Minggu, 03 April 2011

Sepotong Pizza







Padatnya lalu lintas dan riuhnya malam ini menjadi rezeki tersendiri buatku dan teman-teman. Paling tidak, kami punya peluang yang lebih besar untuk mendapatkan penghasilan. Kata Kak Satrio padaku, makin sering suatu peristiwa berlangsung maka makin besar peluangnya keberhasilannya. Itu yang pernah diajarkannya padaku saat aku bertanya padanya tentang apa itu probabilitas. Maklum, aku hanya tamatan SMP dan tidak punya biaya untuk melanjutkan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi. Mendengar kata probabilitas pun tidak sengaja kuketahui saat aku membaca sobekan majalah pembungkus kacang yang salah satu artikelnya bertuliskan “Meningkatkan Probabilitas Sukses di Pasar Uang”.

Ah, aku tidak mengerti pasar uang itu apa. Apakah di pasar itu yang dijual hanya uang? Letaknya dimana? Dan apakah kondisinya seperti pasar tradisional tempatku biasanya menemani emak berdagang sayuran setiap pagi hingga sore? Kotor dan bau pasar.

Hanya sedikit yang kutahu. Kata Kak Satrio, salah satu mahasiswa yang pernah mengadakan bakti sosial di wilayah pemukiman kumuh kami itu, pasar uang berbeda dengan pasar yang aku lihat sehari-hari. Tapi aku malah bingung sendiri dan cuma bisa nyengir-nyengir tak mengerti mendengarkan penjelasannya.
Woii!!!.. Jangan melamun!… Mentang-mentang jualannya dah habis.” , sebuah suara mengagetkanku. Rupanya Acung. Kulirik barang dagangannya, ternyata belum habis.

“Yeee..siapa yang ngelamun? Aku lagi mikir-mikir aja tentang materi palajaran yang diajarin Kak Satrio tadi siang” , jawabku datar.

“Hahahaa…Jo.. Paijo.. Kok masih mikirin soal itu tho? Kita ini miskin. Nggak usah mikirin tugas yang harusnya dipikirkan pejabat negara”, Acung terbahak-bahak menepuk pundakku.

“Emangnya kalo miskin nggak boleh ya kita pinter? Sampai kapan Cung mo miskin terus? Mo susah terus? Kamu nggak berharap opo kalo suatu hari Tuhan mengubah nasib kita? Kita bisa naik mobil pribadi dan makan pizza kapan saja seperti orang-orang kaya itu”, aku menanggapi menggebu-gebu seraya menunjuk beberapa anak muda yang sedang duduk-duduk di taman sambil menikmati pizza mereka. Aku berusaha mempengaruhi Acung bahwa kita boleh miskin sekarang tapi kita harus berusaha agar di masa depan bisa punya kehidupan yang lebih baik.

Acung diam saja. Hening seakan menjadi jarak antara aku dan kawanku ini. Aku melihatnya tertunduk sejenak. Lalu mengangkat kembali wajahnya, menoleh ke arahku dan tersenyum.

Tiba-tiba saja sebuah mobil sedan hijau gelap berhenti di pinggir jalan persis di depan dimana aku dan acung bersantai, aku mulanya tak mengacuhkan, keasyikkan  berbincang menyita seluruh perhatianku terutama tentang ucapan-ucapan Kak Satrio ketika memberi pelajaran kemarin,  aku terbuai melamunkan apa arti  kehidupan yang lebih baik itu,

“Kehidupan yang lebih baik itu tidak saja berati uang”,  ujarku tanpa menatap Acung yang sedang bengong memperhatikan,  “karena terkadang dengan adanya uang saja ternyata tidak cukup dapat menjamin hidup akan lebih baik”.

“De..de..bisa minta tolong, kalau jalan menuju ke pasar minggu ke arah mana ya?”, seorang bapak yang baru saja turun dari mobil yang berhenti  tepat di depan tadi, meminta tolong  untuk menunjukan suatu tempat yang tidak asing lagi bagiku maupun bagi Acung.

Aku beranjak dari tempatku duduk,
“Ke arah sana pak, bapak lurus saja mengingikuti jalan ini di lampu merah yang kedua belok kiri kemudian ambil arah kanan nah bapak nanti ketemu bunderan ikuti saja jalan tersebut…”
“Sebentar, sebentar …terlalu cepat menerangkannya De,  rumit mengingatnya”, ujar bapak tersebut pelan.

“Emhm  begini saja apakah adik bisa mengantar bapak untuk menemukan tempat tersebut?”
Aku dan acung saling pandang, barangkali inilah yang disebut peluang seperti yang disampaikan oleh Kak Satrio.

“Boleh, Pak”, ujarku. Semangat, acung  tampak seperti mengamini hampir bersamaan.

Aku dan acung duduk manis  dikursi belakang mobil tersebut sambil tak henti-hentinya memberi petunjuk di tempat-tempat mana harus lurus atau belok bahkan berputar untuk menuju ke tempat yang dituju.
“Jo, lihat  ada tv nya”,  ujar acung pelan.  Aku manggut-manggut tanda takjub. Inilah barangkali yang disebut hidup lebih baik, kita  dapat mengunjungi tempat-tempat  lain yang jauh hanya dengan duduk manis di dalam mobil yang sejuk dan harum, tidak ada lagi peluh dan pegal, tidak terasakan lagi panas menyengat  serta debu-debu menyesakkan napas, di sini kenyamanan dapat dirasakan dengan santai.
Di tempat yang dituju aku dan acung   mendapatkan beberapa lembar uang kertas, cukup untuk beberapa hari makan di warungnya Bi Iyem.

“Ada dua  bahkan tiga hal yang dinikmati hari ini ujarku,  kita dapat uang yang keduanya dapat merasakan sejuk dan harumnya mobil tersebut sedangkan yang ketiga  kita tidak usah lagi berkejaran naik metro  mini apalagi malam sudah hampir larut begini, hanya tinggal beberapa langkah berjalan ke arah belakang pasar  sudah sampai lah dimana kita dapat berteduh dan tidur dalam keadaan agak  lebih baik dibandingkan di pinggir jalan”, acung malah menaggapinya dengan santai tak bersuara.

Malam ini aku dan acung  nampaknya dapat tidur nyenyak di dalam rumah singgah dimana teman-teman lain juga sedang pulas merenda malam  bergeletakan tidak teratur di lantai beralaskan kasur busa.
Sebelum lelap menyergap, acung sempat menanyakan tentang sebuah kertas  tebal, berbentuk segi empat agak lebih besar dari permukaan korek api,  disitu tertera tulisan  Ir.Bayu Rangga Krisnamuti, alamat  Jl. Paseban Dalam no 45678 dan masih terngiang di telingaku ucapan dari bapak yang memberikan kartu nama tersebut, “besok lusa aku dan Acung akan didaftarkan di Sekolah Menengah Atas terdekat dengan seluruh biaya pendidikan dan pakaian seragam akan ditanggung sepenuhnya oleh bapak tersebut”.

Malam ini mimpi tampak indah terasa,  pemandangan tampak lapang dengan jalan agak lebar  sehingga lebih leluasa untuk melangkah, langkah-langkah pasti menuju kehidupan lebih baik  yang telah membentang di depan matanya, tinggal semangat yang dijaga agar tak mudah padam.




Malam telah berlalu, matahari telah menampakan diri diupuk timur dan semburat warnanya menerangi alam yang hampir setiap pagi jarang aku syukuri, dalam suasana pagi yang seperti biasanya sibuk,  meja makan merupakan suatu media yang saling mengakrabkan bagi seluruh  anggota keluarga. Istriku walaupun agak ribet dengan assesoris dandanannya masih menyempatkan diri untuk duduk di kursi ini, tangannya bergerak-gerak bergantian antara menyantap makanan yang disediakan dan mematut diri, anak-anak ku Rafael dan Nina dengan celotehnya seakan tak pernah hilang disetiap pertemuan rutin pagi hari, mbok Narti masih sibuk saja walau sepagian dia menata dan menyiapkan acara rutin dipagi hari.

“Pak, jadi nggak liburan semesteran yang tinggal beberapa hari lagi tiba, kita jadi kan jalan-jalan ke Singapore”, ucap nina sambil mengambil dua tangkap roti isi steak kesukaaanya.
“Harus jadi”, celetuk Rafael menimpali . “aku sudah mengumpulkan informasi tempat-tempat yang harus aku kunjungi, kalau boleh Rebeca bisa ikut juga ya moom”
Ibunya yang sedari tadi ribet dengan dandanan rambut sasaknya, masih menyematkan beberapa assesoris ditatanan  rambutnya yang dirasa belum rapi.
“Terserah Bapak Raf, kan Bapak yang akan menyiapkan tiket termasuk resservasi keberapa hotel disana”.
“Ya..ya”…ujarku setelah menyeruput beberapa teguk kopi, “pokoknya semuanya sudah diatur termasuk temanmu itu Raf “ ucapan ku meyakinkan, disambut sorak Rafael dengan kata-kata khasnya “Yes..yes.”.

Bercengkrama di meja makan kala sarapan pagi serta belibur ketempat-tempat menarik adalah salah satu cara untuk menjaga keakraban yang jarang ditemui. Aku sibuk dengan urusanku yang terkadang menuntut harus diselesaikan sampai beberapa hari melalui serangkayan rapat dan peninjauan langsung kelapangan, disamping harus menjaga hubungan baik dengan relasi dan dengan sesama pimpinan perusahaan maupun dengan rekan bisnis didalam negeri maupun diluar negeri. Terkadang hanya seminggu sekali seluruh anggota keluarga dapat berkumpul dengan akrab dan mesra dirumah yang besar ini, sedangkan ibunya Rafael dan Nina, Dia bisa sampai larut malam  tiba dirumah setelah   anakku sudah tertidur pulas.

Ada kerinduan dihati untuk melepaskan kepenatan ini dengan suasana yang betul-betul alami, melepaskan diri dari segala bentuk jadwal pekerjaan dan basa basi yang kerap dilakukan ketika menghadapi rekan bisnis, melepaskan diri dari angka-angka dan grafik-grafik indeks financial yang membuat aku merasa tertekan dan terkendalikan oleh sesuatu yang tergambar dilayar komputer pribadiku.

Ingin rasanya merasakan kembali   walau hanya sekejap bercengkrama dengan santai dipinggir jalan tanpa rasa sungkan dan perhatian yang berlebihan terutama dari orang-orang terdekat di kantor, ingin rasanya membalikkan waktu ke masa 30 tahun yang lalu ketika aku dan Acung duduk santai sambil berusaha mensejajarkan telapak kaki dengan tempat duduk sehingga kaki tidak selalu menjulur kelantai kala menyantap panganan nikmat diwarung bi  Iyem.

Rindu rasanya akan suasana sholat berjamaah bersama rekan-rekan senasib di mesjid sebelah rumah singgah kita,  diakhiri dengan do’a-do’a yang sering kita panjatkan dengan khusuk dan ikhlas.

Rindu rasanya denganmu Cung, tempatku bercurah pendapat dan berceloteh, suasana hati yang membuncah tatkala mendengar nasihat bapak angkat kita Bapak Ir. Bayu Krisna Muti almarhum, maafkan aku Cung , aku hanya sempat bertemu terakhir kalinya  denganmu ketika kau sudah diangkat dari rel kereta api dalam keadaan pakaian seragam putih abu-abumu berantakan dan ceceran darah tergenang disekitarmu, aku tidak sempat mengucapkan kalimat melebur segala kesalahan yang telah aku perbuat selama bergaul akrab denganmu dan belum terselesaikan nya janji kita untuk menikmati berpotong-potong pizza ditempat  dan waktu yang berlainan. Hidup untuk lebih baik yang selama itu ku sakralkan dan idam-idamkan,  hidup kita berdua memang aneh ya Cung, kau telah menyelesaikan takdirmu didunia dan aku sedang menjalaninya,  masih saja aku  dalam posisi sedang mengejar arti hakiki dari hidup lebih baik itu.

Dalam mobil BMW hitam keluaran terbaru ini, aku sekali lagi menyampaikan maaf atas setiap ucap dan langkah yang telah melukaimu sahabatku dan tak lupa terimakasih kepada Bapak Bayu yang sedalam-dalamnya atas keiklasan dan ketulusan beliau selama membimbing kita berdua, teriring do’a yang selalu kupanjatkan kehadiratNya. Terimakasih sahabat terimakasih ayah Bayu dan terimakasih kepada orang-orang yang dengan tulus dan ikhlas telah menghantarkan aku sampai diposisi ini.

TAMAT

Ini hanya fiksi belaka mohon maaf jika ada kesamaan nama maupun tempat.
Tim Kolaborasi FFK : Jalan-jalan diwaktu senja (150)
Anggota Kompasiana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda