Kamis, 17 Januari 2013

Jendela Dengan Cerita Senja






Lelaki itu terlihat duduk di tepian senja memandang kejauhan malam, ke kemegahan gunung berhiaskan awan yang menyelimuti puncaknya, gunung masih tetap terlihat misterius angkuh berdiri disana, sangat nikmat untuk ditatap berlama-lama. Malam ini kemegahannya sedang bersanding jelita dengan daya pikat rembulan, namun karena seulas senyuman menghias seraut wajah yang terbingkai rapi di sudut meja, dia menjadi ragu, sekilas rona mampu mengalahkan anggunnya pelataran penuh bunga edelweis disekitarnya serta hembusan angin dingin yang menggigilkan sampai menggemeretukan gigi-gigi, dan senja memang terlihat sudah semakin luruh melengserkan sinar mentari yang tadi sempat meraja bersinar jingga di ufuk barat. Malam kini berangsur menjelang larut menggenapi kesunyian, tinggal suara-suara serangga serta nyanyian sang kodok di kejauhan.

Suasana cukup temaram di kamar itu, beberapa sudut-sudut tembokkan berhiaskan jendela masih terlihat samar, namun sunyi tak mampu membawa ke hal lain yang lebih semarak, kecuali hanya kembali kepada malam yang semakin buram, rembulan sedang sembunyi dibalik kerajaan awan, kini membentuk gambaran hitam bergelayut diantara berkas-berkas sinar penerangan dua puluh lima watt yang menyelinap diam-diam melalui kisi-kisi ventilasi kamar serta ber-bentuk-bentuk bayangan dari pohon yang sedang dipermainkan angin seakan-akan lakon wayang purwa sedang dipujakan kepada sang kala.

Lelaki senja itu pasti ingin menceritakan kembali tentang tapak yang mampu ditorehkan dimasa darahnya sedang mendidih dan egonya sedang meliar, tetapi karena aku sedang ada dikamarku memandang ke jendelanya, tidak tau lagi apa yang sedang dipikirkannya tadi. Lama dia termangu disana kemudian daun jendelanya merapat, menutup samar pandanganku.

Semangkuk sup panas terjatuh dari genggaman ketika pagi sudah menapak dan jendela itu kini bersinar terang, di dalam kamarnya mendadak ramai dengan orang-orang, tubuh senja itu kini sedingin beku yang kaku, membujur di dipannya yang sunyi dan tanah merah berlubang telah menanti di ujung sana, disebelah nisan isteri tercintanya.
Jendela itu sudah berhenti menceritakan tentang alur tapak berbingkai yang pernah dilalui, Dia kini sudah berpulang keharibaanNya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda