Gambar di unduh dari : Google image
Perasaan
stress selalu menggodaku ketika mengamati kalender yang tergantung di
rumah, sebagai ritual tahunan, tanggal di bulan tertentu ku lingkari
dengan spidol hitam tebal, tanggal tersebut hanya terpaut beberapa hari
saja dari saat ini, saat merasakan kegelisahanku, hari-hari dimana
sering merenung sendirian, betapa beberapa persiapan harus sudah
direncanakan, rumah baru yang disepakati bersama, biaya secukupnya,
kendaraan alat tranportasi angkut-angkut barang serta beberapa orang
yang siap dengan tenaga cukup kuat untuk mengangkat beban yang saban
tahun sering kulakukan. Tanggal tersebut adalah hari dimana kontakan
rumahku habis masa tenggatnya, suatu kegiatan rutin yang amat
menyebalkan : memakan biaya, tenaga dan pikiran yang tidak sedikit.
Hal itu terjadi beberapa tahun yang lalu, suatu saat karena capai harus pindah rumah setiap tahun, sudah saatnya berusaha untuk mendapatkan rumah pribadi yang layak
sesuai dengan pendapat bersama seluruh anggota keluarga, kriterianya
sederhana: letaknya dekat dengan jalan, mudah dilalui oleh kendaraan
umum yang lalu lalang setiap saat , kondisi rumah yang cukup memadai
ditinjau dari tata letak dan ke asriannya disamping tentu saja persiapan
beberapa lembar uang kertas yang pantas ditukarkan dengan semua hal tersebut.
Rentang
waktu itu menjadi hari yang amat menegangkan, menuju batas akhir yang
dengan cermat menjadi titik perhatianku sejak beberapa bulan terakhir
bahkan beberapa tahun yang lalu. Untuk pegawai pemerintah layaknya seperti aku, satu-satunya jalan agar mendapatkan dana yang diperlukan adalah
mengamankan SK- SK yang berhubungan dengan status kepegawaianku,
menyimpan dengan aman ke sebuah Bank yang menjadi langganan bersama,
termasuk hanya satu-satunya Bank yang mempunyai rekomendasi untuk
menyalurkan uang gaji PNS bahkan meminjamkannya dengan jaminan SK
kepegawaian.
Setelah
mencari rujukan dari beberapa koran lokal, menanyakan inpormasi ke
beberapa rekan, dan membangun silaturakhmi sambil jalan-jalan memantau
lokasi-lokasi yang di idamkan, Beberapa kriteria penting sebagai rumah
idaman memang justru melekat ke beberapa rumah hasil observasiku, tetapi
ketika terbentur ke masalah harga, terpaksa pilihan tersebut dibuang
jauh-jauh, prioritas utama adalah yang terjangkau oleh bajet yang
tersedia, bahkan kalau bisa masih tersisa untuk biaya renovasi.
Tersebutlah
setelah sekian lama mengamati dan menjejelajah beberapa lokasi, rumah
yang menjadi hunian pertama sebagai milik pribadi ditemukan, ltuas
anahnya ternyata cukup besar : kurang lebih 400 m2 boo, jumlah kamar
tidur empat dengan luas kamar memadai, ruang tamu, ruang keluarga
tersedia dan tidak ketinggalan kamar mandi serta dapur, di bagian belakang rumah masih tersisa ruang cukup besar yang dapat digunakan sebagai gudang tempat menampung benda-benda tidak terpakai.
Rumah
tersebut berdiri terbuka diatas lahan cukup luas menurutku, tidak
memiliki pagar sedikitpun yang membatasi areal tanah tersisa sebagai
halaman dengan lahan milik tetangga, ruang terbuka sebagai halaman
menyisakan sampai sekitar 50% dari luasan yang ada. Sayangnya rumah tersebut berupa rumah tua yang kondisinya saat itu sungguh
menyedihkan, berfungsi sebagai gudang terlantar memberi kesan tak
terjamah lama sekali oleh penghuninya, sedikit beraroma angker, sehingga
ketika malam menjelang sebisa mungkin di hindari untuk dilalaui oleh
penduduk di sekitar. Tak apa-apa pikirku, lokasi dan harganya tokh amat
sesuai dengan beberapa kriteria yang diinginkan bahkan terhitung sangat
murah, kecuali kriteria lain luput menjadi idam-idamanku, seperti rumah
yang Asri dan indah, tetapi tokh semua itu dapat diciptakan sendiri oleh
penghuninya, tergantung kepada kreatifitas dan kemampuan estetika dalam
penataannya, maka setelah beradu tawar rumah tersebut berhasil menjadi
milik kami.
Rumah
pertamaku direnovasi dengan persediaan dana tersisa, ku panggil
beberapa tukang untuk mengerjakannya sesuai dengan keinginanku berserta
keluarga, kuganti bagian-bagian penting yang rapuh dan bagian yang amat
strategis agar rumah dapat berdiri dengan kokoh, sebuah persyaratan
penting untuk membawa seluruh anggota keluarga menghuni rumah tersebut
dengan aman.
Selang
beberapa hari ketika proses renovasi tersebut berlangsung, semua tukang
yang menginap disana (karena kebetulan rumah pribadinya amat jauh dari
lokasi rumah yang sedang direnovasi) mulai merasakan tidak betah tinggal
bermalam dirumah tersebut, mereka memilih untuk menyewa sementara di
rumah tetangga yang letaknya cukup dekat.
Hampir
setiap hari selepas kerja, ku sisihkan waktu untuk mengontol
perkembangannya, kuperiksa hasil renovasinya, memberi intruksi
sekedarnya sesuai keinginan yang dirasa sangat perlu untuk disampaikan
kepada sang tukang, sampai saat membayar uang gaji mingguan ketika
waktunya tiba.
Suatu saat walaupun badan rasanya lelah karena kebetulan ada tugas
yang harus diselesaikan, tetapi walau bagaimanapun kondisinya
kusempatkan melihat rumah tersebut sebagai representasi dari
keberhasilanku memiliki dan membangun rumah sendiri untuk pertama
kalinya, ku amati detail perkembangannya, sehingga fisik dan psikisku
sudah amat penat, aku tertidur pulas se usai menjalankan
sholat maghrib, lelap dikursi yang sengaja kutempatkan di ruang tengah
sebelum barang-barang lain dipindahkan kerumah ini, seolah sekejap saja
aku ter tidur pulas, badanku terasa memikul beban amat
berat, seperti tertindih ber kwintal-kwintal barang, ketika dalam
kondisi menjelang sadar sempat membaca do’a-do’a serta ayat-ayat dari
Al-Quran yang sempat kuhapal dan kuingat dan ketika mataku mulai sedikit
terbuka, samar dan perlahan akhirnya pandanganku menjadi jelas, saya
sudah dikelilingi oleh beberapa orang tetangga baru, diantaranya ada
yang sedang memegang kitab suci Al-Qur’an, yang lain masih menggenggam gelas air yang isinya sudah kosong, sementara yang lainya lagi masih sempat memegang minyak kayu putih beserta balsam, kulirik bajuku ternyata
sebagian sudah basah, bau-bauan tajam menusuk hidung menyeruak diantara
bau badanku yang memang sedari tadi belum mandi. Aku baru saja
kesurupan.
Badanku
demam ketika beberapa saat setelah kejadian itu berlalu, tetanggaku
banyak menyarankan agar aku pulang saja dan membiarkan rumah ini dalam
keadaan kosong sampai besok siang untuk digarap kembali oleh para
tukang. Aku menolak bukan karena sok-sok an tetapi dirumah kontrakkanku
yang waktunya masih tersisa dengan leluasa, isteri dan anak-anakku yang
masih kecil-kecil sedang tidak ada ditempat, mereka mengunjungi orang
tuanya yang sedang sakit, percuma saja aku pulang, selain
sudah agak malam, tokh disini dan disana sama saja, sendiri. Aku memilih
tidak beranjak dari rumah ini dengan segala resiko yang mungkin terjadi di sepanjang malam tersisa.
Menurut
tetanggaku selain mataku terbelalak seolah sedang emosi tinggi, sembari
mengeluarkan jurus-jurus silat yang ngawur juga mulutku mengumbar
kata-kata keras yang tidak tahu menggunakan bahasa apa. Aku malah
bengong memperhatikan ucapannya, malam ini kebetulan malam jum’at
kliwon.
Hampir
separuh malam kulalui dengan gelisah, jam sudah menunjukan angka 11.30,
kulirik seorang tukang yang umurnya masih belia memberanikan diri
menemaniku tidur, kondisinya sudah pulas beralaskan tikar di salah satu
kamar yang berhadapan langsung dengan kursi dimana aku sedang merebahkan
diri dan kantukku akhirnya lelap juga.
Tidurku
ternyata masih menyimpan gelisah, walau kantuk tidak bisa diajak
kompromi lagi, tetapi di kursi tersisa yang letaknya berada disebelah
dimana aku rebah masih ada orang yang rela menungguiku, aku terbangun
sambil tak kuasa menahan kantukku, berpikir semampunya bahwa tetangga
baruku ternyata orang yang sangat perhatian, rela menyempatkan diri
menjagaku sampai ronda semalaman, berpeci lusuh dan berpakaian khas
ronda, membiarkan sarungnya melingkar dari pundak sebelah kiri
menggantung sampai ke pinggang bagian kanan. Kusapa pelan bahwa, di meja
masih ada ceret berisi kopi walau kondisinya sudah tidak panas lagi
serta beberapa makanan ringan masih tersedia di piring-piringnya.
Tetangga rondaku yang aku tidak sempat memperhatikan raut wajahnya
dengan jelas hanya mengangguk pelan meng iya kan sambil tetap
memposisikan diri menghadap meja tamu tanpa menoleh sedikitpun. Aku
kembali tertidur sampai pagi menjelang.
Kubangunkan Sang Tukang, ketika Azan subuh selesai berkumandang, aku bergegas ke kamar mandi diringi teman tukang bangunanku.
Se
usai mendirikan sholat bersama, rekan kerjaku mulai sibuk membuka
seluruh pintu dan jendela yang di direkat penghalang kayu dan dipaku
dengan kuat.
Aku
terkesiap, memikirkan tamu tetangga ronda malam yang dengan rela
duduk khusuk menghadap meja tamu menemaniku tidur di kursi ini…..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda