Brrraaaak… Pintu kamar berwarna coklat muda natural persis sewarna kayu jati dibuka dengan sedikit kasar untuk kemudian ditutup kembali, Ayu berjalan beberapa langkah menuju tempat tidurnya, tasnya diletakan ditempat biasanya di sebuah meja belajar yang diterangi lampu sorot yang mengarah persis ke permukaan meja tersebut. Dalam kebisuan yang memunculkan raut wajah tampak kusut dengan garis bibir agak tertarik kebawah berkesan ngambek, rasanya ingin sekali berteriak sejadi-jadinya saat ini.
“Apanya yang salah ” Ayu berguman geram, tubuhnya dilempar ke empuknya tempat tidur yang tertata rapih, tempat tidur yang berwarna biru muda ber corak burung-burung sedang melayang mengitari ranting-ranting pohon dilatar belakang bulan tampak malu-malu bersembunyi dikerindangan pohon yang meranggas, warnanya terangkai sangat senada.
Kenapa rekan lelakinya hari ini bersikap menyebalkan, ada satu, dua orang yang menurut pandangannya cukup simpatik tetapi kenapa hari ini semuanya demikian mengesalkannya.
Kata-katanya terlalu serius, tidak peduli ditujukan kepada siapa tetapi pandangan sepasang mata itu, sepasang mata diantara berpasang pasang mata yang tertuju kepada dirinya membuatnya terasa kikuk serba salah sendiri.
“Bodoh, sangat bodoh” teriakku geram di kesendirian dalam kamar, sejenak setelah kuletakan tas sekolahku di meja belajar.
“Apa sih maksudnya”, padahal banyak cara yang dapat dilakukan jika itu memang ingin menarik perhatian, asal bukan yang menyebalkan tersebut, bualan-bualannya sangat keterlaluan ” Ku benamkan wajah ku diantara tumpukan bantal-bantal agar tenggelam dikedalannya untuk kemudian kurasakan keresahan ku sedikit memudar, hening di telinga, tidak ada suara-suara yang mengganggu lagi. Istirahat total barangkali itu yang amat diperlukan saat ini selagi pikiran ku sedang dilanda kalut.
Tiba-tiba saja aku tersentak kaget mendengar suara ketukan beberapa kali di pintu kamar, perlahan pintu terbuka dan sosok yang tidak asing lagi bagiku tampak berdiri diantara pintu dan meja belajar ku “Ayu , sedari tadi makanan sudah siap ter saji di meja makan, coba disantap nak” suara tante, adik dari ayahku lembut menyapa.
“Siap tante, ayu akan serbu, kebetulan perut lagi keroncongan, maaf tadi ketiduran sebentar” jawabku meyakinkan bahwa aku sedang dalam kondisi baik-baik saja. Pandangan mulai terlihat fokus, walau agak terkesan mengambang bagai layang-layang putus, layang-layang yang terlepas terbang bebas.
Sesuap demi sesuap makanan dalam piring hampir habis tak terasa, lidahku tidak seperti biasanya menyapa datar masakan olahan Tanteku.
Yak, aku bagai layang-layang putus, merupakan suatu personifikasi yang pas untuk menggambarkan suasana jiwa yang lagi kesal.
Masih terbayang gerakan dan ungkapan bodoh dilakukan temanku yang amat kusesalkan, “Bodoh” pikirku
Dikamarku sendirian, kupuaskan hati dengan mengotak-atik lappyku, nalar kembali pulih, membangun ketenangan rasa yang sedari tadi penuh sesak nyaris meledak, membuncah untuk kemudian mempendarkan semburat energi.
Setelah suasana hati mereda, energi emosi yang penuh sesak kini disalurkan, perpaduan rasa dan nalar dikolaborasikan melalui alur-alur harmoni. Melalui kanal-kanal, energiku diharapkan mengalir menjadi gerak positif.
Kutarik lembar demi lembar kertas putih bersih dari tumpukannya, kejujuran rasa dan fikir mengalir membentuk tarikan-tarikan pinsil hitam digenggamanku, mengalir membangun sketsa-sketsa gambar dua dimensi, hanya diri saja yang dapat menerjemahkannya, coretan-coretan cepat membentuk gerakan- gerakan, bentuk bentuk kini mulai terlihat ringkas, gambar-gambar sketsa ter tuang seolah bergerak menapak udara atmosphere sore cerah untuk kemudian ritmis agak rampak bersemangat seperti menggapai langit.
Otot jemari memanas dipadupadankan dengan kekuatan energi rasa, gesit meluncur menyendiri menerjang menusuk tajam tanpa ampun, tanpa dapat dihentikan, kekuatan terakhir dipertaruhkan seiring dengus napas yang membludak dan debaran jantung berdentam cepat, meluncur tajam memburu menyongsong kekuatan lain yang terlanjur lambat diantisifasi.
…dast..dast..dast…untuk kemudian kekuatan kini menjadi ringan meliuk mengatas menentang gravitasi untuk kemudian diam mematung sesuai gerakan formasi terakhir yang sempat dicapainya.
…dast..dast..dast…untuk kemudian kekuatan kini menjadi ringan meliuk mengatas menentang gravitasi untuk kemudian diam mematung sesuai gerakan formasi terakhir yang sempat dicapainya.
“Ahh andai Ibu masih berada disampingku saat ini, pastilah beliau akan senang memperhatikan anaknya mencoba menciptakan koreografi seni tari yang sempat disukainya”, Gumanku pelan.
Gerak laju layang-layang yang berlengak-lenggok kemudian tiba-tiba saja memburu menyongsong kelengahan lawan telah menginsfirasi membentuk gambar-gambar sketsa sebuah koreografi gerakan tarian rampak dan solo, suatu gerak tarian yang selama ini aku tekuni dalam beberapa bulan terakhir.
Stereo set yang tertata apik sekaligus lappy pribadi ku dihidupkan dengan posisi fitur web kamera menghadap ke ruang leluasa dalam kamar agar dapat merekam setiap formasi gerak tari. Suara musik, perpaduan irama pentatonis dan diatonis mengalun dinamis mengiringi sketsa-sketsa gambar dua dimensi yang diaplikasikan ke dalam bentuk gerak olah tubuh ter koordinasi, menyuguhkan keindahan sendratari yang harmonis antara gerak langkah dengan irama dentam musik ditingkahi bunyi-bunyi ritmis sehingga atmosphere udara dalam ruangan kamar ter isi penuh dengan nada-nada dinamis mengiringi gerak langkah tari serasi berbaur apik.
Pernah mengingat dalam setiap hendak mulai menari, ingin rasanya memakai topeng warisan turun temurun dari ibuku. Hanya dua kali aku dapat memandang detail bentuk rupa topeng tersebut secara leluasa, ketika aku masih belia sekali dan kerap ibuku giat memberi pelajaran menari dan sesaat setelah ibu meninggal, itupun karena ada selembar kertas wasiat yang ditujukan kepadaku tentang isi kotak kayu jati berukir.
“Ibu bukan penari handal, nak”, katanya suatu ketika pada saat beberapa gerak tari beliau ajarkan kepadaku, walaupun sudah terlalu lama ketika masih belum dewasa saja beliau pernah berlatih dengan tekun diajarkan oleh nenek, ibu masih mengingat sampai akhir hayatnya beberapa gerak tubuh jenis-jenis tarian tradisional.
“Keahlian dasar tari ini, ibu dapatkan secara turun temurun nak, gerak-gerak lemah gemulai dan rancak bernilai seni yang patut untuk dilestari kan”, hanya itu ucapan ibu yang masih terngiang di telingaku, ketika dalam suatu kesempatan bercerita tentang arti mengenai topeng warisan, sampai akhirnya ketekunan menari topeng tradisional terhenti dilakukan oleh ibuku semenjak beliau mengenal rasa, semenjak beliau terpaut hatinya dengan seorang pemuda simpatik yang telah merebut perhatian nya, ia rela untuk meninggal kan keterbiasaannya menari dengan alasan yang sangat pribadi, itulah sebabnya ketika aku menyampaikan sebuah cita-cita setamat SMA berkehendak melanjutkan menuntut ilmu ke sekolah tinggi seni tari, mendengar tuturanku ibu terlihat terlalu bersemangat mendorong, walaupun ayah dengan sera-merta menentang nya.
Dicobanya topeng berwajah perempuan molek warna merah jambu, diterapkan lekat-lekat kewajahku se nyaman mungkin, dihimpitnya jepitan yang menjulur sedikit di belakang bibir topeng tersebut dengan geligi kuat-kuat, ternyata pas dengan luasan wajah ku, tarikan bibir topeng merekah membuat image riasan wajah sumringah, topeng tersebut menular kan senyum mempesona pada diriku.
Kudongakan wajah ku ke atas lalu ke bawah, wajah topeng menyusur seluruh isi permukaan dinding-dinding kamar, untuk kemudian tubuhku berdiri memposisikan ke permulaan tarian.
Kaki kanan terpasang ke depan agak melekuk sedikit, demikian juga kaki kiri sedikit disimpan di bagian belakang dengan jarak satu telapak kaki, garis telapak kaki antara yang sebelah kiri dan kanan membentuk sudut 60 derajat. Mulai dari pinggang ke atas kuposisikan diri membentuk sudut tegak lurus dengan lantai sehingga menimbulkan kesan pinggul agak menjentik ke belakang dan pinggang melandai lentur, tubuhku ku miringkan agak sedikit ke kiri dengan wajah menghadap lurus ke depan, senyum merekah yang ter sirat di wajah topeng tersebut menimbulkan aura riang. Tubuh dan wajah ku mematung dalam waktu sekitar se menit, cukup lama untuk sebuah opening sendra tari.
Irama nada dari stereo set terus mengalun bersemangat, kemudian tubuhku mulai meliuk diikuti gerakan menjejak bumi melaju pelan berirama, wajah dan sebagian anggota badan ku gerakan ala robot ter patah-patah berganti-ganti arah, kedua tangan bergerak simetris mengambil gerakan mengibas selendang yang menjulur sebatas dengkul, kurentangkan tanganku ke posisi hendak meliuk kemudian di tekuk sebatas siku, jari-jari bergerak-gerak, lentik di telapak tangan kemudian seluruh tubuh bergetar berputar mantap, tarian ini terus mengalir ritmik dan dinamis selama kurun waktu tertentu di ruang kamar yang cukup luas untuk ukuran sebuah kamar pribadi, kemudian diakhiri dengan formasi mematung sejenak persis seperti gerakan awal tarian untuk kemudian topeng tersebut ku buka.
Suasana riang kini kurasakan, tak terlihat sisa-sisa sembab yang menggelayut di mataku, tampak berbinar setelah tuntas menciptakan dan menari kan sebuah koreografi tarian yang menurut ku indah setelah melihat hasilnya melalui putar ulang di perangkat laptopku.
Minggu depan tarian ini akan di pertunjukan dalam pesta perpisahan anak-anak kelas tiga di SMA ku, sekaligus ingin rasanya membuktikan kepada Ayahku bahwa seni tradisional juga tidak akan kalah indah dengan tari modern dan sangat patut untuk dilestarikan apalagi jika menarikan hasil ciptaan sendiri yang dipadu-padankan dengan tarian modern.
Beberapa hari ke depan latihan ini tentunya akan semakin menguras energi dan waktuku.
Selamat beristirahat dengan tenang Ibu, malam ini tampaknya ayu akan tidur nyenyak, semakin lelap merenda malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda