Minggu, 15 Mei 2011

Ketika Hak seseorang harus dipenuhi



Ada warna merah jingga ketika mentari singgah di tepian sungai, menggantikan dinihari berselimut embun yang menetes pelan sehabis hujan rintik-rintik semalaman, ada sungai mengalir cukup deras ketika laku menyusurinya kemudian hendak menyebrang diantara bebatuan besar kecil diarusnya, Paijo sang pemuda lajang ketika umurnya genap dua puluh lima tahun, mengukur dengan kakinya sendiri seberapa dalam dan derasnya tarikan alam semacam gaya kesetimbangan ketika dihulu volume airnya semakin meningkat, sungai tersebut hendak membagikan berkah dan karunia kedalam sebagian kecil harmoni keindahan jagat raya, tidak sebagai amuk kemarahan ketika makhluk ber derajat paling tinggi menentang dan merusak harmoni tersebut. “Air akan kembali menjadi air tidak ada yang berkurang sedikitpun ketika  dalam berproses, air tetaplah menjadi air begitu seterusnya ketika berubah wujudpun akan kembali menjadi air pada saat waktunya tiba” begitu tuturan  sang guru yang merasa gemas menyikapi phenomena gelisah dan amarah yang meraja lela, “dia butuh gaya dan ketika gaya tersebut hilang, jangan disalahkan ketika membabibuta” ujarnya dalam suatu pagi suram sendu ketika Paijo menikmati secangkir kopi dan goreng ubi serta  hangatnya pisang di beranda rumahnya ditingkahi alunan derai hujan menumbuk bumi.

Kedalaman arus hanya setinggi lutut gumannya, belum lagi dapat memilih dan memilah batu mana yang dapat digunakan sebagai tumpuan berat badannya dan titian permukaan yang lapang untuk diinjak sebagai penumpu. Dipertengahan arus bening ditemui sebuah jambu agak besar, masak kekuning-kuningan, masih segar seperti baru jatuh dari pohon nun entah darimana asalnya kemudian terperangkap arus. Perutnya terasa keroncongan ketika berhasil memungut buah segar  dan mulut serta giginya bekerja bercampur air liur yang menuntaskan panggilan harat laparnya.

Ternyata segar pikirnya, tuntas sudah panggilan isi perut, kini yang hadir di tubuhnya membangkitkan gairah energi baru untuk menapakan kaki menuju arah tujuan semula. Sebuah rezeki kehendak Gusti Allah”,   sekali lagi bibirnya berguman pelan diselingi rasa syukur.

Dalam langkah demi langkah kaki menapaki kedalaman air diantara batu-batu yang berserakan dia tetap saja tercenung atas peristiwa ketidak sengajaan, sebuah jambu agak besar segar dan sedap rasanya telah menuntaskan degup hasrat kebutuhan akan energi terbarukan, Dia tetap saja menerawang bagaimana jika jambu tersebut ada pemiliknya yang merasa geram ketika satu-satunya yang diharapkan tidak sengaja terjatuh dari pangkuan kemudian terbawa arus sungai atau jambu tersebut memang sedang ditunggu pemilik pohon agar pada waktunya dapat dipetik dan dipersembahkan kepada cucu yang penuh harap menantikannya. Paijo merasa seolah pikir dan hatinya bergejolak, hanya sebuah jambu tetapi ketika memakan bukan miliknya dan menjadikan pengambilan tidak sengaja yang menjadi hak orang lain memposisikan diri teramat menyesali nasibnya. Disusurinya pinggiran sepanjang sungai tersebut selepas menyebrangi arusnya, kehulu, barangkali ada yang dapat menerima maaf atas keteledornnya.

Diperjalanan menyusur  pinggiran sungai, tak putus-putus pikirnya menanyakan apakah ada yang merasa buah jambu miliknya hanyut kesungai… Disepanjang perjalannan  yang ditemui hanya gelengan kepala sebagai jawaban atas rasa kepenasarannya. Hingga akhirnya seseorang mengarahkan ke suatu rumah yang terletak dipinggiran sungai.

Disuatu tempat yang nyaman dengan kerindangan  pohon besar, berdiri sebuah rumah sederhana namun cukup besar, kokoh pohon jambu besar juga  menaungi rumah tersebut, rantingnya menjulur kesegala arah, ke atas permukaan sungai, dikerindangan terdapat beberapa buahnya yang sebagian belum matang. Paijo semakin yakin bahwa dari tempat inilah jambu yang dia nikmati tadi  berasal, menilik dari lokasi dan besaran ukuran buah yang sama persis.

Diketuknya pintu tersebut pelan dan seorang kakek menyambut dengan ramah; Rampes kisanak, ada angin apakah gerangan yang membawamu ke rumah sederhana ini “ ujar sipemilik rumah penuh rasa penasaran dan seraut senyum yang tak terbantahkan sebagai ujud keramah tamahan penduduk desa.  Paijo menerangkan maksud dan tujuannya menemui penghuni rumah, dirinya semata hanya mencari sipemilik buah jambu untuk sekedar meminta maaf atas keteledoran terbujuk oleh bisikan perutnya yang memanggil-manggil. Pak tua hanya mendengar tuturan Paijo kemudian tertawa terbahak-bahak. “Memang buah jambu itu satu-satunya yang ditunggu anakku untuk dipetik”, ujar Pak tua ketika memeriksa pohon miliknya. “Permintaan maaf kisanak akan keteledoran memakan buah bukan haknya dikabulkan ketika syarat sudah terpenuhi“ Ujar Kakek, terlihat mimiknya memancarkan keseriusan dalam ucap. Paijo tepekur mendengar tuturan kata “syarat satu-satu yang dapat menghapus kesalahannya, dia hanya bisa pasrah asalkan terbebas dari belenggu pikir dan perasaan, dia tetap menunggu ucapan dari bibir sang kakek berikutnya. ”Ki sanak harus rela mempersunting anak gadisku yang telah menunggu lama ketika akhirnya tidak kesampaian untuk memetik  buah jambu tersebut” ujarnya sambil meraut bilah bambu dengan pisau tajam

Dia tunanetra” Ujar pak tua melanjutkan ucapannya,  Paijo jadi tidak enak sendiri dalam posisi   duduknya…
Dia tunawicara”   Paijo semakin melongo…
Dia Tunarungu” Paijo semakin gelisah, bagaimana mungkin dia dapat memperisteri seorang perempuan  tunanetra, tunawicara dan tunarungu, kondisi dirinyapun belum semujur teman-temannya yang telah berhasil hidup dikota, kini permasalahan baru bertambah pula. Paijo tidak dapat menolak persyaratan tersebut, yang ada dipikirnya hanya ingin lepas dari perasasaan bersalah atas keteledoran yang diciptakannya sendiri, kini Dia hanya bisa pasrah akan nasib dan berharap kemurahan Gusti Allah semata.

Neng Ratna geulis, kesini sebentar, ambilkan dua cangkir kopi dan sepiring pisang goreng Nak, ada tamu berkunjung kerumah kita” Ujar sang kakek disambut oleh suara halus dari dalam Rumah, lho koooo….
Tidak lama kemudian muncullah seorang perempuan berparas cantik, membawa nampan berisikan dua cangkir kopi dan sepiring penuh pisang goreng yang masih mengepul, lho kooo…..
Keheranan Paijo semakin memuncak ketika sang gadis tersenyum sambil mengangguk tertuju kearahnya sebelum sosok mempesona tersebut berlalu menuju ruang dalam rumah.

Ternyata Dia hanya seorang gadis yang hanya melihat ketika memang menjadi haknya untuk dilihat, berucap ketika memang harus menuturkan kata-kata dari mulutnya yang memang haknya untuk bertutur, mendengar suara-suara yang memang haknya untuk didengar, Dia tidak melakukan apapun yang bukan haknya, seperti juga Paijo yang tidak nyaman ketika memakan buah yang bukan haknya.

Dikisahkan kembali berdasar sebuah cerita dari seorang  Guru, sebagai penebus rasa kepenasaran untuk mengikuti “Paradoks” yang tidak sempat terlaksana ketika waktunya berlangsung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda