangan, dengan cinta siapa sangka sebelumnya bahwa Brata Van de Stern yang dulu mengajari Anton membuat layangan kini menjadi mertuanya dan Peter sang seniman menjadi kakak ipar, walau kepribadian kakak laki-laki Joan satu-satunya yang pernah Anton kagumi itu kini sudah berubah total, akhir-akhir ini setelah sekian tahun tidak pernah terlihat sosoknya, Peter sudah kembali lagi kepangkuan keluarga.
Walaupun rumah yang dulunya seperti menyimpan misteri lambat laun berubah menjadi padepokan artistik, tetapi Peter van de Stern sering tampak keluar kejalanan umum sekitar rumahnya, tampak Ia selalu mengendarai sepeda tak ber pedal, laju sepedanya hanya mengandalkan hentakan kaki ke permukaan jalan, ada unsur kesengajaan dari pihak keluarga Joan untuk mencopot perlengkapan penggoes tersebut dari tempatnya sebagai langkah upaya pengamanan. Terkadang gitar akustik tersandang menghiasi punggungnya, dia berkeliaran dijalanan acuh tak acuh tanpa memperdulikan orang-orang yang sedang memperhatikan dengan tatapan terheran.
Anton sering menyaksikan, ketika lewat persimpangan tiga dia sedang asyik duduk santai dipinggir jalan persis di disebuah tembokan agak tinggi diatas trotoar, sepeda antiknya tergeletak aman, matanya nanar memandang jauh ke tiga jurusan jalan secara bergantian, roman mukanya tanpa ekspresi tidak seceria seperti yang pernah diingat ketika kelas 3 SD dahulu, tampak wajahnya lebih tua dibanding umur yang sebenarnya berhiaskan cambang dan jenggot tak ter urus, dia sedang asyik dengan imajinasinya sendiri seolah hari-hari yang kini dijalaninya berupaya memanggil kembali masa lalu yang telah raib sekedar ingin menebus sekian keceriaan masa mudanya yang telah hilang, tidak ada romansa cinta belia menghias liku masa mudanya, luput dari nostalgia hura-hura pencari jati diri, kesempatan tersebut sirna seiring lima belas tahun hidup terkungkung di dalam jeruji besi penjara, kecintaanya terhadap seni ketika umurnya belum genap 20 tahun, tanpa difahami sedikitpun telah tergiring masuk kedalam organisasi terlarang, LEKRA.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda