Sejak jaman masih SD sering diungkapkan oleh Guru Bahasa Indonesia mengenai Idiom, ungkapan, kata kiasan bahkan peribahasa yang sepanjang saya ketahui kebanyakan berasal dari serapan bahasa daerah. Idiom yang berasal dari bahasa daerah tersebut kemudian menjadi bahasa Indonesia yang umum di fahami maknanya, Idiom dan peribahasa tersebut tentu saja tidak lahir begitu saja, ia sangat erat kaitannya dengan budaya dan kultur daerahnya masing-masing, ia pasti lahir dari filsafat kedaerahan yang menjungjung tinggi nilai-nilai luhur kemanusiaan. Seperti penggambaran orang yang karakternya mencla-mencle, ngalor-ngidul, plintat-plintut dll
Dengan mengamati perikehidupan jaman sekarang khususnya yang paling mudah jika mencoba merekam tingkah laku, ucapan dan tindakan yang dilakukan oleh para petinggi dan pimpinan daerah di Indonesia, nampaknya Idiom, kata-kata kiasan yang mempunyai nilai-nilai luhur tersebut mulai terkikis maknanya seiring banyaknya terdengar dan terlihat melalui perilaku dan ucapan para pemimpin dan petinggi di media yang kurang genah dicerna telinga dan hati.
Ungkapan yang sering kita dengar yang berasal dari bahasa Jawa seperti :
Sabda Pandita Ratu, “Sabda Pandita Ratu” sebagaimana sering diungkapkan oleh pimpinan daerah Jawa yang seharusnya memang demikian adanya dan merupakan harapan rakyat kepada mereka. Dalam hal ini “Ratu” tidak saja mewakili pimpinan tertinggi pada khususnya, tetapi ia juga adalah seorang “Umaroh” pada umumnya. Sedangkan “Pandita:” bisa dimaknakan juga sebagai Ulama. Bila dikaitkan dengan posisi raja pada jaman dulu, bahwa raja adalah “Senapati ing ngalaga” (panglima perang), “Khalifatullah” (raja) sekaligus sebagai “Sayidin panatagama” (pimpinan agama), dengan demikian betapa beratnya tanggung jawab seorang raja, tiga hal menjadi satu. Berucap harus hati-hati, mengingat ia harus “Bawa laksana”, atau kesamaan ucapan dengan tindakan.
Abang-abang lambe, Abang: merah; Lambe: bibir. Ucapannya hanya seperti pemerah bibir (lipstik). Manis tetapi sekedar olesan. Digosok akan luntur. Ucapan yang sekedar “lamis”, tidak tulus, hanya untuk menyenangkan hati yang diajak bicara.
Idu didilat maneh, Sesuatu yang sudah diludahkan dijilat kembali.
Tinggal tapak jero, Arti harfiahnya meninggalkan jejak yang dalam, sudah janji tetapi tidak ditepati tentu meninggalkan jejak yang mendalam untuk yang akan diberi janji. Dll
Belum lagi peribahasa dan Idiom yang berasal dari bahasa diluar jawa Seperti, dari daerah Sumatra barat misalnya dikenal peribahasa: Dimana kaki berpijak, disitu langit di jungjung. dll
Patut disayangkan memang bahwa masih ada Pimpinan Daerah yang menggunakan mulut dan tindakannya hanya untuk menjaga kepentingan dan kebesaran pribadinya semata bahkan rela menjerumuskan orang lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda