Minggu, 26 Februari 2012

Rintih Tangis Rahwana



Tetesan air mata, tidak diisyaratkan sebagai ekspresi kesedihan saja, tetapi bisa menyiratkan rasa penyesalan, bahagia, takjub bahkan masyuk terhadap sesuatu yang menyentuh hati. Tangisan seorang bayi merupakan luapan rasa yang demikian misterius, tangisan itu pulalah yang ia gunakan untuk mengkomunikasikan kebutuhan dasarnya, haus, lapar, sakit, dan sebagainya.


Jangan menilai suatu buku dari sampulnya demikian pepatah yang sering kita dengar, maknanya menjadi banyak tafsir, bahwa ketika melihat seseorang banyak yang menasihatkan jangan melihat dari tampang dan penampilan luarnya saja, tetapi lihatlah hatinya. Bukankah banyak yang memakai busana mengikuti trend mode terkini, tidak ketinggalan dengan sarana yang selalu menyesuaikan dengan trend mutakhir, tetapi lihatlah rasa kemanusiaanya nyaris tidak mempunyai peduli, banyak yang diberikan amanah untuk mengemban mandat dari masyarakat umum tetapi setelah memangku jabatan, dorongan rakyat menjadi hilang maknanya.

Demikian juga dengan Tahta, Harta dan Wanita, kadang tiga serangkai ini menjadi inti dari keserakahan manusia.

Perjuangan Rahwana yang berusaha untuk mempersunting seorang perempuan cantik isteri resmi dari Rama, raja sakti mandra guna menjadi demikian menarik untuk disimak.

Dalam kebudayaan Sunda, dengan segala daya juangnya, Rahwana berhasil mendapatkan seorang Puteri teramat cantik, Dewi Sinta walaupun masih berstatus isteri dari Rama. Rama berusaha untuk merebut kembali isterinya dari sang durjana.

Epik perjuangan Rahwana untuk mempertahankan seorang perempuan pujaan hati demikian heroisme, mengerahkan segenap kemampuannya menghadapi seorang ksatria sakti mandra guna penggenggam pusaka panah sakti, Dia tiada gentar, tidak juga mundur menghadapi sang suami dewi sinta, dia menghadapinya sendirian dengan gagah berani walau apapun yang terjadi.

Rama membentangkan panah pusaka sakti melesat bagai kilat keangkasa, dalam sekelebatan menembus tubuh Rahmana, Rahwana ambruk untuk kemudian raksasa bermuka sepuluh tersebut dapat bangun lagi, setiap panah sakti menembus dadanya dia selalu dapat bangkit kembali begitu menyentuh bumi. Rama kewalahan untuk membunuhnya.

Namun pada pertempuran terakhir berdasarkan nasihat dari Maha Guru, bentangan panah pamungkas itu melesat, panah pusaka sakti yang dapat mengikuti kemana pun Rahwana pergi, untuk kesekian kalinya kini menembus jantung sang angkara, akhirnya memang benar-benar ambruk. Dalam keadaan sekarat ia berusaha menemui isteri yang sejak lama mendampinginya sebagai isteri sah, Manondari di Istananya Alengka tersentuh hatinya ketika melihat suaminya luka parah, menjelang wafatnya, sang raksasa gagah perkasa tersebut menangis tersedu.

Banondari, istri Rahwana terharu melihat suaminya meneteskan air mata. Raja digdaya yang mahakuat, penakluk tiga dunia, dunia bawah tanah, dunia manusia, dan dunia para dewa, itu ternyata dapat menangis.


Dalam komposisi kecapi suling tembang sunda Cianjuran “tangisan rahwana” demikian menyayat menembus kalbu, memberi petuah terakhir kepada isteri yang masih di cintainya, menuangkan segenap rasa pilu, kini penyesalannya telah menjadi bubur, lebur meninggalkan rasa cinta sebenarnya dengan sepenuh hati .



Entah kapan tembang “ceurik Rahwana” ini tercipta, sebagai sebuah karya anonym tempo dulu tembang cianjuran “ceurik rahwana” yang dimainkan dalam petikan kecapi dan alunan suling berlaras pelog, denting dan alunannya menjadi mistis, suara bening pesindennya seperti datang dari dunia dan masa yang berbeda.

Kegilaan Rindunya rahwana dalam suatu karya tembang versi adaptasi

Versi adaptasi lain dari tembang Sunda "Banondari" dalam "Bangbung Hideung"

Syair versi asli dalam tembang cianjuran Ceurik Rahwana


Ceurik Rahwana

Banondari, anu lucu,

bojo kakang anu geulis, geuning, anu geulis

Kadieu sakeudeung heula, Akang rek mere pepeling,

aduh geulis, mere pepeling

Geura sambat indung bapa samemeh akang pinasti

Duh, engkang rungruman kalbu,

pupujan lahir jeung batin, Gusti, lahir jeung batin

Aya naon pangersa tara-tara ti sasari, aduh Gusti, teu

tisasari

Nyauran ragrag cisoca

Abdi mah saredih teuing

Aduh, Enung anu ayu,

nu geulis pupujan Ati, geuning pupujan ati

Akang tangtu ngababatang,

samemeh akang pinasti, aduh geulis, akang pinasti

Arek menta dihampura, lahir tumekaning batin

Pisanggem abdi kapungkur,

lilisan ka lenggah Gusti, geuning, ka lenggah gusti

Ka salira engkang pisan,

ngaturanan temah wadi, aduh Gusti, da temah wadi

Mung engkang kalalanjoan,

ngajur nafsu teu dihiding

Kaduhung, akang kaduhung

kataji nu lain-lain, geulis, nu lain-lain

Kaiwat goda rancana

kagembang ku Sintawati, aduh geulis, ku Sintawati

Geuning kieu balukarna

malindes malik ka diri

Kulu-kulu Bem (Panambih)

Bulan dina mega malang

Langit taya aling-aling

Mega kayas semu biru

Ditabur bentang baranang

Endahna hiasan alam

Tingkariceup tingkaretip

Tepi ka langkung kagagas

Rusras ka jaman ka tukang,

Mung Allah anu uninga

Kaayaan hate kuring

Hese mapalerkeunnana

Heunteu weleh mikaeling

Sanajan dipikir panjang

Nya dalah dikumahakeun

Nu puguh batin nalangsa

Kasawang dina lamunan

Teu beunang mun dipikiran

Nyuat ati sanubari

Geus puguh ari ti peuting

Sumear angin di pasir

Nebak kana dangdaunan

Teu bisa ngedalkeun lisan

Hate ceurik jero ati

Ngumbara asa sorangan






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda