Kamis, 14 April 2011

Awalnya dari Baca


Sepertinya aku tidak akan mungkin terlepas dari sesuatu yang dapat kubaca, media bacanya dapat berupa apa saja, khususnya paling nyaman ketika  sedang berhubungan intim dengan sebuah buku yang isinya sangat menarik perhatianku, hanya pada saat-saat tertentu saja sebuah buku lepas dari genggamanku.

Tempat-tempat yang sering aku berdiam diri kemudian hanyut dikedalaman  isi sebuah buku letaknya yadi ruang santaiku, tetapi tidak terlepas juga dengan tempat duduk  yang bisa kunikmati buku tersebut dalam suasana tenang, bisa di kursi tamu di ruang tamu, kursi makan, kursi taman atau ditempat-tempat  dimana aku bisa duduk konsentrasi dengan nyaman.

Aku mempunyai perpustakaan kecil dirumahku dimana buku-bukuku tidak ditempatkan dalam rak-rak khusus sehingga tampak terlihat berderet-deret terpajang dengan rapih dan serasi, buku-bukuku yang tidak terlalu banyak hanya disimpan dilemari kecil terkadang memang bertumpuk di meja kerjaku, sebagian  buku-buku lamaku malahan tersimpan dalam koper tertutup sehingga kalau suatu saat memerlukannya tinggal dibuka dan dipilih sesuai dengan yang  diinginkan.

Disamping itu aku kerap mengunjungi perpustakaan daerah yang ada di wilayah sekitar tempatku tinggal, menjadi anggota dan aku dapat meminjam buku-buku yang memang kuperlukan, walaupun kondisi perpustakaan tersebut jumlah koleksi bukunya masih terbatas tetapi itupun sudah cukup bagiku untuk tidak bosan-bosannya berkunjung ke perpustakaan daerah yang banyak didatangi oleh pelajar, mahasiswa lokal dan orang-orang pencinta buku di daerahku. Alangkah senangnya memang ketika kita dapat berkumpul diruang baca perpustakaan, walaupun tidak saling kenal dan bercakap hanya bersapa ringan, tersenyum kemudian beberapa diantara mereka tenggelam dikedalaman isi sebuah buku,  kunikmati saja keasyikan dalam keheningan diantara banyak orang. Paling  sering  buku yang dipilih  biasanya dibawa pulang untuk disimak dirumah.

Membaca buku seperti memetik buah ilmu pengetahuan yang berkilauan berserakan di jagat raya, bahwa setiap diri dikaruniakan segala sarana dan prasarana untuk menggali nya, memanfaatkan karunia Tuhan yang telah demikian maha pengasih dan maha pemurah dengan memberikan kelengkapan organ-organ tubuh yang tiada terukur nilainya, mencari ilmu dapat disejajarkan sebagai bentuk pengejawantahan rasa syukur terhadap penciptanya.  Panca indera yang berkonsentrasi penuh ketika menyimak sebuah buku yang menarik, cocok dan bermanfaat dengan minat pribadi menjadi motivasi untuk terus menggali dan menganalisa dengan menggunakan karunia Tuhan tersebut, bahkan ketika telah sampai kepada hasil, mencernanya dialam alur pikir, justru semakin banyak pertanyaan-pertanyaan yang kemudian timbul dan berkembang meminta jawaban-jawaban dan semakin tenggelam dan mengetahui lebih mendalam tentang suatu ilmu semakin menyadari bahwa ternyata pengetahuan itu demikian luas dan komplek, memungkinkan untuk terus mencari dan menyimak lebih dalam lagi.
Pepatah mengatakan” ilmuwan sejati bagai tanaman padi  semakin berisi butiran malah semakin merunduk”, karena menyadari ilmu yang didapatnya demikian luasnya, semakin banyak yang digalisemakin banyak pula yang belum di ketahui dirangkaian pengetahuan yang saling ada  keterkaitan satu dengan yang lainnya,  saling melengkapi didalamnya.

Memilah dan memilih minat terhadap kandungan suatu buku, terasa asyik ketika alur dan rangkaian kata dalam buku tersebut mencuri perhatian pikir dan hati sehingga menempatkan seseorang seperti mempunyai teman yang sehati, sepikiran bahkan jika tidakpun akan menimbulkan polemik jiwa dan pikir yang semakin asyik saja, untuk selanjutnya menginginkan rasa untuk mengetahui lebih mendalam dari buah karyanya untuk kemudian ketika lembar demi lembar telah dilumat habis seakan menempatkan diribagaikan merasa telah kehilangan teman yang selalu setia dekat dengan kita dan karyanya  mengendap dalam alam pikir bahkan kesadaran dari pembacanya.

Memetik ilmu sepertinya tidak dibatasi umur dan kondisi fisik, setidaknya ilmu pengetahuan dapat kita kumpulkan baik secara sadar maupun tidak sadar baik dalam format lembar-lembar kertas atau media lainnya bahkan dengan membaca alam disekitar kita pun bagaikan membaca ilmu pengetahuan yang sedemikian luas dan tidak terbatas untuk disimak, terhampar dihadapan kita dengan gratis. Patut dicermati bahwa yang paling dekat dengan kita adalah tubuh kita sendiri serta yang terhampar di lingkungan sekitar kita. Mengamati mekanisme tubuh dan fenomena alam yang terjadi disekitar kita, membaca anatomi tubuh dan mekanisme yang ada didalamnya, membaca alam yang sehari-hari nampak dalam pelupuk mata seakan tidak akan habis-habisnya untuk dicermati  menjadi sumber pengetahuan yang demikian menarik disimak.

Mencari ilmu khususnya membaca buku  tidak terbatas pada umur, kondisi fisik, bahkan kalimat bijakmengatakan “raihlah ilmu semenjak dari buaian hingga keliang lahat”, kalimat motivasi ini memberitahu dan mengingatkan kepada setiap diri, berlaku terhadap siapa saja baik yang fisiknya normal maupun yang mempunyai keterbatasan akibat tidak berfungsinya panca indera ataupun karena faktor umur, tetapi semangat untuk meraih dan menghimpun ilmu pengetahuan ternyata dapat dilakukan oleh siapa saja, kapan saja dan dimana saja.

Dan ketika pengetahuan sudah terhimpun menjadi suatu kebijakan diri,  semakin berbagi kepada sesama baik verbal maupun non verbal, tulisan ataupun lisan bahkan dapat disampaikan dalam bebagai sarana dan prasarana yang beraneka ragam untuk dipilih. Pengetahuan yang bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain ketika dibagikan ke sesama selain berdampak positiv terhadap nilai amal bahkan dapat meningkatkan keberadaan finansial, layaknya seperti mengambil dan mengumpulkanmutiara-mutuara dari dasar lautan, kemilau indahnya membuat diri berbinar dan mempunyai nilai, semakin tinggi kualitasnya semakin tinggi nilainya Semakin rajin berbagi bukannya semakin menipis kemudian hilang tak berarti didalam benak akan tetapi malah semakin berlipat semakin rinci dan semakin kaya menganeka-ragam, saling melengkapi menuju harmonisasi pikir, ilmu pengetahuan dan kebijakan.

Minggu, 03 April 2011

Pengalihan-pengalihan Emosi






Brrraaaak… Pintu kamar berwarna coklat muda natural persis sewarna kayu jati dibuka dengan sedikit kasar untuk kemudian ditutup kembali, Ayu berjalan beberapa langkah menuju tempat tidurnya, tasnya diletakan ditempat biasanya di sebuah meja belajar yang diterangi lampu sorot yang mengarah persis ke permukaan meja tersebut. Dalam kebisuan yang memunculkan raut wajah tampak kusut dengan garis bibir agak tertarik kebawah berkesan ngambek, rasanya ingin sekali berteriak sejadi-jadinya saat ini.

“Apanya yang salah ” Ayu berguman geram, tubuhnya dilempar ke empuknya tempat tidur yang tertata rapih, tempat tidur yang berwarna biru muda ber corak burung-burung sedang melayang mengitari ranting-ranting pohon dilatar belakang bulan tampak malu-malu bersembunyi dikerindangan pohon yang meranggas, warnanya terangkai  sangat senada.

Kenapa rekan lelakinya hari ini bersikap menyebalkan, ada satu, dua orang yang menurut pandangannya cukup simpatik tetapi kenapa hari ini semuanya demikian mengesalkannya.
Kata-katanya terlalu serius, tidak peduli ditujukan kepada siapa tetapi pandangan sepasang mata itu, sepasang mata diantara berpasang pasang mata yang tertuju kepada dirinya membuatnya terasa kikuk serba salah sendiri.

“Bodoh, sangat bodoh” teriakku geram di kesendirian dalam kamar, sejenak setelah kuletakan tas sekolahku di meja belajar.
“Apa sih maksudnya”, padahal banyak cara yang dapat dilakukan jika itu memang ingin menarik perhatian, asal bukan yang menyebalkan tersebut, bualan-bualannya sangat keterlaluan ” Ku benamkan wajah ku diantara tumpukan bantal-bantal agar tenggelam dikedalannya untuk kemudian kurasakan keresahan ku sedikit memudar, hening di telinga, tidak ada suara-suara yang mengganggu lagi. Istirahat total barangkali itu yang amat diperlukan saat ini selagi pikiran ku sedang dilanda kalut.

Tiba-tiba saja aku tersentak kaget mendengar suara ketukan beberapa kali di pintu kamar, perlahan pintu terbuka dan sosok yang tidak asing lagi bagiku tampak berdiri diantara pintu dan meja belajar ku  “Ayu , sedari tadi makanan sudah siap ter saji di meja makan, coba disantap nak” suara tante, adik dari ayahku lembut menyapa.

“Siap tante, ayu akan serbu, kebetulan perut lagi keroncongan, maaf tadi ketiduran sebentar” jawabku meyakinkan bahwa aku sedang dalam kondisi baik-baik saja. Pandangan mulai terlihat fokus, walau agak terkesan mengambang bagai layang-layang putus, layang-layang yang terlepas terbang bebas.
Sesuap demi sesuap makanan dalam piring hampir habis tak terasa, lidahku tidak seperti biasanya menyapa datar masakan olahan Tanteku.

Yak, aku bagai layang-layang putus, merupakan suatu personifikasi yang pas untuk menggambarkan suasana jiwa yang lagi kesal.
Masih terbayang gerakan dan ungkapan bodoh dilakukan temanku yang amat kusesalkan, “Bodoh” pikirku
Dikamarku sendirian, kupuaskan hati dengan mengotak-atik lappyku, nalar kembali pulih, membangun ketenangan rasa yang sedari tadi penuh sesak nyaris meledak, membuncah untuk kemudian mempendarkan semburat energi.

Setelah suasana hati mereda, energi emosi yang penuh sesak kini disalurkan, perpaduan rasa dan nalar dikolaborasikan melalui alur-alur harmoni. Melalui kanal-kanal, energiku diharapkan mengalir menjadi gerak positif.

Kutarik lembar demi lembar kertas putih bersih dari tumpukannya, kejujuran rasa dan fikir mengalir membentuk tarikan-tarikan pinsil hitam digenggamanku, mengalir membangun sketsa-sketsa gambar dua dimensi, hanya diri saja yang dapat menerjemahkannya, coretan-coretan cepat membentuk gerakan- gerakan, bentuk bentuk kini mulai terlihat ringkas, gambar-gambar sketsa ter tuang seolah bergerak menapak udara atmosphere sore cerah untuk kemudian ritmis agak rampak bersemangat seperti menggapai langit.

Otot jemari memanas dipadupadankan dengan kekuatan energi rasa, gesit meluncur menyendiri menerjang menusuk tajam tanpa ampun, tanpa dapat dihentikan, kekuatan terakhir dipertaruhkan seiring dengus napas yang membludak dan debaran jantung berdentam cepat, meluncur tajam memburu menyongsong kekuatan lain yang terlanjur lambat diantisifasi.
…dast..dast..dast…untuk kemudian kekuatan kini menjadi ringan meliuk mengatas menentang gravitasi untuk kemudian diam mematung sesuai gerakan formasi terakhir yang sempat dicapainya.
“Ahh andai Ibu masih berada disampingku saat ini, pastilah beliau akan senang memperhatikan anaknya mencoba menciptakan koreografi seni tari yang sempat disukainya”,  Gumanku pelan.

Gerak laju layang-layang yang berlengak-lenggok kemudian tiba-tiba saja memburu menyongsong kelengahan lawan telah menginsfirasi membentuk gambar-gambar sketsa sebuah koreografi gerakan tarian rampak dan solo, suatu gerak tarian yang selama ini aku tekuni dalam beberapa bulan terakhir.

Stereo set yang tertata apik sekaligus lappy pribadi ku dihidupkan dengan posisi fitur web kamera menghadap ke ruang leluasa dalam kamar agar dapat merekam setiap formasi gerak tari. Suara musik, perpaduan irama pentatonis dan diatonis mengalun dinamis mengiringi sketsa-sketsa gambar dua dimensi yang diaplikasikan ke dalam bentuk gerak olah tubuh ter koordinasi, menyuguhkan keindahan sendratari yang harmonis antara gerak langkah dengan irama dentam musik ditingkahi bunyi-bunyi ritmis sehingga atmosphere udara dalam ruangan kamar ter isi penuh dengan nada-nada dinamis mengiringi gerak langkah tari serasi berbaur apik.

Pernah mengingat dalam setiap hendak mulai menari, ingin rasanya memakai topeng warisan turun temurun dari ibuku. Hanya dua kali aku dapat memandang detail bentuk rupa topeng tersebut secara leluasa, ketika aku masih belia sekali dan kerap ibuku giat memberi pelajaran menari dan sesaat setelah ibu meninggal, itupun karena ada selembar kertas wasiat yang ditujukan kepadaku tentang isi kotak kayu jati berukir.

“Ibu bukan penari handal, nak”, katanya suatu ketika pada saat beberapa gerak tari beliau ajarkan kepadaku, walaupun sudah terlalu lama ketika masih belum dewasa saja beliau pernah berlatih dengan tekun diajarkan oleh nenek, ibu masih mengingat sampai akhir hayatnya beberapa gerak tubuh jenis-jenis tarian tradisional.
“Keahlian dasar tari ini, ibu dapatkan secara turun temurun nak, gerak-gerak lemah gemulai dan rancak bernilai seni yang patut untuk dilestari kan”, hanya itu ucapan ibu yang masih terngiang di telingaku, ketika dalam suatu kesempatan bercerita tentang arti mengenai topeng warisan, sampai akhirnya ketekunan menari topeng tradisional terhenti dilakukan oleh ibuku semenjak beliau mengenal rasa, semenjak beliau terpaut hatinya dengan seorang pemuda simpatik yang telah merebut perhatian nya, ia rela untuk meninggal kan keterbiasaannya menari dengan alasan yang sangat pribadi, itulah sebabnya ketika aku menyampaikan sebuah cita-cita setamat SMA berkehendak melanjutkan menuntut ilmu ke sekolah tinggi seni tari, mendengar tuturanku ibu terlihat terlalu bersemangat mendorong, walaupun ayah dengan sera-merta menentang nya.

Dicobanya topeng berwajah perempuan molek warna merah jambu, diterapkan  lekat-lekat kewajahku se nyaman mungkin, dihimpitnya jepitan yang menjulur sedikit di belakang bibir topeng tersebut dengan geligi kuat-kuat, ternyata pas dengan luasan wajah ku, tarikan bibir topeng merekah membuat image riasan wajah sumringah, topeng tersebut menular kan senyum mempesona pada diriku.

Kudongakan wajah ku ke atas lalu ke bawah, wajah topeng  menyusur seluruh isi permukaan dinding-dinding kamar, untuk kemudian tubuhku berdiri memposisikan ke permulaan tarian.
Kaki kanan terpasang ke depan agak melekuk sedikit, demikian juga kaki kiri sedikit disimpan di bagian belakang dengan jarak satu telapak kaki,  garis telapak kaki antara yang sebelah kiri dan kanan membentuk sudut 60 derajat. Mulai dari pinggang ke atas kuposisikan diri membentuk sudut tegak lurus dengan lantai sehingga menimbulkan kesan pinggul agak menjentik ke belakang dan pinggang melandai lentur, tubuhku ku miringkan agak sedikit ke kiri  dengan wajah menghadap lurus ke depan, senyum merekah yang ter sirat di wajah topeng tersebut menimbulkan aura riang. Tubuh dan wajah ku mematung dalam waktu sekitar se menit, cukup lama untuk sebuah opening sendra tari.

Irama nada dari stereo set terus mengalun bersemangat, kemudian tubuhku mulai meliuk diikuti gerakan menjejak bumi melaju pelan berirama, wajah dan sebagian anggota badan ku gerakan ala robot ter patah-patah berganti-ganti arah, kedua tangan bergerak simetris mengambil gerakan mengibas selendang yang menjulur sebatas dengkul, kurentangkan tanganku ke posisi hendak meliuk kemudian di tekuk sebatas siku, jari-jari bergerak-gerak, lentik di telapak tangan kemudian seluruh tubuh bergetar berputar mantap, tarian ini terus mengalir ritmik dan dinamis selama kurun waktu tertentu di ruang kamar yang cukup luas untuk ukuran sebuah kamar pribadi, kemudian diakhiri dengan formasi mematung sejenak persis seperti gerakan awal tarian untuk kemudian topeng tersebut ku buka.

Suasana riang kini kurasakan, tak terlihat sisa-sisa sembab yang menggelayut di mataku, tampak berbinar setelah tuntas menciptakan dan menari kan sebuah koreografi tarian  yang menurut ku indah setelah melihat hasilnya melalui putar ulang di perangkat laptopku.

Minggu depan tarian ini akan di pertunjukan dalam pesta perpisahan anak-anak kelas tiga di SMA ku, sekaligus ingin rasanya membuktikan kepada Ayahku bahwa seni tradisional juga tidak akan kalah indah dengan tari modern dan sangat patut untuk dilestarikan apalagi jika menarikan hasil ciptaan sendiri yang dipadu-padankan dengan tarian modern.

Beberapa hari ke depan latihan ini tentunya akan semakin menguras energi dan waktuku.
Selamat beristirahat dengan tenang Ibu, malam ini tampaknya ayu akan tidur nyenyak, semakin lelap merenda malam.

Ditinggal orang yang biasa ternyata luarbiasa





Dalam kondisi menggigil basah kuyup karena wajah dan rambutmu kehujanan ia datang menghadap kepada ku ,“ternyata kita sejauh ini telah mengerjakan sesuatu pekerjaan yang sama” ujarnya sambil mengembangkan senyumnya yang khas, “mubadzir keringat kita tercurah karenanya “ kataku pelan engkau malah tersenyum lembut , ” tidak ada yang sia-sia dalam setiap perbuatan yang pernah kita lakukan sebatas memang itu sesuai dengan koridor yang telah di tetapkan” katamu tenang sambil senyumnya terus saja menghiasi wajah kuyunya, tetes sisa –sisa bekas air hujan masih terimbas dari rambut dan wajahmu, tetapi senyum itu tetap saja menghias diwajahmu yang ceria.

“Ayo kita selesaikan permasalahan kita dengan parameter yang umum”, katanya mengajak diskusi, “siapa yang lebih dulu menerima pesan pekerjaan tersebut, siapa diantara kita yang lebih dulu melakukan pekerjaan dan seberapa jauh kita sudah melaksanakannya” dan sambil tertawa engakau merasa kalah dari berbagai sisi, tetapi senyum itu terus saja berkembang.

Itulah pertama sekali aku takjub kepadamu, sesosok yang dalam kondisi tidak prima sekalipun engkau masih mengejar hal-hal yang aku sendiri tidak tau memaknainya. Engkau hanya menyelesaikan solusinya sambil tersenyum sembari melaksanakan setiap pekerjaan sesuai dengan tugas dan fungsinya, bahkan lebih pikirku dalam hati, aku sering melihatmu bahkan sempat bercakap denganmu pada saat-saat orang lain mungkin sedang asyik beristirahat di kursinya yang nyaman menonton TV sambil menikmati camilan ringan pengantar malam atau tidur pulas diranjangnya yang empuk, tetapi engkau masih saja berkejaran dengan waktu meraih sesuatu untuk dibawa pulang dan dinikmati bersama dengan keluarga yang sedang menunggumu dirumah.
“Taukah kau saudara-saudaraku” ujarku dalam suatu kesempatan ngobrol antar sesama rekan yang lain di warung kopi yang biasa kita singgahi, “Dia adalah seseorang yang biasa saja, tidak ada seorang pun yang memandang dia istimewa, sosoknya, cara berpakaiannya, jenis pakaiannya, tingkah lakunya bahkan keberadaan harta bendanya pun menampakan hal-hal yang biasa-biasa saja bahkan sangat sederhana dibanding yang lainya menurutku, sehingga dia hanya dipandang oleh kita sebagai temannya atau orang lain adalah sosok yang serba biasa-biasa saja , sebagai sosok yang banyak dijumpai disekitar kita, dia tidak menonjolkan diri, tidak berkesan sombong atau tinggi hati, kesimpulannya dia itu tidak suka menarik perhatian orang lain apalagi kondisinya sedang mengidap penyakit tahunan yang sangat kronis tetapi dia tidak menampakan keluhan akan kondisi sakitnya” ujarku terheran, tampak teman-temanku mengamini semua perkataanku.

Jika ditilik lebih jauh, dia hanya melaksanakan kehidupannya tanpa hadir ditempat-tempat yang tidak ada manfaatnya sekalipun bahkan menimbulkan dosa baik yang disengaja maupun tidak disengaja, ketika sudah terlanjurpun, dia sudah berada disekitar itu maka dengan sopan dan tanpa meninggalkan jejak sedikitpun, dia akan menghindar tanpa ketahuan. Perilakunya tanpa dibuat-buat,  baik ketika sedang mengerjakan amal soleh atau beribadah kepadaNYa sekalipun,  dia terlihat selalu paling depan dan khusu apalagi dilingkungan rumahnya.

Akhir-akhir ini setelah hanya selang dua hari dari pertemuan kita yang terakhir saya mendapat kabar engkau semalaman sudah dibawa ke rumah sakit untuk kemudian beberapa jam selanjutnya  kondisimu tidak sadarkan diri, dan semuanya yang hadir tepat disisinya menjadi sedemikian paniknya, walaupun ketika keesokan harinya engkau kembali bercengkrama diantara kita-kita, sebagai teman engkau tetap selalu memperlihatkan diri dengan senyum berhias diwajahmu dan keriangan-keriangan yang diperlihatkan saat itu sangat tidak biasanya, seolah-olah engkau tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Subuh itu, setelah dua menjelang ketiga hari engkau berada dirumah sakit, serasa tersentak kaget pikir ini, teringat kemarin siang dengan kerianganmu, kini engkau telah mengejutkan kita semua.
Innalillahi Wainnailaihi Rojiun, engkau telah dipanggil kehadiratNya dengan tenang, senyummu masih terulas dijasad fanamu.

Sebagai seorang biasa dipandangan orang, aku terkejut ketika yang hadir men Sholatkan engkau dimesjid terdekat dengan rumahmu begitu banyak tidak terkirakan demikian juga yang mengantar memberi penghormatan terakhir ke kuburmu jumlah yang hadir demikian banyaknya.

Selamat tinggal teman, sebagai sosok orang biasa tetapi ternyata engkau amat luar biasa, mudah-mudahan sama dipandangan Allah SWT. Amiiin

Engkau telah mendahului kita sebagai temanmu dan orang-orang terdekat denganmu, Aku malah bertanya-tanya sampaikah aku menjadi orang yang luar biasa saat akhir khayatku, dan pertanyaan itu membuat mata ini berkaca-kaca sobat, selamat tinggal kawan, semoga Allah SWT ridho atas segala amal ibadahmu .

Keselarasan









Tiba gilirannya bahwa kekuatan setiap diri bagai persetubuhan intim antara diri yang  disakralkan untuk bertahan menyelaraskan  dengan kekuatan  alam
potensi setiap diri menjadi segala sesuatu yang menyelaraskan antara yang berada didalam dengan yang berada diluar diri

menyelaraskan sesuatu yang kuat sekaligus juga yang lemah
disukai menyelaraskan dengan yang dibenci
menyenangkan dengan yang menyedihkan
siang dengan malam

sebagaimana semak-semak mawar dengan duri-duri yang tajam pada tangkainya
menyelaraskan dengan kelopak-kelopak bunga yang  merekah indah megah
antara setiap  diri dengan diri-diri yang lain
antara setiap diri dengan Tuhannya

begitulah cara Tuhan menciptakan kehidupan dengan segala hiasan nya
yang diciptakanNya menyelaraskan perjalanan diri  menempuh hidup
antara nafsu dengan tuntunan
memiliki dengan yang lepas dari genggaman
memilah yang diperbolehkan dan yang dilarang
sebagaimana kehidupan berujung kematian
hidup adalah pilihan-pilihan dari setiap diri dalam keselarasan
sebagaimana mati membawa setiap diri  mempertanggung jawabkan segala amal perbuatan  di hadapan Tuhan kelak

Lalu bagaimanakah menyulam  hidup seperti jaringan laba-laba
pada akhirnya diri menjadi pusatnya
pusat neraka atau surga

oleh karena itu
aku memohon kepadaMu ya Allah akan sebuah jalan
jalan terbaik sesuai RidhoMu
jika belum sempat sempatkanlah
andai belum sampai sampaikanlah
aku hanya berusaha menyelaraskan dengan tuntunanMu
maka kabulkanlah

Selamat Malam Raul





Pernahkah suatu malam sebelum kantuk menjelang menemukan diri dalam keadaan duduk kemudian pikiran melayang tak tentu arah, tidak ada seorangpun dan bunyi apapun mengganggu, bagaimana rasanya ? stresskah, sepi, hening atau bahkan ketakutan. Malam ini ketika aku sendirian hanya ditemani secangkir kopi dan seperangkat computer, sunyi pikiranku melayang mengingat sesuatu yang telah lepas dalam memoryku dan kini aku menyusun kembali keping demi keping mengingat-ingat seolah rasanya baru kemaren terjadi.

Rumah semakin sepi hanya tertinggal suara denting…tik…tik..tik…suara berasal dari jam dinding dirumahku yang sedari tadi seperti melototin melulu …kalau dia hidup barangkali sedang mentertawakan dengan penuh suka cita melihat tingkah polahku atau bahkan merasa pilu megap-megap prihatin karena terlihat seperti sedang stress berat ….…koo ..ini orang sedari tadi hanya duduk diam ..celingak-celinguk gelisah … terkadang mengerutkan dahinya dalam-dalam seperti merenung entah memikirkan apa…

Aku  sedang memanfaatkan waktu luang ketika kantuk belum membelai alam sadarku, lelap yang membawa ke situasi yang jelas secara langsung tidak bisa mengamati keberadaan yang terdapat didalam ruangan kamarku, karena istirahat total dari organ-organ tubuh beserta seluruh indera yang melekat disana telah terambil alih oleh lelap, sebagaimana lelap menjadi suatu moment yang dibutuhkan dalam hidup dan berkehidupan ini.

Kumanfaatkan saja sisa waktu luangku sebelum mata mulai berkejab-kejap kemudian terpejam dan tubuh ini sudah lemas tidak mampu lagi menahan dan memposisikan agar kepala tetap bisa berada tegak lurus diatas tubuh saat duduk dikursiku.

Pikiranku melayang kesana-kemari, kemasa lampau, Sehingga dengan tiba-tiba saja tanpa basa-basi teringatlah akan kisah temanku dulu ketika masih sekolah di sekolah lanjutan pertama….yak aku ingat namanya Raul, dia selalu nomor satu dikelasku terutama dibidang mata pelajaran matematika.

Matematika..ha..ha…mata pelajaran yang paling aku takutkan bukan saja karena gurunya yang tanpa senyum seolah robot waktu itu, tetapi karena pelajaran tersebut memang memusingkanku, bagaimana tidak : kali, bagi tambah kurang sesekali akar tidak ketinggalan kuadrat…diotak atik bersama angka-angka njelimet…boro-boro dapat menebak jawabannya, kotretan atau kopean aku pun malah bersih dari noda sedikitpun, kadang-kadang isinya sih ada, tetapi hanya corat-coret berbentuk gambar yang kalau di lihat dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya kok hamper mirip dengan wajah sang guru ya…( hadoooh… maaf bapak-bapak dan ibu-ibu guru matematika ini hanya tulisan duduls belaka, jangan sampai diambil hati)
Pikiranku mulai melayang seketika itu, Raul yang hidupnya serius kadang-kadang sih suka bercanda juga bersama anggota anggota keluarga lainnya terutama dengan adik-adiknya.

Maksud saya bukan hanya hidup akrab antara anak-anak dan orang tuanya saja, beberapa orang memang sering muncul dan pergi dirumah itu, rumah pemberian pemerintah yang dapat digunakan seumur hidup oleh keluarga Raul. Sebuah rumah yang cukup besar untuk ukuran keluarga kecil karena ternyata oleh ayahnya diperluas bangunannya disertai penambahan-penambahan ruangan tertentu seperti kamar–kamar tidur, ruang makan dan ruang keluarga. Secara umum sih itu selayaknya memang menyalahi hukum matematika apalagi hukum ekonomi…orang rumah milik pemerintah kok dibangun…? ngabisin duit saja…tokh pada akhirnya akan diambil alih oleh pemerintah kembali… ahhhh… menurutku itu ide dudulls….ddduduls banget.

Tetapi memang tidak ada yang dapat menilai harga kenyamanan, buktinya banyak orang-orang berduit pas-pasan, pas untuk beli apa saja maksudku…eh dia pilih beli kendaraan mewah terbaru yang harganya mendekati satu milyard rupiah..lhoo kenapa nggak beli tanah saja…ato beli dollars, poundsterling, ato beli emas batangan…atao beli sebongkah berlian…kek..yang dapat dijual kembali dengan sedikit pengurangan nilai harga jual kembali, padahal biasanya harganya semakin lama malah semakin meningkat. Sebuah mobil yang nyaman sekalipun jikalau sudah lama dipakai malah semakin menurun harganya dibanding kalo beli mobil baru, apalagi mobil tersebut sudah lama dipakai terus rusak… terus tabrakan lagi, whoalaaah… tentunya nilai harganya kudu meluncur jatuh bebas seperti air terjun.

Yak… kenapa dikhususkan untuk membangun rumah itu, belakangan aku mulai mengerti karena keluarga tersebut secara umum memang sering sekali didatengin tamu anggota keluarga dari pihak ibunya Raul atau dari pihak bapaknya. Sering sekali terlihat tamu yang datang mampir menginap sampai beberapa hari kemudian pergi setelah maksud tujuannnya terlaksana.

Demikianlah rumah Raul, besar dan nyaman untuk ukuran sebuah rumah didalam komplek jika dibandingkan dengan rumah-rumah tetangganya, rumah yang cukup besar untuk menampung beberapa orang tetapi bukan itu maksudnya, rumah dengan konsep bangunannya yang terdiri dari beberapa ruang adalah untuk menampung keluasan hati orang tuanya Raul agar dapat menampung orang-orang terdekatnya dengan hati yang tulus, baik untuk tamu yang hanya sekedar bersilaturakhmi sekilas saja untuk kemudian pergi akan tetapi juga untuk orang-orang terdekat yang secara khusus memang membutuhkan tempat untuk tinggal dan berteduh selama beberapa hari sampai beberapa bulan bahkan tahun.

Tantenya dari pihak ayahnya Raul contohnya yang ditinggal pergi oleh suaminya karena telah mendahuluinya dipanggil ke alam baka, bahkan anaknya juga sempat terlihat beberapa bulan terakhir tinggal dirumah itu dimulai semenjak rumah tersebut belum dibangun.

Tantenya waktu itu sampai beberapa tahun tinggal dirumah Raul sebelum akhirnya pergi kerumah keluarga lain karena merasa risih setelah Kakaknya yaitu ayahnya Raul sendiri telah meninggal dunia untuk selamanya.
Menurut Raul sih… sempat ditahan-tahan agar mengurungkan niatnya untuk meninggalkan rumah tersebut atau setidak-tidaknya memikirkan kembali dalam-dalam bahwa dirinya beserta anggota keluarga lain pemilik rumah tersebut menghawatirkannya, akan sangat merasa kehilangan setelah beberapa tahun tinggal bersama hanya karena gara-gara ayahnya wafat ternyata beliau memutuskan untuk pergi. Tapi hal itupun sia-sia, tantenya telah bertekad meninggalkannya….

Kalau diingat-ingat memang Ayahnya Raul jarang memperlihatkan giginya, jangan dikira giginya ompong atau kuning bahkan kotor hitam-hitam. Saya pernah melihatnya dengan mata kepala sendiri karena secara tanpa disengaja ketika setelah beliau menguap lebar-lebar, kemudian tiba-tiba saja dia memperlihatkan barisan giginya yang bersih menghadap kepadaku, kaget sih karena tertangkap basah sedang memperhatikan beliau dengan pengamatan yang mendalam tiba-tiba saja beliau menampakan wajah menghadap kepadaku dengan membuka bibirnya keatas dan kebawah memperlihatkan deretan giginya yang rapih. Aku buru-buru buang muka ….
secara lazim dikatakan sebagai orang tua yang jarang sekali tersenyum sembarangan apalagi tertawa terbahak-bahak, memang tampak sinis, tapi koo beliau terlihat adem dalam format raut mukanya yang biasa-biasa saja tanpa dibuat-buat. Ayahnya memang seorang militer yang kukuh dan disiplin selama pengabdiannya karena tuntutan dari profesinya barangkali.

Dia cenderung seperlunya tetapi pribadinya tulus sekali, tanpa ada sedikitpun pikiran-pikiran yang mengarah ke perasaan negative terhadap orang lain, acuh tak acuh tetapi pada dasarnya memang hatinya sangat perhatian, namun memang rasa simpatinya jarang sekali diperlihatkan secara vulgar. Walaupun terkadang bisa saja beliau marah dan memanggil anak-anaknya dengan kata-kata tegas atau pernah beberapa waktu ketika Raul masih duduk di sekolah Dasar apalagi ketika duduk disemester pertama sekolah lanjutan pertama, beliau dengan teratur setiap habis sholat maghrib memanggilnya, terutama Raul sebagai seorang anak laki-laki yang paling besar dirumah itu, dalam rangka membahas mata pelajaran sekolah, khususnya selalu meminta tolong untuk dikeluarkan buku matematika yang beberapa waktu yang lalu pak guru disekolah meminta muridnya untuk membeli buku yang sudah disediakan disekolahnya, dan mulailah pelajaran privat matematika diselenggarakan, hamper setiap malam selepas sholat maghrib berlalu, Raul selalu ditemani ayahnya di meja makan bukan sedang makan melulu tetapi sedang membahas pelajaran matematika yang membuat dirinya terlihat agak linglung.

Tetapi kenapa matematika, kenapa tidak bahasa Indonesia atau ilmu pengetahuan alam misalnya, kenapa matematika, yak.. aku sendiri terkadang merasa heran dan males untuk membahasnya, barangkali yang ada dipikir bapaknya, pelajaran matematika mempunyai kesan tersendiri secara pribadi atau memang karena matematika merupakan salah satu bagian dari ilmu murni yang banyak sekali gunanya…ahhh entahlah… sampai beliau wafat pun, Raul tetap enggan untuk menanyakannya..yak…. kenapa matematika ya…
Pernah suatu waktu, ketika kami kebetulan mampir kerumahnya, perasaan sih… hamper tiap malam sehabis sholat maghrib aku tidak bisa mengajaknya bermain apalagi berantem dengannya, dia harus sudah segera duduk dimeja makan dengan buku matematika terbuka diatasnya. Aku pernah mencoba menemaninya karena dia dan ayahnya tidak merasa keberatan.

Ayahnya terlihat mengamati buku matematika tersebut, sebentar kemudian menerangkan secara ringkas dan jelas beberapa teory dan contoh soal sesuai yang terdapat dalam buku tersebut…dan ketika dirasakan cukup dimengerti oleh Raul  maka dengan serta merta beliau akan memberikan tugas menyelesaikan dan tugas menjawab soal-soal yang bertaburan banyak dibuku tersebut….mabok ..dah….,
Satu hal lagi yang unik dari gaya mengajar bapaknya Raul yang tidak ada duanya didunia barangkali, beliau selalu memberikan privat pelajaran matematika gratis tidak melulu dimulai dari halaman pertama saja sesuai dengan urutan halaman buku, tetapi malah dimulai dari halaman terakhir menuju ke halaman pertama…hi..hi..hi..binun tujuh keliling, dan aku malah melongo…kasian deh kamu Raul.

Model mengajar seperti begitu meniru konsep belajar apaan sih…cara mengajar demikian sebenarnya masih misteri sampai saat inipun. Ketika Raul sudah mandiri dan bekerja, suatu waktu aku pernah bertemu Raul dikantornya yang megah lagi sejuk, sempat ditanyakan pendapatnya, dia malah tersipu-sipu, kemudian tersenyum manis… misteri tersebut belum terkuak apalagi maksudnya, barangkali Ayahnya penganut philosopi bahwa “mulai lah dulu dengan yang susah-susah tokh ketika ketemu yang mudah halaaagh cingcay lah mudah sekali diselesaikan itu”…ujarnya.

Bayangkan saja…soal-soal tersebut masih saja aku dan Raul pelototin tanpa dapat jalan keluarnya sekalipun, sesekali memang aku coba membuat coretan-coretan angka-angka dikertas kopean maksudnya ngotret atau ngkope, akhirnya memang tidak jauh-jauh amat, Aku hanya tercenung ketika jawabannya sungguh amat susah dan jika sudah waktunya habis kira-kira satu jam dari pertama beliau mulai mengajar sampai jam menunjukan denting pas waktunya selesai, aku malah belum dapat menjawab satu soal pun, lama-lama pusing tujuh keliling.….yak..ketika ayahnya Raul sedang beranjak kedapur untuk mengambil minuman, sedang aku dan Raul berkutat dengan soal–soal susah apalagi jawabannya…..buru-buru aku kabuuuur, pikirku itu lebih nyaman dibanding duduk dimeja panas bagai pesakitan hee-eemh ,

Menurut Raul sih, setelah waktu yang telah ditentukan tersebut berakhir, beliau akan memeriksa hasil pekerjaan anaknya, mengamati jawaban, yang salah harus diselesaikan kembali sampai betul semua…jika mandek maka pelajaran tambahan akan dimulai lagi sampai tuntas. Soal-soal tersebut harus dapat diselesaikan dengan predikat benar semua….dan jika masih ada yang salah apalagi sampai membantahnya karena perasaan ngantuk sudah mulai menyerang, sebenarnya menurut Raul bukan kantuk sih, tetapi karena acara dilayar TVRI waktu itu sedang menayangkan film seri kegemarannya dan Raul tidak mau acara tersebut terlewatkan….Nyatanya Bapaknya akan ngamuk-ngamuk.

Perlu diketahui ya soudara-soudara bahwa Bapaknya Raul hanya memberikan les privat kepada anak laki-laki sulungnya hanya pada tahun-tahun pelajaran yang kritis saja, yaitu kelas 6 Sekolah dasar, kelas satu SMP, kelas tiga SMP dan kelas satu SMA itupun hanya sampai membahas soal-soal dibuku yang dibeli disekolah tersebut, jika sudah tuntas semuanya paling sekitar satu bulanan dari 6 bulan (satu semester) pelajaran tersebut digeluti, selebihnya seingat saya tidak terlalu disiplin-disiplin amat kalau tidak boleh dibilang bebas.

Hari ini, hari ketika aku dan Raul sudah dewasa apalagi ketika menghadapi beberapa pekerjaan dikantorku aku terkadang merenung sendiri….itulah yang aku namakan bentuk perhatian yang tidak tampak dilihat, tidak luwes, tidak bermanja-manja tetapi amat berguna bagi diri Raul dan berkesan bagi saya pribadi terutama sebagai bekal dalam menghadapi pelajaran-pelajaran lain dikemudian hari (matematika kayaknya dipakai disetiap disiplin ilmu)…

Masa-masa tersebut diatas adalah masa-masa yang menurut penilaian ayahnya Raul sebagai masa kritis dari siklus perkembangan anak yang harus diluruskan sampai anak tersebut sudah mampu mengontrol dirinya sendiri sebagai orang dewasa…lhoo.….itu menurut pendapatku ya… berdasarkan pengalaman kontak fisik dan pikir dengan Raul beserta ayahnya, beliau tidak memperlihatkan rasa sayangnya secara terang-terangan apalagi berlebihan kepada anak-anaknya, tanpa penjelasan yang njelimet akan maksud dan tujuannya …Nak harus begini …harus begitu… tetapi menerapkannya secara langsung dengan prakteknya….Buktinya Raul mampu menerangkan dipapan tulis sekolah ketika Guru pelajaran mathematika membahas soal-soal pelajaran tersebut dan Raul hamper tidak pernah mendapat nilai kurang dari angka delapan pada waktu itu, seringnya sih Angka sepurna, betul semua.

Setelah Raul Kelas dua SMA dst… Ayahnya didak secara langsung membimbingnya untuk menyelesaikan permasalahan pelajaran khususnya matematika dirumahnya, kecuali kalau ditanyakan, mungkin pelajaran matematikanya semakin susah sehingga lupa lagi membahas dan menjawab soal-soalnya.
Saat ini ketika aku teringat temanku, Raul dimanakah engkau sekarang berada…?

Kabarnya kau sudah menjadi pejabat di negeri yang entah dimana ? satu kata saja yang ingin ku ucapkan malam ini, “Selamat Malam Raul”
Pernahkah suatu malam sebelum kantuk menjelang menemukan diri dalam keadaan duduk kemudian pikiran melayang tak tentu arah, tidak ada seorangpun dan bunyi apapun mengganggu, bagaimana rasanya ? stresskah, sepi, hening atau bahkan ketakutan. Malam ini ketika aku sendirian hanya ditemani secangkir kopi dan seperangkat computer, sunyi pikiranku melayang mengingat sesuatu yang telah lepas dalam memoryku dan kini aku menyusun kembali keping demi keping mengingat-ingat seolah rasanya baru kemaren terjadi.
Rumah semakin sepi hanya tertinggal suara denting…tik…tik..tik…suara berasal dari jam dinding dirumahku yang sedari tadi seperti melototin melulu …kalau dia hidup barangkali sedang mentertawakan dengan penuh suka cita melihat tingkah polahku atau bahkan merasa pilu megap-megap prihatin karena terlihat seperti sedang stress berat ….…koo ..ini orang sedari tadi hanya duduk diam ..celingak-celinguk gelisah … terkadang mengerutkan dahinya dalam-dalam seperti merenung entah memikirkan apa…
Aku  sedang memanfaatkan waktu luang ketika kantuk belum membelai alam sadarku, lelap yang membawa ke situasi yang jelas secara langsung tidak bisa mengamati keberadaan yang terdapat didalam ruangan kamarku, karena istirahat total dari organ-organ tubuh beserta seluruh indera yang melekat disana telah terambil alih oleh lelap, sebagaimana lelap menjadi suatu moment yang dibutuhkan dalam hidup dan berkehidupan ini.
Kumanfaatkan saja sisa waktu luangku sebelum mata mulai berkejab-kejap kemudian terpejam dan tubuh ini sudah lemas tidak mampu lagi menahan dan memposisikan agar kepala tetap bisa berada tegak lurus diatas tubuh saat duduk dikursiku.
Pikiranku melayang kesana-kemari, kemasa lampau, Sehingga dengan tiba-tiba saja tanpa basa-basi teringatlah akan kisah temanku dulu ketika masih sekolah di sekolah lanjutan pertama….yak aku ingat namanya Raul, dia selalu nomor satu dikelasku terutama dibidang mata pelajaran matematika.
Matematika..ha..ha…mata pelajaran yang paling aku takutkan bukan saja karena gurunya yang tanpa senyum seolah robot waktu itu, tetapi karena pelajaran tersebut memang memusingkanku, bagaimana tidak : kali, bagi tambah kurang sesekali akar tidak ketinggalan kuadrat…diotak atik bersama angka-angka njelimet…boro-boro dapat menebak jawabannya, kotretan atau kopean aku pun malah bersih dari noda sedikitpun, kadang-kadang isinya sih ada, tetapi hanya corat-coret berbentuk gambar yang kalau di lihat dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya kok hamper mirip dengan wajah sang guru ya…( hadoooh… maaf bapak-bapak dan ibu-ibu guru matematika ini hanya tulisan duduls belaka, jangan sampai diambil hati)
Pikiranku mulai melayang seketika itu, Raul yang hidupnya serius kadang-kadang sih suka bercanda juga bersama anggota anggota keluarga lainnya terutama dengan adik-adiknya.
Maksud saya bukan hanya hidup akrab antara anak-anak dan orang tuanya saja, beberapa orang memang sering muncul dan pergi dirumah itu, rumah pemberian pemerintah yang dapat digunakan seumur hidup oleh keluarga Raul. Sebuah rumah yang cukup besar untuk ukuran keluarga kecil karena ternyata oleh ayahnya diperluas bangunannya disertai penambahan-penambahan ruangan tertentu seperti kamar–kamar tidur, ruang makan dan ruang keluarga. Secara umum sih itu selayaknya memang menyalahi hukum matematika apalagi hukum ekonomi…orang rumah milik pemerintah kok dibangun…? ngabisin duit saja…tokh pada akhirnya akan diambil alih oleh pemerintah kembali… ahhhh… menurutku itu ide dudulls….ddduduls banget.
Tetapi memang tidak ada yang dapat menilai harga kenyamanan, buktinya banyak orang-orang berduit pas-pasan, pas untuk beli apa saja maksudku…eh dia pilih beli kendaraan mewah terbaru yang harganya mendekati satu milyard rupiah..lhoo kenapa nggak beli tanah saja…ato beli dollars, poundsterling, ato beli emas batangan…atao beli sebongkah berlian…kek..yang dapat dijual kembali dengan sedikit pengurangan nilai harga jual kembali, padahal biasanya harganya semakin lama malah semakin meningkat. Sebuah mobil yang nyaman sekalipun jikalau sudah lama dipakai malah semakin menurun harganya dibanding kalo beli mobil baru, apalagi mobil tersebut sudah lama dipakai terus rusak… terus tabrakan lagi, whoalaaah… tentunya nilai harganya kudu meluncur jatuh bebas seperti air terjun.
Yak… kenapa dikhususkan untuk membangun rumah itu, belakangan aku mulai mengerti karena keluarga tersebut secara umum memang sering sekali didatengin tamu anggota keluarga dari pihak ibunya Raul atau dari pihak bapaknya. Sering sekali terlihat tamu yang datang mampir menginap sampai beberapa hari kemudian pergi setelah maksud tujuannnya terlaksana.
Demikianlah rumah Raul, besar dan nyaman untuk ukuran sebuah rumah didalam komplek jika dibandingkan dengan rumah-rumah tetangganya, rumah yang cukup besar untuk menampung beberapa orang tetapi bukan itu maksudnya, rumah dengan konsep bangunannya yang terdiri dari beberapa ruang adalah untuk menampung keluasan hati orang tuanya Raul agar dapat menampung orang-orang terdekatnya dengan hati yang tulus, baik untuk tamu yang hanya sekedar bersilaturakhmi sekilas saja untuk kemudian pergi akan tetapi juga untuk orang-orang terdekat yang secara khusus memang membutuhkan tempat untuk tinggal dan berteduh selama beberapa hari sampai beberapa bulan bahkan tahun.
Tantenya dari pihak ayahnya Raul contohnya yang ditinggal pergi oleh suaminya karena telah mendahuluinya dipanggil ke alam baka, bahkan anaknya juga sempat terlihat beberapa bulan terakhir tinggal dirumah itu dimulai semenjak rumah tersebut belum dibangun.
Tantenya waktu itu sampai beberapa tahun tinggal dirumah Raul sebelum akhirnya pergi kerumah keluarga lain karena merasa risih setelah Kakaknya yaitu ayahnya Raul sendiri telah meninggal dunia untuk selamanya.
Menurut Raul sih… sempat ditahan-tahan agar mengurungkan niatnya untuk meninggalkan rumah tersebut atau setidak-tidaknya memikirkan kembali dalam-dalam bahwa dirinya beserta anggota keluarga lain pemilik rumah tersebut menghawatirkannya, akan sangat merasa kehilangan setelah beberapa tahun tinggal bersama hanya karena gara-gara ayahnya wafat ternyata beliau memutuskan untuk pergi. Tapi hal itupun sia-sia, tantenya telah bertekad meninggalkannya….
Kalau diingat-ingat memang Ayahnya Raul jarang memperlihatkan giginya, jangan dikira giginya ompong atau kuning bahkan kotor hitam-hitam. Saya pernah melihatnya dengan mata kepala sendiri karena secara tanpa disengaja ketika setelah beliau menguap lebar-lebar, kemudian tiba-tiba saja dia memperlihatkan barisan giginya yang bersih menghadap kepadaku, kaget sih karena tertangkap basah sedang memperhatikan beliau dengan pengamatan yang mendalam tiba-tiba saja beliau menampakan wajah menghadap kepadaku dengan membuka bibirnya keatas dan kebawah memperlihatkan deretan giginya yang rapih. Aku buru-buru buang muka ….
secara lazim dikatakan sebagai orang tua yang jarang sekali tersenyum sembarangan apalagi tertawa terbahak-bahak, memang tampak sinis, tapi koo beliau terlihat adem dalam format raut mukanya yang biasa-biasa saja tanpa dibuat-buat. Ayahnya memang seorang militer yang kukuh dan disiplin selama pengabdiannya karena tuntutan dari profesinya barangkali.
Dia cenderung seperlunya tetapi pribadinya tulus sekali, tanpa ada sedikitpun pikiran-pikiran yang mengarah ke perasaan negative terhadap orang lain, acuh tak acuh tetapi pada dasarnya memang hatinya sangat perhatian, namun memang rasa simpatinya jarang sekali diperlihatkan secara vulgar. Walaupun terkadang bisa saja beliau marah dan memanggil anak-anaknya dengan kata-kata tegas atau pernah beberapa waktu ketika Raul masih duduk di sekolah Dasar apalagi ketika duduk disemester pertama sekolah lanjutan pertama, beliau dengan teratur setiap habis sholat maghrib memanggilnya, terutama Raul sebagai seorang anak laki-laki yang paling besar dirumah itu, dalam rangka membahas mata pelajaran sekolah, khususnya selalu meminta tolong untuk dikeluarkan buku matematika yang beberapa waktu yang lalu pak guru disekolah meminta muridnya untuk membeli buku yang sudah disediakan disekolahnya, dan mulailah pelajaran privat matematika diselenggarakan, hamper setiap malam selepas sholat maghrib berlalu, Raul selalu ditemani ayahnya di meja makan bukan sedang makan melulu tetapi sedang membahas pelajaran matematika yang membuat dirinya terlihat agak linglung.
tetapi kenapa matematika, kenapa tidak bahasa Indonesia atau ilmu pengetahuan alam misalnya, kenapa matematika, yak.. aku sendiri terkadang merasa heran dan males untuk membahasnya, barangkali yang ada dipikir bapaknya, pelajaran matematika mempunyai kesan tersendiri secara pribadi atau memang karena matematika merupakan salah satu bagian dari ilmu murni yang banyak sekali gunanya…ahhh entahlah… sampai beliau wafat pun, Raul tetap enggan untuk menanyakannya..yak…. kenapa matematika ya…
Pernah suatu waktu, ketika kami kebetulan mampir kerumahnya, perasaan sih… hamper tiap malam sehabis sholat maghrib aku tidak bisa mengajaknya bermain apalagi berantem dengannya, dia harus sudah segera duduk dimeja makan dengan buku matematika terbuka diatasnya. Aku pernah mencoba menemaninya karena dia dan ayahnya tidak merasa keberatan.
Ayahnya terlihat mengamati buku matematika tersebut, sebentar kemudian menerangkan secara ringkas dan jelas beberapa teory dan contoh soal sesuai yang terdapat dalam buku tersebut…dan ketika dirasakan cukup dimengerti oleh Raul  maka dengan serta merta beliau akan memberikan tugas menyelesaikan dan tugas menjawab soal-soal yang bertaburan banyak dibuku tersebut….mabok ..dah….,
Satu hal lagi yang unik dari gaya mengajar bapaknya Raul yang tidak ada duanya didunia barangkali, beliau selalu memberikan privat pelajaran matematika gratis tidak melulu dimulai dari halaman pertama saja sesuai dengan urutan halaman buku, tetapi malah dimulai dari halaman terakhir menuju ke halaman pertama…hi..hi..hi..binun tujuh keliling, dan aku malah melongo…kasian deh kamu Raul.
Model mengajar seperti begitu meniru konsep belajar apaan sih…cara mengajar demikian sebenarnya masih misteri sampai saat inipun. Ketika Raul sudah mandiri dan bekerja, suatu waktu aku pernah bertemu Raul dikantornya yang megah lagi sejuk, sempat ditanyakan pendapatnya, dia malah tersipu-sipu, kemudian tersenyum manis… misteri tersebut belum terkuak apalagi maksudnya, barangkali Ayahnya penganut philosopi bahwa “mulai lah dulu dengan yang susah-susah tokh ketika ketemu yang mudah halaaagh cingcay lah mudah sekali diselesaikan itu”…ujarnya.
Bayangkan saja…soal-soal tersebut masih saja aku dan Raul pelototin tanpa dapat jalan keluarnya sekalipun, sesekali memang aku coba membuat coretan-coretan angka-angka dikertas kopean maksudnya ngotret atau ngkope, akhirnya memang tidak jauh-jauh amat, Aku hanya tercenung ketika jawabannya sungguh amat susah dan jika sudah waktunya habis kira-kira satu jam dari pertama beliau mulai mengajar sampai jam menunjukan denting pas waktunya selesai, aku malah belum dapat menjawab satu soal pun, lama-lama pusing tujuh keliling.….yak..ketika ayahnya Raul sedang beranjak kedapur untuk mengambil minuman, sedang aku dan Raul berkutat dengan soal–soal susah apalagi jawabannya…..buru-buru aku kabuuuur, pikirku itu lebih nyaman dibanding duduk dimeja panas bagai pesakitan hee-eemh ,
Menurut Raul sih, setelah waktu yang telah ditentukan tersebut berakhir, beliau akan memeriksa hasil pekerjaan anaknya, mengamati jawaban, yang salah harus diselesaikan kembali sampai betul semua…jika mandek maka pelajaran tambahan akan dimulai lagi sampai tuntas. Soal-soal tersebut harus dapat diselesaikan dengan predikat benar semua….dan jika masih ada yang salah apalagi sampai membantahnya karena perasaan ngantuk sudah mulai menyerang, sebenarnya menurut Raul bukan kantuk sih, tetapi karena acara dilayar TVRI waktu itu sedang menayangkan film seri kegemarannya dan Raul tidak mau acara tersebut terlewatkan….Nyatanya Bapaknya akan ngamuk-ngamuk.
Perlu diketahui ya soudara-soudara bahwa Bapaknya Raul hanya memberikan les privat kepada anak laki-laki sulungnya hanya pada tahun-tahun pelajaran yang kritis saja, yaitu kelas 6 Sekolah dasar, kelas satu SMP, kelas tiga SMP dan kelas satu SMA itupun hanya sampai membahas soal-soal dibuku yang dibeli disekolah tersebut, jika sudah tuntas semuanya paling sekitar satu bulanan dari 6 bulan (satu semester) pelajaran tersebut digeluti, selebihnya seingat saya tidak terlalu disiplin-disiplin amat kalau tidak boleh dibilang bebas.
Hari ini, hari ketika aku dan Raul sudah dewasa apalagi ketika menghadapi beberapa pekerjaan dikantorku aku terkadang merenung sendiri….itulah yang aku namakan bentuk perhatian yang tidak tampak dilihat, tidak luwes, tidak bermanja-manja tetapi amat berguna bagi diri Raul dan berkesan bagi saya pribadi terutama sebagai bekal dalam menghadapi pelajaran-pelajaran lain dikemudian hari (matematika kayaknya dipakai disetiap disiplin ilmu)…
Masa-masa tersebut diatas adalah masa-masa yang menurut penilaian ayahnya Raul sebagai masa kritis dari siklus perkembangan anak yang harus diluruskan sampai anak tersebut sudah mampu mengontrol dirinya sendiri sebagai orang dewasa…lhoo.….itu menurut pendapatku ya… berdasarkan pengalaman kontak fisik dan pikir dengan Raul beserta ayahnya, beliau tidak memperlihatkan rasa sayangnya secara terang-terangan apalagi berlebihan kepada anak-anaknya, tanpa penjelasan yang njelimet akan maksud dan tujuannya …Nak harus begini …harus begitu… tetapi menerapkannya secara langsung dengan prakteknya….Buktinya Raul mampu menerangkan dipapan tulis sekolah ketika Guru pelajaran mathematika membahas soal-soal pelajaran tersebut dan Raul hamper tidak pernah mendapat nilai kurang dari angka delapan pada waktu itu, seringnya sih Angka sepurna, betul semua.
Setelah Raul Kelas dua SMA dst… Ayahnya didak secara langsung membimbingnya untuk menyelesaikan permasalahan pelajaran khususnya matematika dirumahnya, kecuali kalau ditanyakan, mungkin pelajaran matematikanya semakin susah sehingga lupa lagi membahas dan menjawab soal-soalnya.
Saat ini ketika aku teringat temanku, Raul dimanakah engkau sekarang berada…?
Kabarnya kau sudah menjadi pejabat di negeri yang entah dimana ? satu kata saja yang ingin ku ucapkan malam ini, “Selamat Malam Raul”

Sepotong Pizza







Padatnya lalu lintas dan riuhnya malam ini menjadi rezeki tersendiri buatku dan teman-teman. Paling tidak, kami punya peluang yang lebih besar untuk mendapatkan penghasilan. Kata Kak Satrio padaku, makin sering suatu peristiwa berlangsung maka makin besar peluangnya keberhasilannya. Itu yang pernah diajarkannya padaku saat aku bertanya padanya tentang apa itu probabilitas. Maklum, aku hanya tamatan SMP dan tidak punya biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Mendengar kata probabilitas pun tidak sengaja kuketahui saat aku membaca sobekan majalah pembungkus kacang yang salah satu artikelnya bertuliskan “Meningkatkan Probabilitas Sukses di Pasar Uang”.

Ah, aku tidak mengerti pasar uang itu apa. Apakah di pasar itu yang dijual hanya uang? Letaknya dimana? Dan apakah kondisinya seperti pasar tradisional tempatku biasanya menemani emak berdagang sayuran setiap pagi hingga sore? Kotor dan bau pasar.

Hanya sedikit yang kutahu. Kata Kak Satrio, salah satu mahasiswa yang pernah mengadakan bakti sosial di wilayah pemukiman kumuh kami itu, pasar uang berbeda dengan pasar yang aku lihat sehari-hari. Tapi aku malah bingung sendiri dan cuma bisa nyengir-nyengir tak mengerti mendengarkan penjelasannya.
Woii!!!.. Jangan melamun!… Mentang-mentang jualannya dah habis.” , sebuah suara mengagetkanku. Rupanya Acung. Kulirik barang dagangannya, ternyata belum habis.

“Yeee..siapa yang ngelamun? Aku lagi mikir-mikir aja tentang materi palajaran yang diajarin Kak Satrio tadi siang” , jawabku datar.

“Hahahaa…Jo.. Paijo.. Kok masih mikirin soal itu tho? Kita ini miskin. Nggak usah mikirin tugas yang harusnya dipikirkan pejabat negara”, Acung terbahak-bahak menepuk pundakku.

“Emangnya kalo miskin nggak boleh ya kita pinter? Sampai kapan Cung mo miskin terus? Mo susah terus? Kamu nggak berharap opo kalo suatu hari Tuhan mengubah nasib kita? Kita bisa naik mobil pribadi dan makan pizza kapan saja seperti orang-orang kaya itu”, aku menanggapi menggebu-gebu seraya menunjuk beberapa anak muda yang sedang duduk-duduk di taman sambil menikmati pizza mereka. Aku berusaha mempengaruhi Acung bahwa kita boleh miskin sekarang tapi kita harus berusaha agar di masa depan bisa punya kehidupan yang lebih baik.

Acung diam saja. Hening seakan menjadi jarak antara aku dan kawanku ini. Aku melihatnya tertunduk sejenak. Lalu mengangkat kembali wajahnya, menoleh ke arahku dan tersenyum.

Tiba-tiba saja sebuah mobil sedan hijau gelap berhenti di pinggir jalan persis di depan dimana aku dan acung bersantai, aku mulanya tak mengacuhkan, keasyikkan  berbincang menyita seluruh perhatianku terutama tentang ucapan-ucapan Kak Satrio ketika memberi pelajaran kemarin,  aku terbuai melamunkan apa arti  kehidupan yang lebih baik itu,

“Kehidupan yang lebih baik itu tidak saja berati uang”,  ujarku tanpa menatap Acung yang sedang bengong memperhatikan,  “karena terkadang dengan adanya uang saja ternyata tidak cukup dapat menjamin hidup akan lebih baik”.

“De..de..bisa minta tolong, kalau jalan menuju ke pasar minggu ke arah mana ya?”, seorang bapak yang baru saja turun dari mobil yang berhenti  tepat di depan tadi, meminta tolong  untuk menunjukan suatu tempat yang tidak asing lagi bagiku maupun bagi Acung.

Aku beranjak dari tempatku duduk,
“Ke arah sana pak, bapak lurus saja mengingikuti jalan ini di lampu merah yang kedua belok kiri kemudian ambil arah kanan nah bapak nanti ketemu bunderan ikuti saja jalan tersebut…”
“Sebentar, sebentar …terlalu cepat menerangkannya De,  rumit mengingatnya”, ujar bapak tersebut pelan.

“Emhm  begini saja apakah adik bisa mengantar bapak untuk menemukan tempat tersebut?”
Aku dan acung saling pandang, barangkali inilah yang disebut peluang seperti yang disampaikan oleh Kak Satrio.

“Boleh, Pak”, ujarku. Semangat, acung  tampak seperti mengamini hampir bersamaan.

Aku dan acung duduk manis  dikursi belakang mobil tersebut sambil tak henti-hentinya memberi petunjuk di tempat-tempat mana harus lurus atau belok bahkan berputar untuk menuju ke tempat yang dituju.
“Jo, lihat  ada tv nya”,  ujar acung pelan.  Aku manggut-manggut tanda takjub. Inilah barangkali yang disebut hidup lebih baik, kita  dapat mengunjungi tempat-tempat  lain yang jauh hanya dengan duduk manis di dalam mobil yang sejuk dan harum, tidak ada lagi peluh dan pegal, tidak terasakan lagi panas menyengat  serta debu-debu menyesakkan napas, di sini kenyamanan dapat dirasakan dengan santai.
Di tempat yang dituju aku dan acung   mendapatkan beberapa lembar uang kertas, cukup untuk beberapa hari makan di warungnya Bi Iyem.

“Ada dua  bahkan tiga hal yang dinikmati hari ini ujarku,  kita dapat uang yang keduanya dapat merasakan sejuk dan harumnya mobil tersebut sedangkan yang ketiga  kita tidak usah lagi berkejaran naik metro  mini apalagi malam sudah hampir larut begini, hanya tinggal beberapa langkah berjalan ke arah belakang pasar  sudah sampai lah dimana kita dapat berteduh dan tidur dalam keadaan agak  lebih baik dibandingkan di pinggir jalan”, acung malah menaggapinya dengan santai tak bersuara.

Malam ini aku dan acung  nampaknya dapat tidur nyenyak di dalam rumah singgah dimana teman-teman lain juga sedang pulas merenda malam  bergeletakan tidak teratur di lantai beralaskan kasur busa.
Sebelum lelap menyergap, acung sempat menanyakan tentang sebuah kertas  tebal, berbentuk segi empat agak lebih besar dari permukaan korek api,  disitu tertera tulisan  Ir.Bayu Rangga Krisnamuti, alamat  Jl. Paseban Dalam no 45678 dan masih terngiang di telingaku ucapan dari bapak yang memberikan kartu nama tersebut, “besok lusa aku dan Acung akan didaftarkan di Sekolah Menengah Atas terdekat dengan seluruh biaya pendidikan dan pakaian seragam akan ditanggung sepenuhnya oleh bapak tersebut”.

Malam ini mimpi tampak indah terasa,  pemandangan tampak lapang dengan jalan agak lebar  sehingga lebih leluasa untuk melangkah, langkah-langkah pasti menuju kehidupan lebih baik  yang telah membentang di depan matanya, tinggal semangat yang dijaga agar tak mudah padam.



Selamat Pagi Rajaku

Sedang apa pagi ini Rajaku sayang, yang jelas mudah-mudahan kabar baik menyertaimu
Masihkah pagi ini kau ribet dengan apa yang harus dimakan sebagai teman menghadapi pagimu
Atau seperti biasanya, kau sedang mencari-cari sebelah sendalmu, karena pulangmu tadi malam teramat lelah dan letih sehingga kau melemparnya tidak menentu

À

Mungkin juga kau terbangun agak siang pagi ini, terburu-buru berdiri lalu berjalan menyongsong pagi mu dan lupa untuk minum barang setegukpun, dipikirmu mungkin embun pagi sudah mencukupi
Atau kau malah saat ini seperti biasa sedang berlari-lari menyongsong mataharimu menggenapkan kilometer yang kau ciptakan sendiri
Kuharap pagi ini kau sudah mendapatkan alas kaki untuk dikilapkan oleh perlengkapan yang biasa digantungkan dipundakmu yang kecil  tak berisi

À
À

Entah kenapa Nak, ibumu pagi ini mencemaskanmu, pulanglah rajaku bersama semangat dan harapan dihatimu yang bergelora
Bapakmu sudah beberapa hari terakhir ini hanya duduk diam, Dia saat ini tidak sedang mengeluhkan tubuhnya
Dia tidak sedang merasakan sakit karena kangker melahap jasad ringkihnya
Bapakmu seperti biasa sedang diam termenung dibalai-balai rumah kita merindukan Rajaku duduk bersila dihadapannya

Á
À

Anakku… Ladang kita, tanah warisan leluhur kita, walau sepetak kini tidak ada lagi yang mampu membelainya kembali, menghasilkan butir-butir penghias panci
Mengolahnya agar dapat menuntaskan setiap geliat lapar dan sisanya disimpan untuk menapaki hari-hari
Pulanglah Nak bersama semangat dan harapan dihati
                                                                                 Å
À

Ibu selalu menunggu dan mendo’akan mu
Harapan dan Do’a ini teriring kabar dari tetangga bapakmu bahwa engkau ada, sedang mengais rejeki dikotamu

===============================================================================