Jumat, 08 Mei 2015

Solusi Ekstrim Mengatasi Kemacetan di Kota Besar





Seperti pepatah “I don't like Mondays,” maknanya menjadi malas untuk menghadapi kembali bekerja, terutama karena diawali dan diakhiri dengan rutinitas kemacetan di ruas jalan Ibu Kota menuju dan dari tempat kerja masing-masing.


Ketika liburan panjang bertepatan karena  tanggal merah yang berdekatan dengan hari Sabtu dan Minggu, biasanya para pekerja akan  terasa nikmat ketika menjalaninya kemudian apabila waktunya akan berakhir, perasaan berat mulai bergelayut menuju ke rutinitas kehidupan normal kembali. Maka masyarakat kota yang berusaha memanfaatkan waktu jeda dari rutinitas kesibukan sehari-hari di kantor atau tempat kerja lainnya harus mulai siap-siap kembali untuk  masuk  ke kehidupan seperti biasanya, bergaul dengan rutinitas kerja pada hari Senin sampai Jum’at dengan aneka problemanya. Suasana jalanan macet menuju ke  dan kembali dari kota tidak lepas dari mengantri lambat berjam-jam di tempat tertentu walaupun dalam jakauan hanya beberapa kilometer  saja jauhnya memang hal tersebut sudah menjadi pemandangan umum. Seperti biasanya kesibukan di awal minggu, pada hari senin merupakan hari yang banyak dibenci  orang, seperti sumpah serapah umum terhadap waktu, bahwa Senin merupakan waktu kembalinya kebosanan yang  harus ditempuh, tetapi saya yakin tidak selamanya dan berlaku umum, justru kebanyakan atau sebagian orang menantinya bahkan di kejar dan didambakan apalagi oleh mereka yang berlabel pengangguran.  Di satu sisi, apabila hari senin bertepatan dengan  saatnya  gajian, maka batasan “ai don laik manday” menjadi hambar maknanya seperti berlaku bagi mereka yang akan berpisah dengan kekasih hati dan sudah kadung bersatu setelah sekian lama  memendam rasa rindu hingga tidak ingin terpisahkan karenanya. Maka hari senin seperti biasanya,  jalanan kota besar akan kembali hidup berdenyut, beberapa pekerja di kota besar akan menghadapi kembali  rutinitas kemacetan terutama pada jam-jam sibuk,  saat menuju dan pulang atau kembali ke dan dari tempat kerja dan nampaknya kepadatan itu sudah menjadi kebiasaan sehingga tidak perlu dihadapi dengan sakit kepala akibat stress berat. Jika ujug-ujug lenggangpun seolah kerja di kota besar akan kehilangan esensinya, sebab  dari kemacetan bisa jadi merupakan tempat beredarnya uang  baik  yang diterima maupun dikeluarkan.  Peredaran uang  ini layaknya sendi pokok dari dinamika ekonomi kota besar, maka kalau kemacetan hampir punah di kota besar bahwa ekonomi masyarakat kota seakan rontok. Bagaimana tidak, selama ini  orang-orang  yang berprofesi sebagai pedagang asongan yang jumlahnya tidak dapat di sebut sedikit, kehidupannya bertumpu kepada kondisi tersebut agar kompor dapurnya dapat menyala, anaknya bisa sekolah dan keluarganya tidak ribut melulu dengan alasan nafkah.


Jumlah kendaraan yang diproduksi dan dijual oleh pabrikan otomotif yang menyerap banyak tenaga kerja tentu tidak ingin mati suri, memproduksi tetapi tidak laku dijual kemudian menunggu situasi sambil ngap-ngapan menuju kebangkrutan, akibatnya menyalahkan prediksi yang sudah dirancang sebelumnya. Apabila setiap tahun pabrikan kendaraan menciptakan dan memproduksi kendaraan terbarunya menyesuaikan keinginan pasar dengan dijejalkankannya aneka kemudahan hasil teknologi terbaru yang memanjakan penggunanya dengan kenyamanan dan keamanan  ternyata mengalami penurunan jumlah konsumen. Belum lagi jika mengamati arus transaksi jual beli kendaraan seken. Dengan demikian pabrik kendaraan seolah tidak peduli dengan kondisi macet malah dari kemacetan tersebut pengendara dan penumpang tidak perlu stres berat karena tekonologi akan mengatasinya.


Lalu Pintu tol yang juga banyak menyerap tenaga kerja dan peredaran uang begitu banyak tentu tidak ingin dianggap sepele, keberadaannya meraup  uang sebanyak-banyaknya dari pemilik kendaraan yang melintas, sehingga tidak heran jika menuju ke dan di dalam kota besar keberadaan pintu tol terlihat berlapis-lapis banyaknya,  memposisikan diri agar jumlah kendaraan yang masuk ke arealnya dipastikan tidak berkurang, malah cenderung harus sebanyak-banyaknya agar uang masuk bertambah besar pula, sehingga tidak heran apabila kemacetan ini memang diharapkan dan dirindukan oleh institusi tertentu maupun jika di amati dari sisi perputaran roda ekonomi kota, walaupun di dalam kemacetan tersebut sebenarnya kehilangan waktu produktif pengendara dan menguapnya berkilo-ton bahan bakar secara percuma yang berubah menjadi asap knalpot mengotori udara kota besar yang dapat disetarakan dengan raibnya senilai duit .


Mengikuti tabiat dari sifat perilaku menejemen modern yang dengan sengaja mengkotak-kotakan segala urusan menjadi beberapa bagian, maka solusi mengatasi kemacetan di kota besar  yang tertulis di bawah ini adalah sebagai salah satu solusi mengikuti tabiat ekonomi dari sekian banyak kiat yang perlu dipikirkan untuk direalisasikan, termasuk apa yang pernah saya tulis sebelumnya tentang pentingnya berdiri beberapa apartemen yang lokasinya di dekatkan dengan kantor-kantor dimana banyak karyawan bekerjanya untuk menekan laju kendaraan yang berseliweran memacetkan beberapa ruas jalan penting di kota besar.


Pemandangan kondisi kota-kota besar memang pakemnya seperti demikian, kalau tidak macet seakan bukan kota besar lagi apalagi disebut sebakai ibukota. Kondisi tersebut akan berbanding terbalik ketika  memasuki areal markas tentara, orang yang masuk  akan faham ketika harus melalui prosedur lapor dulu ke pos keamanan dan berusaha menjaga tata-tertib dan sopan santun seakan sudah tertanam dalam perilakunya selama masih berada di wilayah tersebut, boro-boro terjebak dalam pusaran kemacetan atau terjadinya  huru-hara. Dengan demikian kenapa kota besar tidak meniru kondisi seakan di markas tentara tersebut, sehingga pabrik kendaraan boleh terus memproduksi dan deretan pintu tol dipersilakan berlapis-lapis sebanyak yang diperlukan, tetapi pedagang asong tentunya akan semakin berkurang karena tidak menjanjikan transaksi yang menghasilkan keuntungan bagi kantong pribadinya sehingga mereka  perlu mencari lokasi lain yang lebih profitable.


Tentu saja hal ini akan menuai hasilnya  jika beban kemacetan dibagikan ke lokasi yang sudah terpolakan dengan cermat. Beberapa lokasi di sekitar batas kota dijadikan layaknya reservoir, persis ketika memperlakukan tabiat aliran air untuk kegiatan produktif.  Sebanyak hukum alam yang mencurahkan air ke suatu luasan wilayah  jika beberapa bagiannya dikumpulkan di suatu tempat yang aman di  beberapa lokasi penampungan atau bendungan kemudian disebar secara teratur dan terkondisikan seperlunya, maka banjir yang menumpuk di satu wilayah akan sedikit banyak akan teratasi.


Di beberapa lokasi di batas kota yang dijadikan sebagai target akses pintu masuk ke wilayah kota besar  perlu dijaga ketat oleh aparat yang diperlengkapi dengan aturan dan sangsi ketat, termasuk menyediakan areal parkir luas yang dapat menampung sejumlah kendaraan yang akan memasuki wilayah kota tersebut, sedang di dalam kota sudah disiapkan moda transfortasi milik pemerintah maupun umum yang dapat mengangkut sebanyak orang yang hendak masuk dan menuju ke tempat-tempat yang tersebar di dalam  kota. Dengan demikian pemasukan uang ke kas negara di geser dari dalam kota ke perbatasan, dari pintu-pintu tol yang berlapis di dalam kota sebagian besar  dialirkan ke tempat parkir luas dan moda transportasi yang dipersiapkan secara khusus, aman dan nyaman. Pedagang asongan dapat dibina menjadi pedagang yang lebih bermartabat di lokasi yang sudah disediakan di tempat-tempat parkir tersebut.


Kendaraan pribadi tentu saja harus berhenti dan parkir disana selama jam-jam sibuk seperti  pada umumnya terjadi di siang hari, kecuali kendaran angkutan umum  baik barang maupun orang untuk memenuhi kebutuhan mereka yang akan menuju tempat tujuan. Perubahan ini tokh tidak mengganggu pendapatan apalagi  hilang menguap bahkan kemungkinan akan bertambah,  sedang waktu produktif dan berkilo-kilo liter bahan bakar yang terbuang percuma di lokasi kemacetan dapat ditekan. Kendaran yang boleh beredar di dalam kota hanya kendaraan umum dan kendaraan pribadi yang memang sebelumnya sudah  terdata dan berdomisili di dalam kota dengan dibubuhi tanda khusus.


Pertanyaannya apakah masyarakat akan merasa nyaman dengan perubahan tersebut terutama mereka yang memiliki kendaraan yang super nyaman dan kesibukan yang luar biasa? Jawabannya tentu saja bisa selama pemerintah dapat mengantinya dengan kenyamanan dan keamanan lain yang sepadan sebagai penggantinya. Kenapa tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda