Disekitar stasiun kereta api di kotaku, aku berdiri memandang tempat yang menjadi kenangan hidup lamaku yang tampak tidak jauh berubah sejak pertama aku mengakrabi daerah ini, kutenteng kamera DSLR kesayanganku dan sesekali kuambil obyek di areal stasiun ini yang menggugah kembali rasa memory lamaku. Aku masih duduk dibangku Sekolah Dasar kelas empat waktu itu,sering menunggu kedatangan sepeda ontel yang dikayuh oleh seorang bapak yang selalu mengunjungi lokasi areal pelataran parkir timur stasiun ini. Menunggu dengan penuh antusias kedatangan rutin bapak pengendara sepeda ontel merupakan sesuatu yang paling diharapkan bersama rekan-rekanku. Jika yang ditunggu sudah sampai ditempat mangkalnya, suara bel sepedanya akan berbunyi nyaring, suatu kebiasaan yang selalu dilakukan bapak tersebutmemberitahukan kepada kami semua anak-anak penghuni stasiun kereta api yang selalu setia menunggunya, disandarkan sepeda tersebut ditempat mangkal seperti biasanya di bawah kerindangan pohon trambesi yang letaknya persis sejajar sebelah timur didepan bentangan pintu stasiun.
Sebagai pelanggan setianya adalah aku dan seluruh rekanku, ketika siang hari tiba, saat bel sepeda tersebut berbunyi aku dan seluruh rekanku memburunya untuk kemudian mengerumuni, biasanya sepeda tersebut dilengkapi dengan sebuah kotak terbuat dari kayu berukuran sekitar 50 x 50 cm dengan tinggi 15 cm yang menghiasi tempat bocengannya, tidak memerlukan waktu yang lama kotak kayu tersebut sudah dirubung oleh seluruh pelanggannya.
Kenangan itu bergulir dipelupuk mataku, berjalan kemasa-masa dimana aku dan teman-temanku merenda siang maupun malam dalam suasana kehidupan yang hampir tak pernah reda, kehidupan dalam kenagan masa kanak-kanakku di Stasiun Kereta Api.
Sambil menutup telinga dengan tangan kiri kemudian tangan kanan memegang erat tubuh kecil adikku agar tidak terlepas dari genggaman, aku terjebak diantara dua rel kereta, mataku dipejamkan sekuat-kuatnya, suara deru dan debu berterbangan melintas disekitarku yang posisinya tepat berada ditengah-tengah diantara dua rel kereta yang diatasnya melaju dua buah rangkaian gerbong kereta api yang melaju cepat dengan arah yang berlawanan.
Suara gemuruh dan hembusan angin mengibas kencang dekat sekali disisi kiri dan kanan ku, aku berusaha menenangkan adikku yang menangis, suara tangis yang disebabkan oleh rasa takut yang amat sangat diantara hembusan angin yang membawa debu dan sampah ringan berterbangan diudara, kubawa tubuh adikku berjongkok supaya gerakannya tidak oleng dan agar aku dapat memeluk tubuh kurusnya lebih erat lagi.
Suara itu, suara yang memekakkan telinga dan samarnya pandangan ini seakan terasa berlangsung lama sekali, untuk kemudian suara dan kaburnya pandangan beranggsur-angsur hilang, dunia kini kembali terang benderang sesaat setelah sekian lama dicekam ketakutan yang teramat sangat, kini setelah semuanya berlalu saat kesadaranku sudah normal kembali aku dapat bernapas dengan lega kembali, ucap syukur kupanjatkan kepada Tuhan yang telah menyelamatkan aku dan adikku.
Itulah sebabnya kenapa aku tidak mau berada jauh berjarak dengan adikku, walaupun sesibuk apapun aku membersihkan dan menyemir sepatu orang-orang yang bersedia alas kakinya untuk dikilapkan, ekor mataku tetap tidak akan lepas dari gerak-gerik adikku yang sedang memainkan apa saja, terkadang ia sedang asik bermain mobil-mobilan hasil karyaku yang terbuat dari kemasan minuman ringan bekas yang aku sulap sehingga mempunyai roda-roda dan dapat menggelinding diatas lantai stasiun kereta.
Stasiun kereta ini merupakan tempat yang paling aku akrabi semenjak mengenal tentang siapa diriku, aku dan orang tuaku sudah berada di stasiun kereta api ini, hiruk pikuk orang yang hendak pergi maupun yang baru datang merupakan pemandangan sehari-hari dan deru kereta , baik yang bagus lagi cepat maupun kereta barang yang mengangkut berbagai benda di gerbong-gerbongnya sering terlihat mondar mandir dan berhenti di stasiun ini. Pendek kata stasiun adalah tempat yang nyaman , tempat aku bermain dan tempat aku mencari makan.
Suatu pagi ketika hendak berangkat dari gerbong tempatku tinggal, ketika aku berjalan menyusuri rel kereta hendak melakukan aktifitaskudi stasiun tersebut, aku dan adikku 4 tahun menyusur rel-rel kereta dengan hati-hati, melangkahi satu-demi satu secara teratur kayu bantalannya dengan jarak masih terjangkau oleh langkah-langkahku akan tetapi adikku yang langkah kakinya lebih pendek dari padaku tidak dapat menyentuh bantalan kayu berikutnya, ya sesekali memang harus menginjak batu-batu kerikil yang berserakan diantara bantalan kayu, memang agak lambat tetapi begitulah kedaannya terkadang aku menggendong adikku yang berat jika dibandingkan dengan berat tubuhku, aku tidak mau terlepas dari adik semata wayangku setelah ibuku diciduk aparat ketertiban dan dibawa entah kemana. Berita tersebut keketahui berdasar penuturan teman, dengan napas tersenggal hampir habis karena sekuat kemampuannya dia berlari diantara rel kereta dan masuk ke kerumunan orang-orang sehingga dapat lolos dari kejaran petugas Trantib.
“ibumu kena jaring “ katanya ngos-ngosan, “dia dibawa petugas Trantib barusan beserta ibu-ibu dan bapak-bapak pedagang yang lainnya”, aku yang saat itu sedang menggendong adikku kaget luar biasa, adikku kuturunkan, tanganku terkepal dan mukaku memerah hendak menemui beliau dilokasi yang disebutkan, tetapi empat orang teman-temanku menangkap tubuh dan tanganku, seseorang menarik tanganku ketika aku berteriak memberontak, terjatuh dihimpit dan dikunci dilantai dingin sehingga tidak bergerak lagi.
“Ingat adikmu, Anton ingat adikmu, engkau akan sama nasibnya seperti mereka , ditanggkap dan diangkut ke mobil truk untuk dibawa entah kemana” teman-teman menahanku dengan suara ngos-ngosan karena napasnya seakan hampir habis akibat berlari dari lokasi kejadian ketempatku berada, mereka serempak memegang tubuhku erat-erat, Adit melingkarkan kedua tanganya dengan kuat ke perutku dari arah belakang sedang Ubay dan Asrod masing-masing memegang kedua tanganku erat. Aku tetap berontak sekuat tenaga untuk bisa terlepas keluar dari belenggu teman-temanku, Adit malah sekali lagi menjatuhkan tubuhku ke lantai serta Ubay dengan gesit menindihku, aku berteriak sekuat-kuatnya sambil mengerahkan seluruh kekuatanku tetapi tenaga ke empat orang temanku tidak sebanding dengan kemampuanku.
“Betul Ton, ingat adik mu, siapa nanti yang akan mengasuh, siapa yang akan dengan rela memberi makan , mendongengkan cerita-cerita anak ketika hendak tidur digerbong tidak terpakai ini, lagian siapa yang akan memimpin kelompok kita, semuanya serba sibuk dan susah untuk menghidupidiri masing-masing, kau jangan konyol begini, pakai akal sehatmu, lebih baik do’akan saja ibumu cepat kembali dan berkumpul lagi dengan kamu serta adikmu, akupun dapat berkumpul disini karena berhasil terlepas dari kejaran mereka, lagian mereka saat ini sudah pergi jauh” ujar Adit dan Ubay mencoba menenangkan dan menyadarkanku.
Aku masih terisak ketika alam sadarku kembali pulih kemudian memeluk adikku erat-erat, “ terlihattubuhku sudah dikelilingi oleh teman-temanku, “maafkan kawan, aku teramat marah, betul karena ada yang lebih penting saat ini, yaitu bagai mana kita dapat bertahan hidup” ucapku sambil melirik adikku, jangan sampai dia tahu bahwa ibu saat ini sudah tidak ada lagi baik di gerbong maupun di stasiun kereta ini.Ibu memang seorang yang tangguh semenjak bapak meninggalkan kami, ibu bertekad menghidupi keluarga ini dengan berjualan kopi dan panganan ringan berupa goreng-gorengan diluar areal sekitar stasiun kereta, memang lapak ibu berada diareal yang tidak diperbolehkan, ibu tidak mampu untuk membayar sewa lapak yang sudah disediakan oleh pengelola, akibatnya beliau hanya membuka lapak ala kadarnya berupa sebuah meja besar sehingga cukup untuk menampung beberapa piring berisi goreng pisang, goreng ubi, goreng ketan dan lain-lain disamping memang disediakan beberapa termos berisi air panas untuk menyeduh kopi, beberapa bungkus rokok yang sering diminta oleh beberapa pelanggannya serta tidak lupa seperangkat alat masak, kini semuanya sudah raib tak tersisa.
Sudah hampir satu bulan ibu belum kembali “ Ibumu mungkin sedang disekolahkan oleh pemerintah, belajar keterampilan yangseperti biasanya harus dimiliki oleh ibu-bu , seperti menjahit pakaian atau membikin kue-kue” jawaban bapak-bapak berseragam yang bertugas di peron ketika sempat ditanyakan kepada beliau perihal nasib ibu yang belum kembali pulang.
Saat sibuk mengasuh adiku, mengais rezeki untuk dapat makan berdua dan mengelola teman-temanku yang jumlahnya lebih dari 16 orang anak-anak penghuni gerbong kereta yang tidak terpakai lagi tersebut, tetapi hanya 5 orang saja yang paling dekat denganku, Adit, Ubay, Asrod, Fitri dan Sulastri.
Fitri dan Sulastri selalu berkumpul bersama teman-teman perempuan lainnya digerbong kereta yang terletak paling depan, sedang aku beserta adikku dan beberapa teman lelaki lainnya berkumpul dan tidur digerbong agak paling belakang dari kereta api yang sudah lama teronggok didekat stasiun.
Temanku yang lima orang umumnya tidak mempunyai orang tua kecuali aku dan adiku, aku dipercaya untuk memimpin mereka, mengkukuhkan persatuan agar setiap permasalahan dapat dipecahkan dan dicarikan jalan keluarnya bersama-sama.
“Kecepatan, yak, hanya kecepatan berlari dan berkelit saja kekuatan kita yang lainya hampir tidak punya” ujarku ketika istirahat siang aku mengumpulkan mereka dibawah pohon trambesi yang kokoh dengan daun-daun rindangnya memberi keteduhan yang ada dibawahnya, adem karena desir angin lembut dengan setiamembelai tubuh-tubuh mungil diantara terik matahari yang menyengat, tampak Ubay dan Adit serius memperhatikan setiap ucap dan gerak tubuhku, fitri dan sulastri terlihat asyik menenangkan adikku kemudian didudukan diantara keduanya, Asrod dan ubay sesekali tangannya memainkan kotak perlengkapan untuk mengkilapkan sepatu, sambil matanya tetap memperhatikan dengan asyik gerak tubuhku ketika mencoba memperagakan bagaimana caranya meloncat ke ketinggian dan turun dengan cepat, mendarat ke permukaan tanah atau lantai dengan aman. “yak, hanya kecepatan dan kegesitan saja yang kita punya, oleh karena itu hapalkan setiap lika-liku daerah sekitar kita, dan latihlah kegesitan kalian untuk tetap dapat berlari dan menghindar dengan cepat” ujarku penuh semangat, pada umumnya mereka semua memperhatikanku dengan patuh.
“Daerah sekitar stasiun ini bisa saja suatu waktu menjadi daerah yang berbahaya bagi kita semua”.
“Selain gerbong kereta yang kerap kita diami, pohon Trambesi ini yang berdiri kokoh dengan batangnya yang besar, saat ini kita sepakat untuk digunakan sebagai markas tempat kita, tempat berkumpul dan membahas segala sesuatu permasalahan diantara kita” temanku tampak mengangguk tanda setuju.
Pada umumnya tubuh teman-temanku kecil dan kurus , cukup lincah dan ringan untuk berlari dan berkelit.
Setiap hari minggu ketika matahari baru muncul dari peraduan aku dan rekan-rekanku kerap diajarkan beberapa jurus silat oleh kak Nara dibukit kecil agak jauh dan sepi dari suasana lalu lalang dibandingkan dengan stasiun kereta tempat kita hidup dan bermain diarealnya.
Aku terobsesi oleh cerita silat dari cerita bergambar yang sering kami baca, selain memang bertujuan untuk olah raga agar tubuhku sedikinya menjadi bugar dan sebagai perlindungan diri dari seranggan orang-orang jahat yang kadang-kadang berkeliaran di stasiun ini. Sedangkan mengenaiKak Nara, aku tak tahu motivasi beliau mengajarkan seni bela diri tersebut kepada kami, “Untuk ber olah raga dan menjaga diri tetapi jangan digunakan untuk bersombong diri” ujarnya mengingatkan kami semua.
Usaha mencari rezeki sebagai sarana untuk tetap hidup dan bertahan di daerah ini masih tetap dijalankan, bergerak dan bekerjamencari rezeki masing-masing, menyemir sepatu orang , menjual kantong kresek sambil sesekali meng ojekan payung jika musim hujan tiba.
Buku majalah teknik sekolah kejuruan yang aneh pikirku ketika aku menemukan sebuah buku darikotak kayu yang biasa di bawa oleh Bapak penggoes sepeda yang biasa mangkal di kerindangan pohon trambesi markas pertemuan kita, aku menyelidiki buku tersebut beberapa saat untuk kemudian kutetapkan buku tersebut dipinjam. Bapak penggoes sepeda ontel tersenyum sambil menatapku “ buku yang bagus “ untuk kemudian menulis pesananku di buku catatannya.
“Ahaaaay….Ada sesuatu yang baru untuk mencari uang yang lebih besar lagi” ucapku berteriak, teman-temanku terkaget mendengar teriakanku. “Untuk kelangsungan hidup kita”, sebuah gerobak kayu terbuat dari papan tergambar dengan rinci di buku tersebut. “Sepertinya kita bisa membuatnya, bahannya tidak terlalu susah dan kita dapat memohon bantuan kak Nara” ujarku, temanku masih terbengong, masih tidak mengerti, “begini saja, nanti sore selepas asholat Ashar kita menemui Kak Nara kita rundingkan rencana membuat Roli” ujarku melanjutkan idea bersamaku, “ Roli” ucap teman-temanku bersamaan, “ya Roli sebuah kereta darurat berjalan di atas rel, kita dapat memanfaatkan rel kereta yang tidak digunakan lagi oleh PJKA, kebetulan ada rel lama yang melintas ke sebuah pasar di halte sebelah sana tidak pernah dipakai sudah sejak lama dan Roli yang akan dibuat nanti dapat diluncurkan di sana untuk mengangkut belanjaan ibu-ibu dari pasar ke rumahnya” ujarku riang, kini teman-temanku tanpak sudah mengerti tentang ideku, “biayanya mahal barangkali Ton” ujar adit yang tampak paling responsif terhadap setiap detail ucapanku “ kita buktikan saja nanti setelah berdiskusi dengan Kak Nara beliau kan lulusan STM, sekolah kejuruan yang mengajarkan teknik” ujarku tetap riang.
Hasil kreasi bersama dibantu teknisnya oleh Kak Nara, rodanya terbuat dari laher bekas kendaraan bermotor, barang tersebut dapat dibeli dari hasil uang patungan, gerobak kayu tersebut mempunyai ukuran panjang 120 cm dengan lebar persis selebar rel kereta sehingga dapat melaju menggelinding ringan walau membawa beban berat, belanjaan orang yang berat sekalipun dapat diangkut dari pasar untuk kemudian didorong beramai-ramai. Mencari dan mengangkut barang belanjaan pelanggan serta mendorong gerobak lori tersebut kini merupakan pekerjaan yang menyibukanku bersama teman-teman.
Ternyata pengahasilan dari mengangkut belanjaan menggunakan roli ini cukup lumayan,penghasilannya dapat dipakai untuk makan dan sisanya ditabung seminggu sekali di Bank terdekat melalui Pak Lamri sebagai petugas Bank tersebut yang baik hati. Bukunya disimpan oleh beliau dan diperlihatkan jumlah tabungannya sesaat sesudah menyetorkan uang kepadanya. jumlah tabungan kita sudah terkumpul sebesar RP 346.000,- rupiah kata pak Lamri menyemangati sesaat setelah menyetorkan uang selama kurang lebih satu bulan lamanya.
Kini hari-hariku bersama teman-teman disibukan dengan mencari belanjaan langgananku di pasar untuk dimuatkan ke lori yang sengaja sudah nongkrong sejak lepas subuh sampai menjelang tengah hari dan hari-hari selain sekolah dan mendorong lori kurenda masa depanku bersama menyongsong mimpi yang terbentang di depan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda