Selasa, 07 Oktober 2014

Monopoly Bisnis Dan Politik Indonesia









Masih kuat dalam ingatan saya bahwa ketika jaman muda dahulu, ketika berkesempatan  janjian untuk sekedar nonton film bersama seseorang maka sebagai mahasiswa tempo dulu yang kondisinya pas-pasan, yang kebetulan belum tersentuh oleh budaya yang wah berbau kapitalis seperti sekarang ini,  ada suatu era dimana justru saat  itu adalah jaman keemasan untuk nonton di biokop,, paling tidak menurut saya pribadi, tersebab banyak pilihannya, bebas mau nonton di bioskop manapun cukup disesuaikan dengan bajet yang tersedia di kantong.  Bioskop Misbar (gerimis bubar) halal, mau duduk nyaman menyaksikan film kesukaan di kegelapan gedung bioskop yang tarafnya lumayan juga di perbolehkan, apalagi jika ingin nonton di bioskop terkenal  dengan sound sistem memadai  itu boleh-boleh saja jika keadaan keuangan cukup mendukung. Maka bisnis dibidang perfilm-an dan bioskop pada waktu itu nyatanya cukup adem ayem dan menggiurkan. Mencapai puncaknya  pada tahun 1980 an, film karya anak bangsa  sempat mengalami  booming dan di bicarakan di banyak surat kabar ibukota.  Pada  bulan muda apalagi di malam minggu sedangkan  yang  diputar kebetulan film Indonesia  box office,  maka mengunjungi bioskop merupakan sarana refresing yang paling di idamkan walaupun masuknya  ngantri.

Bioskop lokal pada jamannya yang berada dibawah naungan Persatuan Bioskop Seluruh Indonesia saat jaya-jayanya banyak di ramaikan dengan film yang dihiasi oleh bintang-bintang terkenal, pada era tahun 1980 an aktor dan aktris seperti halnya Onky Alexander, Meriam Bellina, Lydia Kandou, Nike Ardilla, Paramitha Rusady, Desy Ratnasari dlsb menjadi pujaan muda-mudi pada waktu itu, film Indonesia betul-betul menjadi tuan rumah di negerinya sendiri apalagi sejak tahun 1978 didirikan Sinepleks Jakarta Theater oleh pengusaha Indonesia, Sudwikatmono menyusul dibangunnya Studio 21 pada tahun 1987. Munculnya raksasa bioskop bermodal besar itu mengakibatkan terjadinya monopoli dan berimplikasi terhadap timbulnya krisis bagi bioskop - bioskop kecil, jumlah penonton diserap secara besar-besaran oleh bioskop besar. Pada masa ini mulai dikenal fenomena pembajakan video tape walaupun tidak seheboh VCD atau DVDbajakan pada jaman sekarang.

Setelah perfilman Indonesia mati suri karena tenggelam oleh film Hollywood dan bangkrutnya bioskop-bioskop kecil akibat monopoly studio 21, sejak tahun 1998 dianggap sebagai era kebangkitan perfilman nasional. Kebangkitan ini ditunjukkan dari kondisi perfilman Indonesia yang mengalami pertumbuhan jumlah produksi yang menggembirakan. Film pertama yang muncul di era ini adalah Cinta dalam Sepotong Roti karya Garin Nugroho. Setelah itu muncul Mira Lesmana dengan Petualangan Sherina dan Rudi Soedjarwo dengan Ada Apa dengan Cinta? (AADC) yang sukses di pasaran. Hingga saat ini jumlah produksi film Indonesia terus meningkat pesat meski masih didominasi oleh tema-tema film horor dan film remaja.
Pada tahun 2005, hadir  bioskop bertema Blitzmegaplex di dua kota besar di Indonesia, Jakarta dan Bandung. Kehadiran bioskop dengan konsep baru ini mengakhiri dominasi Cineplex yang dimiliki oleh kelompok 21 yang selama bertahun-tahun mendominasi penayangan film di Indonesia.

Sejak tahun 1987 itulah  yang notabene masih dalam alam ORBA,  saya baru mengenal dampak dari praktek monopoly karena langsung menyentuh terhadap hobi saya. Demikian dahsyatnya pengaruh monopolly studio 21 kemudian di susul dengan munculnya dominasi baru di bidang perbioskopan yaitu Blitzmegaplex, bioskop bernuansa canggih tersebut membabat habis bioskop kecil. Nampaknya sebagai hal yang lumrah mengingat kuasa hukum alam bahwa yang paling kuat otomatis akan menggilas yang lemah, karya bagus melumat yang pas-pasan, yang nyaman menghancurkan yang seadanya, yang kecil-kecil walaupun banyak dihancurkan oleh yang  hanya satu perusahaan besar saja.
Di jaman yang kita pijak saat ini walaupun praktek monopolly di haramkan menurut Undang-Undang ANTI MONOPOLI DAN PERSAINGAN TIDAK SEHAT (UU No. 5 Tahun 1999) tetapi pada kenyataannya secara tidak sadar mega bisnis dalam bidang tertentu banyak secara tersamar terlihat beraktifitas di sekeliling kita, bukan monopolly tetapi memang lazimnya perusahaan besar susah disaingi oleh perusahaan-perusahaan kecil sejenisnya, terutama karena sistemnya yang lebih efektif dan efisien menguasai dari hulu sampai ke hilir.

Saat ini banyak kita jumpai untuk menggusur lahan masyarakat berubah menjadi  beberapa tower  pencakar langit dengan fasilitas yang bernuansa one stop living hanya beberapa perusahaan mega bisnis saja yang sanggup bermain dan menguasainya, disamping itu perusahaan yang memutar uang saham dan bisnis perbankkan swasta  sehingga meningkat tajam, hanya beberapa perusahaan saja  ahlinya, melambungkan  bahan dan barang menjadi  kebutuhan orang banyak  yang berdaya jual tinggi ternyata ada juga ada yang pakar di bidangnya, tokh segala macam ilmu marketing sebagai bagian dari perilaku bisnis sudah dikuasai sejak dari hulu sampai hilir, semuanya jelas menguntungkan pemilik modal dan pihak-pihak yang tergabung di dalamnya.

Namun sayang  jika pengusaha besar Indonesia demi kepentingan perluasan ekonominya berniat masuk kedalam bidang politik, walaupun prinsipnya hampir sama tetapi pada kenyataannya pasti membutuhkan berpengalaman lebih kalau tidak bisa disebut sebagai baru memulai dari nol, maka broker politik mendapat angin segar untuk memainkanya, tetapi siap sedia untuk kandas ditangan yang berpengalaman,  mudah-mudahan tidak ada dan tidak  akan tumbuh subur di bumi Nusantara yang kita cintai ini.  Seni politik yang berkebangsaan Indonesia dengan mengecap sari pati nilai-nilai luhur bangsa tentu berbeda dengan yang dituntut dan di setir oleh perusahaan yang hanya mempunyai kepentingan ekonomi oleh segelintir orang semata. Jikapun demikian apa bedanya dengan sistem perbioskopan dan perfilman Indonesia di masa lalu.

Banyak yang mengecam sistem perpolitikan pada jaman ORBA karena hanya satu partai saja yang menguasai politik sekaligus pemerintahan pada waktu itu, akan tetapi sejarah nampaknya ingin terulang tetapi dengan menggunakan praktek politik sekaligus pemerintahan yang hanya ingin di kuasai oleh satu atau beberapa partai saja dengan mencampakan partai lainya, jikalau demikian apa bedanya dengan praktek politik di jaman ORBA dulu yang katanya sarat dengan ketidak beresan, berbau fasisme tetapi pada kenyataannya ada sisi-sisi nilai baiknya sesuai dengan jamannya. Demokrasi Pancasila yang sesuai dengan adat istiadat dan budaya Nusantara, yang disarikan dari nilai-nilai luhur bangsa selayaknya masih cocok bersemi di Bumi Nusantara ini menghiasi peta perpolitikan  Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan Komentar Anda