Jumat, 19 Februari 2010

Sang Penjiwa

Air gunung yang berasal dari mata air , mengalir untuk membasahi lika- liku curamnya karang, kerasnya batu dan tajamnya kelokan tetapi titahNya adalah untuk menyempurnakan dan merakhmati aneka ragam kehidupan bukan untuk merusaknya.
Pagi-pagi seolah berlomba dengan sinar matahari yang menggeliat dari peraduaannya , Anak-anak sekolah dasar nun jauh didusun terpencil berlari-lari kecil menuju sekolah , beriringan bersama teman-temannya, bernyanyi bersiul dan bersenda gurau ,laki-perempuan seolah kompak menyongsong untuk meraih bekal kehidupan sampai berkilometer jauhnya , keringat yang bercucuran tidak terasa karena kebersamaan. Semangat matahari seolah membakar jiwanya. mereka lalui Lika-liku jalan yang masih itu-itu saja, membuat semakin hapal ilalangnya, curamnya cadas, kerasnya onggokan batu, bunga-bunga kecil yang tumbuh menghiasi tepian jalan dan sungainya yang mengalir dari puncak gunung nun jauh kelembah-lembah , kecil mengalir tetapi ajeg tidak berkurang dan tidak berlebih walau dimusim kemaraupun air sungai tetap saja ada. 5-6 km mereka tempuh dalam waktu 1 jam. jika hari kurang bersahabat dengan turunnya hujan mengiringi kepergian mulia mereka, sandal atau sepatu mereka jinjing dengan tangan kirinya sedang pelepah daun pisang dipegang erat ditangan kanannya berkibar-kibar mengiringi semangat jiwa belianya, mengibaskan butiran butiran air dingin yang turun dari langit, tas sekolah tetap bertengger dipunggungnya,berjalan terkadang berlari berjuang menempuh sukar dan licinnya jalan, onak dan duri dikangkanginya, mereka tetap saja bercengkrama dengan riang, senda gurau teman-teman, hijaunya dedaunan dan gemericiknya air mengalir dan alam telah mempersatukannya ,situasi membuat nya menjadi orang yang sederhana dan tangguh tanpa mereka sadari tanpa terkontaminasi dengan faham atau ideologi import manapun, di ruang sekolah ibu dan bapak guru mengajari tentang budipekerti, cinta tanah air, Pancasila , pelajaran agama dan pelajaran lainnya.Di surau dekat rumahnya, ayat –ayat Al-Qur’an dan hadist mereka serap setapak demi setapak. takdirnya yang melahirkan hidup didusun terpencil yang harmonis . Dari kondisi seperti itulah telah muncul dan berkontribusi menyemarakkan jajaran para pembesar, pemimpin , pengusaha tangguh , ulama kondang dan orang-orang terkenal lainnya.
Saat ini Sebagian dari anak dusun ditempat yang sama dapat mencerna dengan mudahnya aliran global, siaran tv , teknologi vidio player, internet maupun smart ponsel , benda teknologi tersebut dapat hadir setiap saat dirumah-rumah dipedesaan, diantara halaman rumah tersebut bermacam –macam parabola menghiasi halaman nya, karena antena tv biasa saja tidak mampu menangkap signal untuk menyemarakkan ruang keluarga, informasi yang positif maupun negatif masuk dengan tanpa hambatan kedalam memory nya yang haus akan informasi baru. Saat ini kendaraan roda dua sudah banyak bersliweran di jalan yang itu-itu juga memudahkan aktifitas masyarakat.
Diantara mereka, ketika mempunyai kesempatan untuk belajar atau pindah kekota besar , barangkali terperangah dengan riuh rendahnya kota, intrik politik dan gebyar materialisme yang dibawa kaum kapitalis seolah menjadi gambaran nyata didepan mata mereka . disekelilingnya ada tubuh-tubuh dan martabat manusia menjadi permainan persekongkolan jaman. Walaupun masih tetap banyak saja diantara anak dusun dan kota yang masih menyanyikan lagu riang nyanyian alam .
Jika diantara mereka ada yang merasa gerah dan tersisih karena perbedaan persepsi, yang dapat dilakukan adalah hanya memanggil dan menggapai ,mempertanyakan amanah sang penerabas , meminta pertangungjawabannya dan ketika tidak ada kepastian karena yang digapai terbuai jaman , mereka dengan mudah diambil sang air gunung yang mengakrabi mereka, mengalir menyejukan dan menghapus dahaganya. curamnya karang dan kerasnya onggokan batu mengilhami untuk menghadirkan nostalgianya, mengikuti petuah mendekat kepada sang pencipta dengan pengorbanan raga, metodenya yang salah kaprah telah menariknya ke situasi yang mencecerkan darah di mana-mana di Negeri yang gemah ripah loh jinawi, meninggalkan luka dan keluarga tanpa penopang hidupnya, menebar ketakutan dan trauma mendalam, tetapi semua korban kita serahkan kepada Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, yang maha sempurna, Maha Mengetahui segalanya lagi Maha Pemelihara.
Apa bedanya anak-anak sekolah dusun dengan kota….? sang air gunung akan mencari , memonitor, merekrut dan mengindoktrinasi ke jalan yang tidak realistis, irasional , anak-anak baik yang patuh dan teguh menjalankan ibadah diusahakan untuk dipengaruhi, anak-anak kota yang geram, jengah dan gerah dengan kondisi jaman dan penindasan sesama keyakinan dinegeri nun jauh disana, diseret menuju jalan pintas ke surga.
Waspada sang air gunung akan mengalir tak tentu arah bisa saja menuju lembaga pendidikan dan organisasi kaum belia aktivis mesjid atau kepada anak-anak kita sendiri. Bangunlah dari tidurmu yang kelam… hai penjiwa,….. Ibu pertiwi memanggilmu.
Abebah. Cianjur, 12 Agustus 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda