Jumat, 17 Desember 2010

Terpasung Melihat Sepasang Sepatu




Aku ter pasung memperhatikan sepasang sepatu di sudut jalanan yang basah  lagi kelabu, sedikit robek kemudian tampak seperti telah dijahit kembali oleh tukang sol sepatu.  kini aku termenung mengenang masa-masa ketika engkau membawa aku berjalan-jalan di pagi yang cerah dalam suatu hari libur ceria. 
Aku  anak lelaki yang masih berumur dua belas tahun ketika itu,  ter sudut di dinding tembok  di pinggiran jalan raya dekat sebuah pasar yang setiap pagi selalu ramai oleh penjual dan pembeli,    terperanjat disisi dinding bangunan toko  tersebut dan hanya sempat memperhatikan engkau dengan kasar mengacak-acak dan menginjak-injak sebuah mesin pemutar, sebuah cakram yang  terbuat dari plat piringan hitam bekas yang disulap sehingga memiliki angka-angka satu sampai dengan sepuluh dengan jarum penunjuk terpusat ditengah, hamparan kertas yang bertuliskan angka-angka yang persis sama seperti hasil refleksi dari yang tertera pada plat berputar, angka satu sampai dengan sepuluh kini diinjak-injak,   tak berbentuk ter onggok di pinggiran trotoar. Aku hanya terpana menyaksikan engkau memaksa si pemilik mesin  untuk mengembalikan semua uang yang telah tercuri dari seorang pemuda tanggung kurus yang termenung gelisah ketika seharusnya membeli sesuatu pesanan ibunya di pasar. Ada yang tersembul, terselip di pinggang tertutup jaket mu, tak tampak dari luar dan aku yakin engkau tidak perlu mengeluarkannya pada saat itu.

Kau  hanya melihat sebaran warna  seolah hanya hitam dan putih saja, semakin jelas rona wajahmu ketika engkau marah, marah pada setiap yang mencuri. Kini semuanya menjadi tampak jelas diingatanku, dari tegasnya alur alismu, bibirmu yang sedikit tersenyum namun dimataku tetap saja lakumu menyiratkan kelembutan hati.

Dan kini aku mengenangmu dalam deraian hujan membasahi jalanan yang terlihat dari jendela ruanganku.

Ayah… semoga kau tetap tenang di alam sana, teriring do’a yang hanya bisa kupanjatkan kehadiratMu.