Seperti pepatah “I don't like Mondays,” maknanya menjadi malas
untuk menghadapi kembali bekerja, terutama karena diawali dan diakhiri dengan rutinitas
kemacetan di ruas jalan Ibu Kota menuju dan dari tempat kerja masing-masing.
Ketika liburan panjang bertepatan karena tanggal merah yang berdekatan dengan hari
Sabtu dan Minggu, biasanya para pekerja akan terasa nikmat ketika menjalaninya kemudian apabila
waktunya akan berakhir, perasaan berat mulai bergelayut menuju ke rutinitas
kehidupan normal kembali. Maka masyarakat kota yang berusaha memanfaatkan waktu
jeda dari rutinitas kesibukan sehari-hari di kantor atau tempat kerja lainnya harus
mulai siap-siap kembali untuk masuk ke kehidupan seperti biasanya, bergaul dengan
rutinitas kerja pada hari Senin sampai Jum’at dengan aneka problemanya. Suasana
jalanan macet menuju ke dan kembali dari
kota tidak lepas dari mengantri lambat berjam-jam di tempat tertentu walaupun dalam
jakauan hanya beberapa kilometer saja
jauhnya memang hal tersebut sudah menjadi pemandangan umum. Seperti biasanya
kesibukan di awal minggu, pada hari senin merupakan hari yang banyak dibenci orang, seperti sumpah serapah umum terhadap
waktu, bahwa Senin merupakan waktu kembalinya kebosanan yang harus ditempuh, tetapi saya yakin tidak
selamanya dan berlaku umum, justru kebanyakan atau sebagian orang menantinya
bahkan di kejar dan didambakan apalagi oleh mereka yang berlabel pengangguran. Di satu sisi, apabila hari senin bertepatan
dengan saatnya gajian, maka batasan “ai don laik manday”
menjadi hambar maknanya seperti berlaku bagi mereka yang akan berpisah dengan
kekasih hati dan sudah kadung bersatu setelah sekian lama memendam rasa rindu hingga tidak ingin terpisahkan
karenanya. Maka hari senin seperti biasanya, jalanan kota besar akan kembali hidup
berdenyut, beberapa pekerja di kota besar akan menghadapi kembali rutinitas kemacetan terutama pada jam-jam
sibuk, saat menuju dan pulang atau
kembali ke dan dari tempat kerja dan nampaknya kepadatan itu sudah menjadi kebiasaan
sehingga tidak perlu dihadapi dengan sakit kepala akibat stress berat. Jika ujug-ujug
lenggangpun seolah kerja di kota besar akan kehilangan esensinya, sebab dari kemacetan bisa jadi merupakan tempat beredarnya
uang baik yang diterima maupun dikeluarkan. Peredaran uang ini layaknya sendi pokok dari dinamika ekonomi
kota besar, maka kalau kemacetan hampir punah di kota besar bahwa ekonomi
masyarakat kota seakan rontok. Bagaimana tidak, selama ini orang-orang
yang berprofesi sebagai pedagang asongan yang jumlahnya tidak dapat di
sebut sedikit, kehidupannya bertumpu kepada kondisi tersebut agar kompor dapurnya
dapat menyala, anaknya bisa sekolah dan keluarganya tidak ribut melulu dengan
alasan nafkah.
Jumlah kendaraan yang diproduksi dan dijual oleh pabrikan
otomotif yang menyerap banyak tenaga kerja tentu tidak ingin mati suri,
memproduksi tetapi tidak laku dijual kemudian menunggu situasi sambil
ngap-ngapan menuju kebangkrutan, akibatnya menyalahkan prediksi yang sudah
dirancang sebelumnya. Apabila setiap tahun pabrikan kendaraan menciptakan dan
memproduksi kendaraan terbarunya menyesuaikan keinginan pasar dengan dijejalkankannya
aneka kemudahan hasil teknologi terbaru yang memanjakan penggunanya dengan
kenyamanan dan keamanan ternyata mengalami
penurunan jumlah konsumen. Belum lagi jika mengamati arus transaksi jual beli
kendaraan seken. Dengan demikian pabrik kendaraan seolah tidak peduli dengan
kondisi macet malah dari kemacetan tersebut pengendara dan penumpang tidak
perlu stres berat karena tekonologi akan mengatasinya.
Lalu Pintu tol yang juga banyak menyerap tenaga kerja dan
peredaran uang begitu banyak tentu tidak ingin dianggap sepele, keberadaannya
meraup uang sebanyak-banyaknya dari pemilik
kendaraan yang melintas, sehingga tidak heran jika menuju ke dan di dalam kota
besar keberadaan pintu tol terlihat berlapis-lapis banyaknya, memposisikan diri agar jumlah kendaraan yang
masuk ke arealnya dipastikan tidak berkurang, malah cenderung harus
sebanyak-banyaknya agar uang masuk bertambah besar pula, sehingga tidak heran
apabila kemacetan ini memang diharapkan dan dirindukan oleh institusi tertentu
maupun jika di amati dari sisi perputaran roda ekonomi kota, walaupun di dalam
kemacetan tersebut sebenarnya kehilangan waktu produktif pengendara dan
menguapnya berkilo-ton bahan bakar secara percuma yang berubah menjadi asap
knalpot mengotori udara kota besar yang dapat disetarakan dengan raibnya senilai
duit .
Mengikuti tabiat dari sifat perilaku menejemen modern yang
dengan sengaja mengkotak-kotakan segala urusan menjadi beberapa bagian, maka
solusi mengatasi kemacetan di kota besar yang tertulis di bawah ini adalah sebagai
salah satu solusi mengikuti tabiat ekonomi dari sekian banyak kiat yang perlu dipikirkan
untuk direalisasikan, termasuk apa yang pernah saya tulis sebelumnya tentang
pentingnya berdiri beberapa apartemen yang lokasinya di dekatkan dengan kantor-kantor
dimana banyak karyawan bekerjanya untuk menekan laju kendaraan yang
berseliweran memacetkan beberapa ruas jalan penting di kota besar.
Pemandangan kondisi kota-kota besar memang pakemnya seperti
demikian, kalau tidak macet seakan bukan kota besar lagi apalagi disebut
sebakai ibukota. Kondisi tersebut akan berbanding terbalik ketika memasuki areal markas tentara, orang yang
masuk akan faham ketika harus melalui prosedur
lapor dulu ke pos keamanan dan berusaha menjaga tata-tertib dan sopan santun
seakan sudah tertanam dalam perilakunya selama masih berada di wilayah tersebut,
boro-boro terjebak dalam pusaran kemacetan atau terjadinya huru-hara. Dengan demikian kenapa kota besar
tidak meniru kondisi seakan di markas tentara tersebut, sehingga pabrik
kendaraan boleh terus memproduksi dan deretan pintu tol dipersilakan
berlapis-lapis sebanyak yang diperlukan, tetapi pedagang asong tentunya akan
semakin berkurang karena tidak menjanjikan transaksi yang menghasilkan
keuntungan bagi kantong pribadinya sehingga mereka perlu mencari lokasi lain yang lebih
profitable.
Tentu saja hal ini akan menuai hasilnya jika beban kemacetan dibagikan ke lokasi yang
sudah terpolakan dengan cermat. Beberapa lokasi di sekitar batas kota dijadikan
layaknya reservoir, persis ketika memperlakukan tabiat aliran air untuk
kegiatan produktif. Sebanyak hukum alam
yang mencurahkan air ke suatu luasan wilayah jika beberapa bagiannya dikumpulkan di suatu
tempat yang aman di beberapa lokasi
penampungan atau bendungan kemudian disebar secara teratur dan terkondisikan
seperlunya, maka banjir yang menumpuk di satu wilayah akan sedikit banyak akan
teratasi.
Di beberapa lokasi di batas kota yang dijadikan sebagai
target akses pintu masuk ke wilayah kota besar perlu dijaga ketat oleh aparat yang
diperlengkapi dengan aturan dan sangsi ketat, termasuk menyediakan areal parkir
luas yang dapat menampung sejumlah kendaraan yang akan memasuki wilayah kota
tersebut, sedang di dalam kota sudah disiapkan moda transfortasi milik
pemerintah maupun umum yang dapat mengangkut sebanyak orang yang hendak masuk
dan menuju ke tempat-tempat yang tersebar di dalam kota. Dengan demikian pemasukan uang ke kas negara
di geser dari dalam kota ke perbatasan, dari pintu-pintu tol yang berlapis di dalam
kota sebagian besar dialirkan ke tempat
parkir luas dan moda transportasi yang dipersiapkan secara khusus, aman dan
nyaman. Pedagang asongan dapat dibina menjadi pedagang yang lebih bermartabat
di lokasi yang sudah disediakan di tempat-tempat parkir tersebut.
Kendaraan pribadi tentu saja harus berhenti dan parkir disana
selama jam-jam sibuk seperti pada
umumnya terjadi di siang hari, kecuali kendaran angkutan umum baik barang maupun orang untuk memenuhi
kebutuhan mereka yang akan menuju tempat tujuan. Perubahan ini tokh tidak
mengganggu pendapatan apalagi hilang
menguap bahkan kemungkinan akan bertambah, sedang waktu produktif dan berkilo-kilo liter bahan
bakar yang terbuang percuma di lokasi kemacetan dapat ditekan. Kendaran yang
boleh beredar di dalam kota hanya kendaraan umum dan kendaraan pribadi yang memang
sebelumnya sudah terdata dan berdomisili
di dalam kota dengan dibubuhi tanda khusus.
Pertanyaannya apakah masyarakat akan merasa nyaman dengan perubahan
tersebut terutama mereka yang memiliki kendaraan yang super nyaman dan
kesibukan yang luar biasa? Jawabannya tentu saja bisa selama pemerintah dapat
mengantinya dengan kenyamanan dan keamanan lain yang sepadan sebagai penggantinya.
Kenapa tidak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda