Foto diambil dari Google Image
Sebelum bulan Ramadhan tiba, ia memang sering kerumah untuk sekedar bermain game atau memainkan layang-layang dan permainan anak-anak
lainnya di lapangan bersama anak saya. Umurnya kira-kira satu tahun diatas usia anak saya, ia
duduk di di kelas 4 sekolah Madrasah Persatuan Islam, walaupun berbeda tata
cara sholatnya dengan anak saya tetapi mereka rukun-rukun saja untuk tetap
bersahabat, sepertinya wajar jika mereka merasa nyaman ketika sedang
bersama-sama maka tak urung mereka senang membentuk grup teman-teman sebaya. Namun demikian
ketika menginjak bulan Ramadhan tiba, ia sering tidak nampak bermain bersama baik di rumah atau di luaran rumah, hanya pada saat di mesjid atau
lebih tepatnya surau saja mereka sering terlihat. Surau, karena tidak pernah digunakan untuk
ibadah sholat Jum’at menjadi semacam markas untuk saling bertemu diantara mereka yang juga diramaikan dengan orang-orang baik muda maupun generasi tua untuk melaksanakan sholat wajib dan sunah selain sholat Jum’at.
Ada pengecualian jika dibandingkan dengan anak-anak lainnya
ketika sedang berkumpul bersama, sebut saja ia
bernama Bilal, anak dari ayahnya yang berprofesi membuka warung
kecil-kecilan di sekitar surau. Anak tersebut tampak lebih aktif dibandingkan
dengan yang lainnya termasuk ketika berbicara, ia mengemukakan pendapatnya
dengan intonasi lebih tinggi dari yang lainnya disamping kata-kata yang terucap
lebih cepat dengan diakhiri suara ketawa cekikikan yang dapat dibedakan sebagai
ciri khas kepribadiannya dibanding dengan yang lainnya. Suatu hal yang membuatku
tercenung memikirkannya ketika ia secara sengaja mengajak teman-teman sebayanya
termasuk anak saya untuk selalu hadir tepat waktu di setiap adzan sholat berkumandang untuk sama-sama
melaksanakan sholat di surau secara berjamaah. Berdasar keyakinannya,
apabila mereka selalu hadir menunaikan ibadah wajib maupun sunah tanpa
terpenggal dengan jeda satu waktupun akan meraih bintang di dada masing-masing ketika kelak dihadapkan dengan Kholiq yang maha tinggi sebutnya, maka sudah menjadi
pemandangan yang biasa, Ia dan beberapa
temannya selalu berdiri berjajar di shap kiri
paling depan di surau tersebut yang letaknya persis disebelah rumah saya
hanya terhalang sepetak sawah saja.
Surau tersebut tidak terlalu besar seperti
mesjid jami kebanyakan, tetapi cukup
dapat menampung jamaah sekitar 100 orang dalam shap yang rapat, menurutku. Jika
surau kebetulan penuh sesak ketika tiba waktunya untuk melaksanakan sholat isya
disambung dengan sholat tarawih, maka semua jendelanya yang bisa dibuka dibiarkan mengalirkan udara
segar disamping satu kipas angin besar
selalu berputar diatas para jamaah agar aerasi udara berjalan cukup lancar
walaupun tidak sepenuhnya dapat meredam udara panas yang terpancar dari
tubuh-tubuh jamaahnya, namun angin malam yang berhembus sepoy cukup membantu
menurunkan suhu hingga mencapai taraf normal yang diinginkan. Ketika usai surat Alfatihah
dikumandangkan oleh Imam, suara amin Bilal
akan terdengar melengking tinggi membahana keseluruh ruangan surau bahkan
lebih, sampai terdengar ke sekitar luaran mesjid. Orangdewasa yang biasa hadir
dalam jemaah mesjid tidak pernah mengubris bahkan terganggu dengan ciri khasnya
tersebut, bahkan ketika ia berhalangan untuk berdiri berjajar di shap paling
depan oleh suatu sebab lainnya dan terpaksa ia berada dibarisan belakang, maka
suara khasnya akan mencirikan bahwa ia tetap hadir untuk menjalankan
kewajibannya. Mungkin, kalaupun tidak
terdengar sama sekali ciri khasnya pun dapat diartikan ada yang terggangu
dengannya oleh sebab musabab ia tidak dapat hadir di surau tersebut.
Saya berkesempatan beberapa kali bertemu dengan anak-anak yang beraktifitas persis
semodel demikian seperti yang pernah
saya tulis di Kompasiana beberapa tahun lalu
yang melaporkan tentang seorang anak pemilik warung panganan yang berada
dekat kantor saya dulu (...). Entah apa yang memotivasi perilaku anak-anak tersebut untuk berbuat
disiplin berada di mesjid ketika bulan Ramadhan tiba, Apa karena dorongan orang
tuanya atau kebiasaan yang murni tercetus dari dasar sanubarinya, saya kurang
mengetahuinya secara persis tetapi yang jelas mereka kelak akan menjadi kader-kader
pemelihara dan penyemarak mesjid dimasa yang
akan datang yang pada gilirannya akan menggantikan generasi sebelumnya.
Seperti halnya Bilal yang mempunyai keyakinan bahwa berpuasa
penuh di bulan Ramadhan disertai dengan aktifitas rutin di mesjid akan
mendapatkan bintang dari Khaliq yang maha tinggi, maka saya dengan segala keterbatasanya
pun berkeyakinan bahwa Bulan Ramadhan
membawa berkah bagi setiap muslim yang menjalankannya dengan penuh keyakinan,
bahwa berpuasa sebulan penuh di disertai aktifitas yang di wajibkan secara syar’i
akan berdampak seperti “Detoksifikasi” sebulan penuh dari sebelas bulan lainya,
menetralisir dan mengenyahkan segala hal yang buruk baik mental maupun fisik
selama hanya berpegang kepada Allah SWT, menetralisir dan meningkatkan akhlak dan amal-ibadah
dengan mengenyahkan segala dosa dan keburukan akhlak disertai dengan menetralisir dan
mengenyahkan segala racun dari dalam maupun dari luar tubuh yang masuk secara sengaja maupun
tidak sengaja menggerogoti tubuh sehingga pada gilirannya meningkatkan kondisi kesehatan dan kebugaran, bahkan berkeringat, kencing dan buang air besarnya menjadi berkah tersendiri bagi mereka yang sedang menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan
( http://health.kompas.com/read/2012/07/29/13592059/Puasa.Dapat.Keluarkan.Racun.dari.Tubuh ).
Jadi semakin jelaslah bahwa
perintah Allah SWT yang merupakan kewajiban setiap hambanya jika direnungkan sebenarnya
justru berdampak demi kebaikan hambanya sendiri. Jikapun apa yang dilakukan
selama bulan ramadhan sebelumnya atau pada ramadhan kali ini belum berkontibusi secara nyata bagi perbaikan kondisi mental dan fisik saya pribadi, tentu tidak secara serta merta menyalahkan Allah SWT, mari kita
introsfeksi kedalam diri sendiri tentang apa yang pernah dilakukan selama sebulan penuh
tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda