Masih
kuat dalam ingatan saya bahwa ketika jaman muda dahulu, ketika berkesempatan janjian untuk sekedar nonton film bersama
seseorang maka sebagai mahasiswa tempo dulu yang kondisinya pas-pasan, yang
kebetulan belum tersentuh oleh budaya yang wah berbau kapitalis seperti sekarang
ini, ada suatu era dimana justru saat itu adalah
jaman keemasan untuk nonton di biokop,, paling tidak menurut saya pribadi, tersebab banyak
pilihannya, bebas mau nonton di bioskop manapun cukup disesuaikan dengan bajet
yang tersedia di kantong. Bioskop Misbar
(gerimis bubar) halal, mau duduk nyaman menyaksikan film kesukaan di kegelapan
gedung bioskop yang tarafnya lumayan juga di perbolehkan, apalagi jika ingin
nonton di bioskop terkenal dengan sound
sistem memadai itu boleh-boleh saja jika
keadaan keuangan cukup mendukung. Maka bisnis dibidang perfilm-an dan bioskop
pada waktu itu nyatanya cukup adem ayem dan menggiurkan. Mencapai puncaknya pada tahun 1980 an, film karya anak
bangsa sempat mengalami booming dan di bicarakan di banyak surat
kabar ibukota. Pada bulan muda apalagi di malam minggu sedangkan yang
diputar kebetulan film Indonesia box
office, maka mengunjungi bioskop
merupakan sarana refresing yang paling di idamkan walaupun masuknya ngantri.
Bioskop
lokal pada jamannya yang berada dibawah naungan Persatuan Bioskop Seluruh
Indonesia saat jaya-jayanya banyak di ramaikan dengan film yang dihiasi oleh
bintang-bintang terkenal, pada era tahun 1980 an aktor dan aktris seperti halnya
Onky Alexander, Meriam
Bellina, Lydia
Kandou, Nike
Ardilla, Paramitha
Rusady, Desy
Ratnasari dlsb menjadi
pujaan muda-mudi pada waktu itu, film Indonesia betul-betul menjadi tuan rumah
di negerinya sendiri apalagi sejak tahun 1978 didirikan Sinepleks
Jakarta Theater oleh pengusaha Indonesia, Sudwikatmono menyusul dibangunnya Studio 21 pada tahun 1987. Munculnya raksasa bioskop bermodal
besar itu mengakibatkan terjadinya monopoli dan berimplikasi terhadap timbulnya
krisis bagi bioskop - bioskop kecil, jumlah penonton diserap secara
besar-besaran oleh bioskop besar. Pada masa ini mulai dikenal fenomena
pembajakan video tape walaupun tidak seheboh VCD atau DVDbajakan pada jaman
sekarang.
Setelah perfilman Indonesia mati suri karena
tenggelam oleh film Hollywood dan bangkrutnya bioskop-bioskop kecil akibat
monopoly studio 21, sejak tahun 1998 dianggap sebagai era kebangkitan perfilman
nasional. Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi perfilman Indonesia yang
mengalami pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan. Film pertama yang
muncul di era ini adalah Cinta dalam Sepotong Roti karya Garin
Nugroho. Setelah itu
muncul Mira
Lesmana dengan Petualangan Sherina dan Rudi
Soedjarwo dengan Ada Apa dengan Cinta? (AADC) yang sukses di pasaran. Hingga
saat ini jumlah produksi film Indonesia terus meningkat pesat meski masih
didominasi oleh tema-tema film horor dan film remaja.
Pada tahun 2005, hadir bioskop bertema Blitzmegaplex di dua kota besar di Indonesia, Jakarta dan Bandung. Kehadiran bioskop dengan konsep baru
ini mengakhiri dominasi Cineplex yang dimiliki oleh kelompok 21 yang selama
bertahun-tahun mendominasi penayangan film di Indonesia.
Sejak tahun 1987 itulah yang notabene masih dalam alam ORBA, saya baru mengenal dampak dari praktek
monopoly karena langsung menyentuh terhadap hobi saya. Demikian dahsyatnya
pengaruh monopolly studio 21 kemudian di susul dengan munculnya dominasi baru
di bidang perbioskopan yaitu Blitzmegaplex, bioskop bernuansa canggih tersebut
membabat habis bioskop kecil. Nampaknya sebagai hal yang lumrah mengingat kuasa
hukum alam bahwa yang paling kuat otomatis akan menggilas yang lemah, karya
bagus melumat yang pas-pasan, yang nyaman menghancurkan yang seadanya, yang kecil-kecil
walaupun banyak dihancurkan oleh yang hanya satu perusahaan besar saja.
Di jaman yang kita pijak saat ini walaupun
praktek monopolly di haramkan menurut Undang-Undang ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT (UU No. 5 Tahun 1999)
tetapi pada kenyataannya secara tidak sadar mega bisnis dalam bidang tertentu
banyak secara tersamar terlihat beraktifitas di sekeliling kita, bukan
monopolly tetapi memang lazimnya perusahaan besar susah disaingi oleh perusahaan-perusahaan
kecil sejenisnya, terutama karena sistemnya yang lebih efektif dan efisien menguasai
dari hulu sampai ke hilir.
Saat
ini banyak kita jumpai untuk menggusur lahan masyarakat berubah menjadi beberapa tower pencakar langit dengan fasilitas yang
bernuansa one stop living hanya beberapa perusahaan mega bisnis saja yang
sanggup bermain dan menguasainya, disamping itu perusahaan yang memutar uang
saham dan bisnis perbankkan swasta sehingga
meningkat tajam, hanya beberapa perusahaan saja ahlinya, melambungkan bahan dan barang menjadi kebutuhan orang banyak yang berdaya jual tinggi ternyata ada juga ada
yang pakar di bidangnya, tokh segala macam ilmu marketing sebagai bagian dari perilaku
bisnis sudah dikuasai sejak dari hulu sampai hilir, semuanya jelas
menguntungkan pemilik modal dan pihak-pihak yang tergabung di dalamnya.
Namun
sayang jika pengusaha besar Indonesia
demi kepentingan perluasan ekonominya berniat masuk kedalam bidang politik, walaupun
prinsipnya hampir sama tetapi pada kenyataannya pasti membutuhkan berpengalaman
lebih kalau tidak bisa disebut sebagai baru memulai dari nol, maka broker
politik mendapat angin segar untuk memainkanya, tetapi siap sedia untuk kandas
ditangan yang berpengalaman, mudah-mudahan tidak ada dan tidak akan tumbuh subur di bumi Nusantara yang kita
cintai ini. Seni politik yang
berkebangsaan Indonesia dengan mengecap sari pati nilai-nilai luhur bangsa
tentu berbeda dengan yang dituntut dan di setir oleh perusahaan yang hanya mempunyai kepentingan
ekonomi oleh segelintir orang semata. Jikapun demikian apa bedanya dengan
sistem perbioskopan dan perfilman Indonesia di masa lalu.
Banyak
yang mengecam sistem perpolitikan pada jaman ORBA karena hanya satu partai saja
yang menguasai politik sekaligus pemerintahan pada waktu itu, akan tetapi
sejarah nampaknya ingin terulang tetapi dengan menggunakan praktek politik sekaligus
pemerintahan yang hanya ingin di kuasai oleh satu atau beberapa partai saja
dengan mencampakan partai lainya, jikalau demikian apa bedanya dengan praktek
politik di jaman ORBA dulu yang katanya sarat dengan ketidak beresan, berbau
fasisme tetapi pada kenyataannya ada sisi-sisi nilai baiknya sesuai dengan
jamannya. Demokrasi Pancasila yang sesuai dengan adat istiadat dan budaya
Nusantara, yang disarikan dari nilai-nilai luhur bangsa selayaknya masih cocok
bersemi di Bumi Nusantara ini menghiasi peta perpolitikan Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berikan Komentar Anda