Selasa, 08 Mei 2012

Tarian Kematian Sang Elang




Di Negeri Hindustan nan indah dalam keelokkan alam nya bak mayapada telah lahir seekorburung ajaib penyendiri, ia dengan asyiknya menikmati kehidupan sepi, akrab dengan kesunyian hingga tidak memerlukan teman termasuk pendamping setia, ia terlahir untuk hidup menikmati alam penuh rintangan dan tantangan. Suatu waktu cakarnya mencengkeram kokoh batu gamping di puncak ketinggian gunung cadas terjal yang tak pernah terjangkau oleh makhluk lainnya, saat lainnya terkadang dengan angkuhnya berdiri berayun di pucuk ranting pohon menjulang dihembus sepoy angin utara.
paruhnya menggambarkan sebuah desain perpaduan antara kekuatan dan keindahan, sebentuk alat musik terpahat diparuhnya yang kokoh dihiasi seratus lubang, tiap lubang melengkingkan dada–nada musik berbeda hingga ketika melayang diudara akan tercipta paduan komposisi suara bak orkestra melantun jernih mengalunkan nada-nada indah, terkadang lengkingan paduan irama orkestra menyayat datar kemudian tinggi menjeritkan nyanyian kesedihan hingga burung-burung serta binatang lain bahkan binatang buas sekalipun terdiam, suara jeritannya menggetarkan hewan lain penguni alam hingga melemahkan hati-hati kebinatangan mereka.
Dilangit yang cerah sang elang membentangkan sayapnya menghirup udara kebebasan diantara bongkahan awan dan birunya langit, melayang tenang bagai biduk terhanyut arus terhembus angin, matanya awas dalam jarak ratusan hingga ribuan meter, radar intuisinya bekerja memantau kerendahan memeriksa sedikit saja gerakan tubuhnya akan mengeliat bermanuver menukik menerjang hingga terpuaskan laparnya di hari itu.
Elang digdaya tertulis dalam lembaran takdirnya untuk dapat hidup seribu tahun hingga terpuaskan jiwa pengembaraannya menikmati waktu menjelajah alam dari ketinggian daratan, gurun, gunung-gunung tinggi, rimba raya hingga samudra yang membentang luas terlihat awas. Dalam alam sadarnya selain dapat melihat bentangan alam luas, sang elang dapat melihat dengan jelas oleh mata batinnya sendiri kapan waktu ajalnya akan tibasementara makhluk lain tidak dapat memahami kapan kematian akan merenggutnya.
Ketika lonceng mata batinnya berdentang mendendangkan irama takdir akhir khayatnya, nada sumbang membisikan tentang waktu, nalurinya akan menggerakan sayapnya yang semakin melemah menjelajah alam rimba raya mencari ranting-ranting dari seratus jenis pohon mengumpulkannya hingga membentuk sebuah gundukan, dalam kebisuan ia memposisikan dirinya di tengah-tengah gundukan yang telah tercipta sambil melengkingkan irama musik kesedihan, jeritan nada kematian menguar ke seantero rimba, tubuhnya mengelepar layaknya daun-daun yang sedang dipermainkan hujan angin kencang.
Jeritan irama musik kesedihanya dapat terdengar hingga ke berbagai makhluk penghuni rimba raya, hewan buas sampai melata ikut bergabung, berjalan tertunduk tanpa mengeluarkan bunyi terperangkap dalam perasaan kehilangan yang sama, lengkingan irama kesedihan semakin jelas terdengar hingga tiba di sebuah gundukan ranting seratus jenis pohon untuk dapat menyaksikan tarian kematian sebelum nafas terakhir sang elang terenggut dengan indah.
Menjelang ajal tiba, menunggu detik-detik nyawa keluar dari tubuhnya, tiba-tiba sang elang mengembangkan ekor serta sayapnya lebar-lebar hingga memercikan api menjilat ranting-ranting kering, api menjalar dengan cepat membakar seluruh gundukan ranting menimbulkan cahaya terang benderang menyinari sekitarnya hingga warna merah membara semakin lama menjadi sekumpulan abu.
Dari abu itulah elang penyendiri baru telah lahir kembali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda