Perempuan itu meracau histeris berteriak-teriak memaki panutannya yang selama berpuluh tahun mendampinginya, kini bara mungil yang bersemayam disudut hati mulai menyala berkobar menjilati setiap mata yang memandang dan lelaki paruh baya yang disebut sebagai sang panutan tangannya sibuk menangkis panasnya jilatan api yang berkobar, berdarah-darah pergelangannya, hatinya entah berwarna apa pada saat kejadian itu berlangsung, masih birukah atau lebam kelabu.
Alas kaki high hill terus saja menghujan mengarah pada sasaran symbol kehormatannya, tangan si bapak paruh baya yang tidak berdaya sibuk melindungi bagian tubuh yang menyimpan memory selama kurun waktu tertentu setelah dengan susah payah di raihnya dibangku menara biru, digodog bak candra dimuka agar disiplin jumawanya bermanfaat di bidang pembangunan strategis tertentu, nyatanya kini tergerus bersama beberapa jejak yang dipungutnya dengan spontan dari penggalan tapak nyata di tataran sosial kemasyarakatan, posisinya saat ini seolah terpuruk menghalau gencarnya serangan yang mengharu biru berasal dari bara hati yang kini menyala semakin berkobar.
Reaksi spontannya hanya bisa menggapai-gapaikan tangannya tertuju kearahku yang saat itu sedang mencoba sedikit membuka pintu untuk mengamati ada apa gerangan yang terjadi, umpatan membahana dari perempuan bara tadi telah mengusik secara tiba-tiba saja, menghalau heningnya malam dimana se isi rumah-rumah warga kampung mungkin sudah terlelap, sedang aku masih menyimak beberapa lembar demi lembar berita bekas diantara gencarnya siaran media elektronik yang melaporkan angkara murkanya alam sebelum lambaian itu tampak dimataku.
Aku mencari-cari alas kakiku yang tiba-tiba saja hilang dari pandanganku, rasa panikku menggulung mengaduk-aduk tempatnya yang kali ini mengunung dari beberapa pasang yang ditinggal tidur oleh pemiliknya yang nota bene adalah anggota keluargaku. Berlari saja bertelanjang kaki menghabur menuju tempat kejadian, sebelum sadarku pulih dari bengong disaat kejadian berlangusng, hamburan kata-kata pedas dari pemilik bibir mungil bergincu kini berbalik kearahku.
“Bapak sebagai ketua Warga disekitar sini seharusnya melindungi dari kesialan yang dibuat oleh pasangan yang berjubah bencana ini……Bagaimana tanggung jawab seorang pejabat warga jika nanti angkara murka menimpa 40 rumah disekelilingnya…..etc…dimataku kini sipemilik bibir bergincu tampak sedang memposisikan dirinya sebagai Hakim Agung yang tak terbantahkan.
Permintaannya agar jilatan bencana yang berkobar ini diarak kesekeliling kampung, mengharapkan membakar seluruh penghuni rumah-rumah yang sedang terlelap bermimpi indah setelah seharian diterpa sengatnya matahari, guyuran hujan dan debu-debu yang menyesakkan pernapasan.
Malam ini sebenarnya tidak terlalu larut, jarum jam sedang menunjuk angka 9.30, saya mencoba mengumpulkan kesadaranku melihat-lihat sekeliling, nampaklah beberapa anak-anak yang baru pulang mengaji berada disekelilingku merubung memperhatikan, mengumpulkan pengetahuan gratis dipandangan matanya.
Kusarankan agar kobaran api ini di muntahkan saja di gubukku, barangkali disana ada hujan gerimis yang sedikit-demi sedikit mampu memadamkan bara api membakar, aku teramat maklum atas situasi pikirnya yang sedang kalut.
Kuisyaratkan telunjukku mencoba berkomunikasi dengan anak-anak untuk selekasnya memanggil Ketua warga yang sebenarnya, tokh saat itu saya sedang berpura-pura saja sebagai penguasa, hanya sekedar untuk menampung curahan bara yang menghambur.
Dirumah mungil miliku tersebut, persidangan sebenarnya berlangsung mengalir, baranya masih terus saja meletup-letup dimuka sang penguasa kampung sesungguhnya, menggiring memancing nada tinggi sang penguasa karena perempuan pemilik bara telah dengan gagah berani menggebrak-gebrak meja tamu milikku satu-satunya dengan alas kaki berujung tajam.
Nyatanya sang pria paruh baya menyadarkan seluruh peserta musyawarah bahwa dia masih istriku yang baru saja perpisahannya sedang diproses.
“Ini malamku” penguasa kampung menghantarkan nada wibawa untuk memulai musyawarah menegangkan setelah sebelumnya memberi kesempatan seluas-luasnya kepada keduanya untuk mencurahkan segenap luka, dari perempuan pemilik bara dan lelaki paruh baya yang sedang mencoba mengumpulkan harga dirinya, kini babak baru akan dimulai.
Bukti-bukti telah tergelar diatas meja, kejadian kali ini sebenarnya sudah dikhawatirkan juga oleh seluruh warga terutama sang penguasa kampung, pendeklarasian syahnya hubungan antara bapak paruh baya dengan Seorang janda tak ber anak yang disaksikannya sendiri mengurai kekisruhan tersebut. Seyogyanya kejadian ini tidak perlu terjadi jika ijin dari sang pemilik bara telah disandangnya celetuknya.
Hantaman alas kaki berujung tajam mengarah ke tengkorak pembungkus memorynya tadi, untuk kemudian terurai saat musyawarah berlangsung, sebenarnya sebagai bentuk perlindungan terhadap Sang janda yang menggigil ketakutan disudut dirumahnya.
Sempat tadi aku saksikan sebentar, Lelaki paruh baya tersebut tidak menggunakan tangannya untuk berbalik membalas tetapi hanya sibuk berlindung saja dari jilatan api membara tajamnya alas kaki high hill.
Dia sebenarnya penakut atau tersadar untuk menghindar dari pasal yang akan menjeratnya sebagai tindak KDRT. Saya tidak bermaksud untuk mengoreknya tetapi hanya menyimak dalam benak saja.
Sebelum kemelut itu berakhir dan diantara hujatan yang kurang enak terdengar ditelinga dari mulut mungil perempuan pemilik bara, Sang lelaki paruh baya hanya sesekali menimpali :
“perutku sehari-harinya terus mengumandangkan irama keroncong, ingin rasanya diisi dengan olahan tangan asli ikhlas sang pendamping hidupnya, kemana saja selama ini sumber gizi itu dan uang purna karya yang setiap bulan disetorkan kemana tersalur”, celetuknya. sedang mengenai hasrat biologisnya tidak terungkap dengan jelas malam itu.
Benar tidaknya paparan mereka Walahuallam bisawab, yang jelas telah membungkam telak racauan sang pemilik bara.
Pada penghujung pertemuan tersebut penuh dengan petuah dan wejangan ditinjau dari berbagai sudut, yang mungkin susah dicerna oleh pikiran yang sedang kalut. Pada akhirnya Si bapak Paruh baya dengan rela mengantar sang pemilik bara menuju rumahnya sendiri, entah apa yang terjadi setelah sampai disana. Sebenarnya saya tidak peduli, apapun yang dilakukan dikediamannya asal jangan membakar rumahku dan kampungku.
Aku menghembuskan napas panjang tanda terbebas, terbebas dari peristiwa mencekam yang baru pertama kali dialami…dan si aku memohon pertimbangan majelis pembaca untuk memberikan jalan keluar agar peristiwa ini tidak pernah terulang lagi, untuk berjaga-jaga saja jika kejadian tersebut membara lagi menjadikan api-api lainnya membakar kampungku…waaah bisa berantakan jadinya….
.Whuuuuiiih Pesona ternyata bisa mengandung nyala jilatan api dan sanggup membakar masa…….pada gilirannya mampu menenggelamkan ke paling dasar sekalipun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda