Kamis, 19 Januari 2012

Komunikasi dengan penghuni rumah kosong

                                                     Gambar di unduh dari : Google image



Perasaan stress selalu menggodaku ketika mengamati kalender yang tergantung di rumah, sebagai ritual tahunan, tanggal di bulan tertentu ku lingkari dengan spidol hitam tebal, tanggal tersebut hanya terpaut beberapa hari saja dari saat ini, saat merasakan kegelisahanku, hari-hari dimana sering merenung sendirian, betapa beberapa persiapan harus sudah direncanakan, rumah baru yang disepakati bersama, biaya secukupnya, kendaraan alat tranportasi angkut-angkut barang serta beberapa orang yang siap dengan tenaga cukup kuat untuk mengangkat beban yang saban tahun sering kulakukan. Tanggal tersebut adalah hari dimana kontakan rumahku habis masa tenggatnya, suatu kegiatan rutin yang amat menyebalkan : memakan biaya, tenaga dan pikiran yang tidak sedikit.

Hal itu terjadi beberapa tahun yang lalu, suatu saat karena capai harus pindah rumah setiap tahun, sudah saatnya berusaha untuk mendapatkan rumah pribadi yang layak sesuai dengan pendapat bersama seluruh anggota keluarga, kriterianya sederhana: letaknya dekat dengan jalan, mudah dilalui oleh kendaraan umum yang lalu lalang setiap saat , kondisi rumah yang cukup memadai ditinjau dari tata letak dan ke asriannya disamping tentu saja persiapan beberapa lembar uang kertas yang pantas ditukarkan dengan semua hal tersebut.

Rentang waktu itu menjadi hari yang amat menegangkan, menuju batas akhir yang dengan cermat menjadi titik perhatianku sejak beberapa bulan terakhir bahkan beberapa tahun yang lalu. Untuk pegawai pemerintah layaknya seperti aku, satu-satunya jalan agar mendapatkan dana yang diperlukan adalah mengamankan SK- SK yang berhubungan dengan status kepegawaianku, menyimpan dengan aman ke sebuah Bank yang menjadi langganan bersama, termasuk hanya satu-satunya Bank yang mempunyai rekomendasi untuk menyalurkan uang gaji PNS bahkan meminjamkannya dengan jaminan SK kepegawaian.

Setelah mencari rujukan dari beberapa koran lokal, menanyakan inpormasi ke beberapa rekan, dan membangun silaturakhmi sambil jalan-jalan memantau lokasi-lokasi yang di idamkan, Beberapa kriteria penting sebagai rumah idaman memang justru melekat ke beberapa rumah hasil observasiku, tetapi ketika terbentur ke masalah harga, terpaksa pilihan tersebut dibuang jauh-jauh, prioritas utama adalah yang terjangkau oleh bajet yang tersedia, bahkan kalau bisa masih tersisa untuk biaya renovasi.

Tersebutlah setelah sekian lama mengamati dan menjejelajah beberapa lokasi, rumah yang menjadi hunian pertama sebagai milik pribadi ditemukan, ltuas anahnya ternyata cukup besar : kurang lebih 400 m2 boo, jumlah kamar tidur empat  dengan luas kamar  memadai, ruang tamu, ruang keluarga tersedia dan tidak ketinggalan kamar mandi serta dapur, di bagian belakang rumah masih tersisa ruang cukup besar yang dapat digunakan sebagai gudang tempat menampung benda-benda tidak terpakai.

Rumah tersebut berdiri terbuka diatas lahan cukup luas menurutku, tidak memiliki pagar sedikitpun yang membatasi  areal tanah tersisa sebagai halaman dengan lahan milik tetangga, ruang terbuka sebagai halaman menyisakan sampai sekitar 50% dari luasan yang ada. Sayangnya rumah tersebut berupa rumah tua yang kondisinya saat itu sungguh menyedihkan, berfungsi sebagai gudang terlantar memberi kesan tak terjamah lama sekali oleh penghuninya, sedikit beraroma angker, sehingga ketika malam menjelang sebisa mungkin di hindari untuk dilalaui oleh penduduk di sekitar. Tak apa-apa pikirku, lokasi dan harganya tokh amat sesuai dengan beberapa kriteria yang diinginkan bahkan terhitung sangat murah, kecuali kriteria lain luput menjadi idam-idamanku, seperti rumah yang Asri dan indah, tetapi tokh semua itu dapat diciptakan sendiri oleh penghuninya, tergantung kepada kreatifitas dan kemampuan estetika dalam penataannya, maka setelah beradu tawar rumah tersebut berhasil menjadi milik kami.

Rumah pertamaku direnovasi dengan persediaan dana tersisa, ku panggil beberapa tukang untuk mengerjakannya sesuai dengan keinginanku berserta keluarga, kuganti bagian-bagian penting yang rapuh dan bagian yang amat strategis agar rumah dapat berdiri dengan kokoh, sebuah persyaratan penting untuk membawa seluruh anggota keluarga menghuni rumah tersebut dengan aman.

Selang beberapa hari ketika proses renovasi tersebut berlangsung, semua tukang yang menginap disana (karena kebetulan rumah pribadinya amat jauh dari lokasi rumah yang sedang direnovasi) mulai merasakan tidak betah tinggal bermalam dirumah tersebut, mereka memilih untuk menyewa sementara di rumah tetangga yang letaknya cukup dekat.

Hampir setiap hari selepas kerja, ku sisihkan waktu untuk mengontol perkembangannya, kuperiksa hasil renovasinya, memberi intruksi sekedarnya sesuai keinginan yang dirasa sangat perlu untuk disampaikan kepada sang tukang, sampai saat membayar uang gaji mingguan ketika waktunya tiba. 

Suatu saat walaupun badan  rasanya lelah karena kebetulan ada tugas yang harus diselesaikan, tetapi walau bagaimanapun kondisinya kusempatkan melihat rumah tersebut sebagai representasi dari keberhasilanku memiliki dan membangun rumah sendiri untuk pertama kalinya, ku amati detail perkembangannya, sehingga fisik dan psikisku sudah amat penat, aku tertidur pulas se usai menjalankan sholat maghrib, lelap dikursi yang sengaja kutempatkan di ruang tengah sebelum barang-barang lain dipindahkan kerumah ini, seolah sekejap saja aku ter tidur pulas, badanku terasa memikul beban amat berat, seperti tertindih ber kwintal-kwintal barang, ketika dalam kondisi menjelang sadar sempat membaca do’a-do’a serta ayat-ayat dari Al-Quran yang sempat kuhapal dan kuingat dan ketika mataku mulai sedikit terbuka, samar dan perlahan akhirnya pandanganku menjadi jelas, saya sudah dikelilingi oleh beberapa orang tetangga baru, diantaranya ada yang sedang memegang kitab suci Al-Qur’an, yang lain masih menggenggam gelas air yang isinya sudah kosong, sementara yang lainya lagi masih sempat memegang minyak kayu putih beserta balsam, kulirik bajuku ternyata  sebagian sudah basah, bau-bauan tajam menusuk hidung menyeruak diantara bau badanku yang memang sedari tadi belum mandi. Aku baru saja kesurupan.

Badanku demam ketika beberapa saat setelah kejadian itu berlalu, tetanggaku banyak menyarankan agar aku pulang saja dan membiarkan rumah ini dalam keadaan kosong sampai besok siang untuk digarap kembali oleh para tukang. Aku menolak bukan karena sok-sok an tetapi dirumah kontrakkanku yang waktunya masih tersisa dengan leluasa, isteri dan anak-anakku yang masih kecil-kecil sedang tidak ada ditempat, mereka mengunjungi orang tuanya yang sedang sakit, percuma saja aku pulang, selain sudah agak malam, tokh disini dan disana sama saja, sendiri. Aku memilih tidak beranjak dari rumah ini dengan segala resiko yang mungkin terjadi di sepanjang malam tersisa.

Menurut tetanggaku selain mataku terbelalak seolah sedang emosi tinggi, sembari mengeluarkan jurus-jurus silat yang ngawur juga mulutku mengumbar kata-kata keras yang tidak tahu menggunakan bahasa apa. Aku malah bengong memperhatikan ucapannya, malam ini kebetulan malam jum’at kliwon.

Hampir separuh malam kulalui dengan gelisah, jam sudah menunjukan angka 11.30, kulirik seorang tukang yang umurnya masih belia memberanikan diri menemaniku tidur, kondisinya sudah pulas beralaskan tikar di salah satu kamar yang berhadapan langsung dengan kursi dimana aku sedang merebahkan diri dan kantukku akhirnya lelap juga.

Tidurku ternyata masih menyimpan gelisah, walau kantuk tidak bisa diajak kompromi lagi, tetapi di kursi tersisa yang letaknya berada disebelah dimana aku rebah masih ada orang yang rela menungguiku, aku terbangun sambil tak kuasa menahan kantukku, berpikir semampunya bahwa tetangga baruku ternyata orang yang sangat perhatian, rela menyempatkan diri menjagaku sampai ronda semalaman, berpeci lusuh dan berpakaian  khas ronda, membiarkan sarungnya melingkar dari pundak sebelah kiri menggantung sampai ke pinggang bagian kanan. Kusapa pelan bahwa, di meja masih ada ceret  berisi kopi walau kondisinya sudah tidak panas lagi serta beberapa makanan ringan masih tersedia di piring-piringnya. Tetangga rondaku yang aku tidak sempat memperhatikan raut  wajahnya dengan jelas hanya mengangguk pelan meng iya kan sambil tetap memposisikan diri menghadap meja tamu tanpa menoleh sedikitpun. Aku kembali tertidur sampai pagi menjelang.

Kubangunkan Sang Tukang, ketika Azan subuh selesai berkumandang, aku bergegas ke kamar mandi diringi teman tukang bangunanku.

Se usai mendirikan sholat bersama, rekan kerjaku mulai sibuk membuka seluruh pintu dan jendela yang di direkat penghalang kayu dan dipaku dengan kuat.


Aku terkesiap,  memikirkan tamu tetangga ronda malam yang  dengan rela duduk khusuk menghadap meja tamu  menemaniku tidur di kursi ini…..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda