Di suatu pagi, pada akhir musim kemarau bersamaan dengan rintik hujan pertama menyentuh tanah desanya, seharusnya ia sudah mengambil untung dari hasil penjualan kambing jantan yang telah besar dan layak untuk menjadi hewan qurban setelah selama setahun dipelihara, namun musibah penyakit mulut dan kuku merebak di desanya. Saat ini sang petani telah menyerahkan tanahnya untuk membayar utang kepada tuan tanah sesuai janji yang pernah di ucapkannya, kini di lahan bekas miliknya Ia hanya sebatas sebagai penggarap saja tanpa mempunyai hak untuk memiliki, ketika musim panen tiba pun hasil sawahnya di bagi dua, sebagian adalah haknya dari hasil keringat yang tertumpah, sebagian lagi menjadi hak tuan tanah sebagai jatah si pemilik tanah sawah yang baru.
Anak gadis satu-satunya yang baru berumur empat belas tahun tiba-tiba saja menghilang, ia tidak sudi menjadi isteri ke tiga dari bandot tua yang sekaligus telah merampas hak milik orang tua satu-satunya. Lari dari rumah merupakan jalan terbaiknya, di kota ia dapat bekerja dan upah yang dikumpulkan barangkali bisa mengembalikan hak milik orang tuanya.
Selama empat tahun sudah berlalu, dengan dandanan sedikit menor, berambut pirang, ber celana jin ketat, berbaju warna-warni dan berkacamata hitam besar, Ia telah kembali ke desanya dengan menenteng tas berisi beberapa gepok uang ratusan ribu. Namun rumah serta tanah sawahnya kini sudah berubah menjadi gedung bertingkat.
Lahan sawah dan kedua orang tuanya telah lama mati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda