Rabu, 03 April 2013

Amplop Hijau Pupus di Antara Dua Gelas Kopi Kita





Malam telah beranjak larut, dikeheningan suasananya masih saja cengkerama kita terasa seperti baru saja terjadi, walau sunyi mendekap disegala sudut-sudut ruang yang tadi sempat diriangkan oleh suaramu, candamu serta tatap matamu, nyatanya serasa masih saja menari-nari lembut dihadapanku. Tetapi itu tadi yak, argumenmu meluncur jauh sampai serasa mengacak-acak puncak ubun-ubunku, aku kehabisan amunisi, bisa pula di sebut mati sanggahan, hingga secara jernih telah gagal khatam menafsirkan yang ada di pikir dan rasamu. Hmmmh sudah lah, tokh waktu sudah melintas jauh, kini sosok dan bayangmu di suasana itu pun telah raib dihadapanku, namun kau belum tergapai juga.

Amplop mungil berwarna hijau pupus terselip diantara dua gelas kopi kita yang sudah hampir habis isinya, tersurat tulisanmu yang tersusun rapi, sudah kubaca maksudnya dengan seksama dan aku mengerti serta maklum adanya. Hidup bukan hanya sehari dua hari atau setahun dua tahun tetapi berharap selalu dapat bersama selamanya. Bukankah itu angan-angan kita, atau saya yang keliru menafsirkan hubungan kita selama ini ? Sementara aku masih saja tersesat menata kalimat, entahlah, harus dimulai dari bagian mana meyakinkanmu.

Aku belum sempurna sebagai lelaki jika tidak ada hal yang dapat kubanggakan, malu rasanya menjadi pengangguran tak kentara yang masih saja hidup berkeliaran di seputaran tempat tinggal kita. Satu-satunya harapanku adalah Kota, yak kau tahu kan, hanya kota itu tempat sandaran nasib untuk menampung segala harapan kedepan, namun seperti yang kau tunjukan di setiap cakap dan tersurat dalam isi tulisan di kertas hijau pupusmu, nampaknya kau masih saja ragu. Kepastian adalah usaha dan itu membutuhkan perjuangan, tetapi kau nampaknya lelah dengan seluruh rencanaku, nyatanya lebih memilih pasti yang senyatanya dekat. Kau lebih memilih tradisi leluhurmu, selamat untukmu dan aku linglung meyakinkanmu.

 -=o0o=- 

 Dua tahun sudah, Amplop itu terselip disana, diantara lembaran-lembaran Kitab Suci yang sengaja ku dirikan diatas meja satu-satunya penghias kamar kos mungil tempat dimana aku sering merenda malam dengan bayangmu menghias di langit-langitnya, sengaja kugunakan sebagai penanda lembaran Musshap yang paling akhir kubaca sebelum nyenyak memanggil-manggil di setiap tidur malamku, berharap ketenangan nan sejuk menggelayut dikeseluruhan relung jiwa kemudian bening dan sucinya mengalir di rasamu dan rasaku. Biarlah niat suci di selesaikan oleh Tangan Yang Maha Suci.

 -=o0o=- 

 Kini, dua anak kita sibuk menari-nari diantara gerakan lucu dan tawa riangnya. Dua gelas kopi menemani asyik masyuk memandang kagum akan kreasi besar Dzat IIlahi. Diam-diam aku sempat sekedar mencuri serentetan peristiwa rindu yang telah hilang terbawa masa, sengaja kuselipkan sepucuk rurat mungil sewarna dengan suratmu dahulu, kuhiasi dengan tulisan singkat :

“Selamat Ulang Tahun Perkawinan Kita yang ke VI, semoga selalu tetap dalam LindunganNya”
Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda