Sepotong Roti isi dan secangkir kopi penuh rasa cinta, setidaknya itu menurutku, terhidang dalam padanan yang serasi dari sisi tekstur, penampilan dan gizi, ber jejer rapi dalam piring porselen kecil berwarna putih bersih beserta aroma kopi yang masih mengepul dalam cangkirnya yang cantik, kau hidangkankan semuanya diatas meja makan rapi disertai garpu dan pisau stainless still berkilat –kilat.
Itu hidangan cinta sederhana yang dengan cermat kau persiapkan dipagimu yang sengaja dibangun ketika aku masih terlelap dalam mimpi-mimpi tentang segala kecemasan yang menggerogoti nalarku. Melepas selimut dan bantalnya yang nyaman menina bobokan tubuhku, bergegas mempersiapkan diri setelah hampir selarut diburu laporan serta target pertanggungjawaban yang selalu menguntitku setiap hari, hidangan itu sudah tersedia di tempatnya dengan cantik.
Tak sempat kucermati keindahannya, karena seperti biasanya harus bergegas berkejaran dengan matahari, meneguk kopi hangat semampunya, menyambar roti cantikmu dengan lembaran tissue untuk kulahap dalam kesempatan santai diantara kertas demi kertas laporan dan target menjemukan yang mengendalikan seluruh kehidupanku. Tak lupa harus kucium lembut keningmu untuk semua yang ter hidang dengan penuh ikhlas tersebut.
Kau tampak sekilas melambai diantara tiang kayu dan daun pintu sementara motor kuhidupkan, melaju dijalanan yang terlupakan untuk diaspal, sosokmu yang masih mematung di pintu rumah sederhana kita menghilang gambarnya dari kaca spion di sebuah belokan menuju jalan besar dimana kesibukan lalu lintas sebenarnya sedang berlangsung, hidup sekali lagi dipertaruhkan, dijalanan diantara belantara gedung tinggi, kemacetan, matahari pagi yang menyilaukan serta debu-debu sialan, sekali lagi menuntut konsentrasi penuh, tidak ada kompromi dijalanan yang semua penggunanya berpacu dengan waktu, berkejaran dengan kecepatan, sekian detik saja lengah tanpa disadari melayanglah nyawa atau paling banter meringkuk mengerang di sebuah kamar rumah sakit beraroma antiseptic dan warna-warna serba putih.
Hanya sepotong roti isi sarat gizi berhias cantik terhidang di piringnya yang putih bersih, secangkir kopi beraroma serta perlengkapan makan berkilat indah berjejer serasi diatas meja makan mungil di setiap pagi yang syahdu, tetapi tak sempat kunikmati dengan sempurna keindahannya disetiap pagimu yang kau hadirkan dengan manis, kicau burung serta suara gemerisik dedauanan yang mengiringi pesonananya luput kutangkap karena gegas demikian menyita seluruh perhatian.
Menjelang malam kembali harus berjibaku di jalanan, memacu motorku diantara sliweran aneka kendaraan termasuk truk bertonase tinggi menuju rumah harapan agar dapat beristirahat tenang di pondokku yang sederhana serta menghapus rasa was-was penantian seorang isteri dan anak yang menunggu seharian dengan perasaan campur aduk.
Jadi sesudah berkompromi dengan tetek bengek sistem kapitalis, dengarlah suara kami, suara para buruh migran yang mengais rejeki di kota yang super sibuk tersebut, jangan lagi kau lumuri jalanan dengan darah kami, keganasan arak-arakanmu yang brutal itu sungguh memuakan.