Di sebuah sore yang basah, di pandangnya pendar sinar yang tidak lagi meraja, seperti sebuah fatamorgana lembayung semu abu-abu yang tidak lagi cerah. Senja merayap pelan merelung malam yang kelak akan dia jejak, tetapi tidak kecewa barang sedikitpun, peluhnya sudah menggenapkan ber lembar-lembar sobekan penanda yang didalamnya malu-malu serangkaian angka dari 1 sampai 31 kadang 30 suatu waktu pernah 28, ia hanya serupa penanggalan yang berlabuh di rengkuh geliat peluh yang telah berlalu.
Tetapi kini angka-angka itu terlalu pelan beranjak.
Sebuah lokomotif tua berkarat yang terengah-engah ketika beberapa gerbong dibelakangnya terlalu berisik, rodanya yang masih berkilat menggelincir mulus di rel yang sama tetapi energinya menggerutu pelan seakan berbisik kepada sesama gerbong yang berada di belakangnya.
Jangan salahkan aku.
Senja, senyap merambat lambat tetapi tetap tersenyum puas, di dadanya yang meranggas telah berjaya mengantarkan gerbong sebelumnya yang tetap setia berada dibelakangnya, beberapa stasiun telah dilalui, serombongan orang telah Ia angkut, beberapa timbunan barang telah diantarkan ketempat yang dituju.
Kini beberapa gerbong penuh hasrat menggelegak agar dapat meluncur di rel lain yang lebih pejal dan menantang. Energinya memang sedang menanjak.
Entahlah apakah ia akan menjadi lokomotif yang gesit merambah ke berbagai stasiun megah yang belum pernah di jejak halamannya sekalipun atau menjadi gerbong yang kuat yang mampu mengangkut penumpang atau barang ke berbagai jurusan sesuai yang di tuju sang peretas.
Entahlah… malam telah merangkak pelan.
Tulisan ini pernah di tayangkan di Kompasiana, . http://www.kompasiana.com/adiabebah/kereta-senja_553023276ea83415348b45a8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda