Kamis, 19 September 2013

Puisi Bulan September





Puisi = Meditasi



Seandainya puisi adalah suatu proses kreatif, dimulai saat persetubuhan intim dilakukan dalam sunyi, ketika mood mengapai-gapai asa, hamilah dia, diberinya asupan gizi hingga melahirkan. Maka berjatuhanlah hujan kata-kata nan sejuk lagi manis karena rasa, itulah kenapa tangan perempuan lebih piawai tentang hal ini. 

Puisi bagai meditasi, mejalin keseimbangan hidup dengan alam dan lingkungan, mengamati denting angin, mendengar desir bumi, buana bersendawa menjaring aroma kehidupan yang terpuruk hingga tertawa terbahak-bahak. 

Cianjur, 1 September 2013



Pada pasir pantai



Pada sebuah pagi, ketika tetes telah bermuara sampai keujung rambut
diantara kusut masai dan gerimis berderai
pantaimu telah kau lukis kembali menjadi purwa yang meraja
sesekali tandas oleh debur ombak untuk disimpan di palung tak bertepi
ambil saja, bawa saja, besokpun hanya kisah yang lelap tokh rindu kembali menjemputnya 

pada landai tepian ombak berderai
puisi ini berat kubawa pergi 
tidak akan lama kapanpun boleh singgah, ungkapmu
jangan salah jalan saja, pasir kita masih disini
di landai pantai yang kisahnya mudah terhapus ombak ke palungnya


Huruf Acak Berserak Menguap Satu-Satu









Dikerlingmu rinai menembangkan gita cinta
Di senyummu denting-denting mengalun merdu
Begitulah bunyinya.



Semuanya menari lembut gemulai lalu menghentak bagai irama satu kata dalam satu nada tanggo, kau tumpahkan huruf-huruf diantara lesung pipimu
Sejenak terdiam, merunduk dan kau mulai menembangkan nyanyi yang paling sunyi, nada-nada perih bergumul mencari pemahaman-pemahaman,
terbata nyanyianmu laksana duri yang baru menancap di daging, kidung gerimis sore masih saja mengalun
Kupasang telinga yang tersangkut di huruf-hurufmu, tidak bisa pergi, huruf-huruf berhembus semilir mendinginkan dua cangkir kopi  yang kurang setengahnya kita teguk
Diam adalah pendengaran yang paling setia ketika kesah  tetap berhamburan di bibir yang paling tidak pernah keluh, hanya kali ini saja, diam yang paling  gelisah tiba-tiba saja menyadarkan bahwa tidak ada gunanya merasa menjadi manusia-manusia yang paling terpuruk di dunia.

Kopi kita keburu dingin dan hanya kurang dari setengahnya diteguk, tidak perlu dicemaskan karena hanya tiba-tiba saja ada bah  di hulu dan mendengar  sudah lebih dari cukup apalagi ditambah sedikit penyerentak kesadaran, tuntaslah sebagai penutup suatu drama liris yang paling pilu didengar.
Tidak perlu sedu sedan itu, jika berharap punggungku beralih perlahan dari satu depa hingga hilang dari penglihatan tanpa saling terluka, tidak perlu kata maaf, tidak pernah ada yang merasa paling bersalah hanya waktu dan kesempatan untuk saling bertemu dan berbincang seadanya menyisakan hurufmu dan abjadku berserakan di bekas tapak beberapa langkah kebelakang yang tidak pernah merasa menguap sia-sia, ada rasa nano-nano juga disana, asem, terlalu manis, kecut dan diakhiri sedikit pedas hingga matamu perlu meneteskan satu atau dua butir yang membuat beku mendadak lalu mencair tiba-tiba hinggga menghilang pergi, menguap entah kemana.

Kini di beranda, setelah sekian lama, di mejaku hanya tersedia satu cangkir kopi saja, sambil melepas pandang keluar  bingkai kaca yang menjadi jarak antara kehangatan dan dingin yang rinainya sama ketika terakhir kopi kita berpasangan, riang diteguk bersama-sama, ada rasa hangat kembali, sementara huruf dan abjad yang dulu acak berserakan menguap satu-satu, naik keudara lalu mendadak sekeliling ruang senggang sekitar tubuhku dipenuhi melulu hanya huruf dan abjad, kuambil dan kupilih diantaranya satu huruf kemudian satu lagi hingga lengkaplah sudah tersusun lima huruf yang paling menggodaku kini:
RINDU

Dari file lama yang berserak di Kompyku