Penyulam Jirah Selimut Malam
pada sebuah lamat-lamat alunan suara was-was
dihitungnya bunyi derit dan lirih meringkih ketika malam tak kuat menahan gigil
dikiranya itu selingan saja ketika desis berubah menjadi derak, menyalak, sebelum pecah bunga gelap langit menghiasi malam
denting-denting warna bertaburan mencemburui bintang gemintang, merangkai jenjang senyap, kemudian lagi, satu lagi, kemudian lagi, satu lagi, bertubi-tubi memekakkan sanggurdi takbir, tahmid dan tahlil
suara lamat-lamat semakin tenggelam
sekelumit embun tak kuasa melumat gemerlap gemeretuk tubuh malam, ia terus saja menyulam luka di jirahnya mempersiapkan pekik pagi kemenangan
ramai sudah, selepas rengkuh dibibir syawal ratusan ribu berjalan-jalan hilir mudik tampa sempat melirik, menghambur, bersolek bersama lembaran-lembaran
kemenangan entah kapan dapat diraih, tak pernah dapat dihitung sejak kapan dimulai apalagi diakhiri
anak-anak penyulam jirah selimut malam masih berderak menyusur jalanan masa
Aku ingin
Aku ingin tersungkur pada bilur-bilur subuh yang pernah singgah disebuah waktu yang rela memutar mundur jarum jam dalam birama yang teratur
Kulihat sebuah senyap yang hinggap di ujung jari kemudian tiba-tiba saja berlarian memperdengarkan suara-suara sangurdi melukai bibir berukir sampai pejah di cakrawala langit
Kini harum wangi bunga lilin berhamburan di pelataran yang tabah
Sebuah bulan pucat pasi jatuh dikeningku, keningmu, kening kita
Aku Lupa, kenapa tidak disimpan di tempat cuci
Kupanggut bibirmu
serambinya sedari tadi kugantungkan minat
sampai sesore ini pun, ketika gerimis semakin lupa pulang ke asal
biarlah Langitku gelap tetapi semesta jiwaku benderang karenanya
hangat yang mengalir merutuk dingin gemeretuk
tetes-tetesnya melupakan keringat yang meruap ke entah
lalu bersamamu rasa semakin berlian
dilengkung garis nan seksi
aku tidak ingin menjadi lupa dimana tadi nikmat diletakan
dahagaku lumat
lalu lamat-lamat menelikung seluruh ruang penat
basahnya mengaliri setiap nadi dan urat syaraf
sampai otot-ototku mulai melemas
tetes terakhir benar-benar rilek nan merilekkan
kini lekuk pinggang kakumu teronggok disana
semu jelaga masih tertinggal di lapis bening nya
biarlah besok saja kubersihkan
saat ini aku sedang ingin menulis
Pryang….aku lupa tadi, kenapa tidak disimpan di tempat cuci
Kupanggut bibirmu
serambinya sedari tadi kugantungkan minat
sampai sesore ini pun, ketika gerimis semakin lupa pulang ke asal
biarlah Langitku gelap tetapi semesta jiwaku benderang karenanya
hangat yang mengalir merutuk dingin gemeretuk
tetes-tetesnya melupakan keringat yang meruap ke entah
lalu bersamamu rasa semakin berlian
dilengkung garis nan seksi
aku tidak ingin menjadi lupa dimana tadi nikmat diletakan
dahagaku lumat
lalu lamat-lamat menelikung seluruh ruang penat
basahnya mengaliri setiap nadi dan urat syaraf
sampai otot-ototku mulai melemas
tetes terakhir benar-benar rilek nan merilekkan
kini lekuk pinggang kakumu teronggok disana
semu jelaga masih tertinggal di lapis bening nya
biarlah besok saja kubersihkan
saat ini aku sedang ingin menulis
Pryang….aku lupa tadi, kenapa tidak disimpan di tempat cuci
Revolusi pena
Jika kau anggap rima-rima ritmis menelikung kata mencari maknanya sendiri-sendiri
lalu kenapa langit menjadi merah dan jerit tangis bayi hilang susuan
kusandarkan liris pada gerimis pagi yang tak pernah usai merinai dijari-jari manis
di punggung seorang revolusinis, sinis adalah bagian dari evolusi politis budaya dan kesewenang-wenangan menjadi bara yang tak pernah padam diberangus
sayup, kuyup oleh segala atribut yang kau pasang sejak subuh hingga mentari denyar-denyarnya luruh
agar dunia tau bahwa gerak jiwa, gerak kata dan gerak pena adalah cara lain berhadapan dengan senjata.